Chereads / Selembar Surat Kontrak / Chapter 19 - Perasaan Lega Yang Dalam

Chapter 19 - Perasaan Lega Yang Dalam

"Aku akan langsung membawa Rara ke rumah sakit. Sisa nya aku serahkan kepada kalian."

"Pergilah, biar kami yang urus disini." Kei memberikan isyarat agar Rey segera pergi ke rumah sakit. Sedangkan Lola hanya menatap Rara sedih, air matanya sudah berada di ujuk pelupuk, sekali kedipan mata saja maka akan tumpah. Lola menyalahkan dirinya sendiri, karena tak bisa menjaga Rara dengan baik. Padahal Lola sudah berjanji dengan Rara. Tiba-tiba tangan Beno menggenggam tangan Lola, meremasnya pelan. Lola melihat ke arah Beno, tampak Beno tersenyum menenangkan. Lola pun mengangguk seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Sebuah mobil van hitam berhenti di depan mereka. Lalu keluar lah sosok yang saat ini tengah menjadi sumber dari kemarahan Rey. Satria.

"Aku tidak akan membiarkan kalian pergi begitu saja." Satria berjalan perlahan, namun tatapan matanya tertuju lurus pada Rey.

"Kazura, apa kau bisa berdiri? Aku akan bertarung dengannya disini. Aku akan membalaskan semua dendam yang sudah lama aku simpan." Rey menatap Rara dalam sekali.

"Aku rasa aku bisa. Turunkan aku di dekat Lola saja."

"Baiklah." Rey berjalan mendekati Lola lalu menurunkan Rara dengan hati-hati.

"Tolong jaga Rara untuk ku." ucap Rey pada Lola, Lola hanya mengangguk sebagai jawabannya.

Kemudian Rey berjalan menuju Satria.

"Aku tak sanggup lagi bicara, semua kemarahan ini akan ku tumpahkan dalam pertarungan kita. Aku tidak akan membiarkan mu lepas begitu saja." Suara Rey serak karena menahan amarahnya.

"Baiklah, ayo kita selesaikan saja semua disini."

Mereka mulai bertarung, beberapa pukulan menyerang Rey namun Rey mampu menangkisnya. Rey pun membalas serangan itu dengan pukulan telak pada perut Satria. Tak memberikan kesempatan pada Satria, Rey kembali menerjang. Bertubi-tubi pukulan mengenai Satria. Bahkan Satria tak bisa mengelak dari serangan Rey. Sampai akhirnya pukulan terakhir Rey sanggup membuat Satria tumbang.

Satria tak bisa lagi melawan, wajahnya lebam, mulutnya mengeluarkan darah, begitu juga dengan tangannya. Rey segera mendekati Satria, menahan tangannya. Lalu terdengar bunyi krak. Rey mematahkan tangan Satria. Kemudian Rey beralih pada kepala Satria dan mematahkannya. Satria mengerang kesakitan.

Rara yang melihat itu membuat kakinya lemas, dan jatuh terduduk. Lola segera menenangkan Rara. Rara begitu ketakutan melihat Rey seperti orang yang berbeda, penuh kebencian, kemarahan dan dendam. Beno dan Kei yang melihat Rara begitu ketakutan tak bisa berbuat banyak, karena mereka tau bahwa itu adalah sisi lain dari Rey. Pemandangan seperti ini sudah biasa bagi Kei dan Beno. Rey tak segan untuk mematahkan tangan, kaki atau leher lawannya.

Tiba-tiba sebuah mobil datang mendekat ke arah mereka. Ternyata itu adalah Raditya dan Ajun Inspektur Mondy. Ajun Inspektur Mondy yang melihat Rey memegang kaki Satria, langsung menahannya. Ajun Inspektur Mondy berpikir bahwa Rey ingin mematahkan kaki Satria.

"Jangan Rey. Sudah lepaskan saja. Biar saya yang membawanya ke kantor polisi." Ajun Inspektur Mondy pun menepuk pundak Rey, dan Rey melepaskan genggamannya pada kaki Satria.

Rey lalu melihat ke arah Rara yang jatuh terduduk. Pasti Rara sangat ketakukan melihat Rey melakukan tindakan tadi. Rey berjalan mendekati Rara.

"Ayo kita pergi sekarang."

Rara hanya mengangguk lesu.

****

Rey sudah membawa Rara ke rumah sakit. Alex yang memang dari tadi sudah menghubungi Rara namun tak ada jawaban, syok melihat kondisi Rara yang mengerikan.

"Kau tunggu lah di luar. Sepertinya luka dipunggungnya cukup dalam, sehingga membutuhkan banyak jahitan. Bagaimana bisa jadi seperti ini Rey?" Alex menghela napas perlahan. Besok adalah hari operasi transplantasi ginjal, namun kondisi Rara lemah begini, Alex tak tau apa yang akan terjadi selama operasi itu berlangsung.

"Aku tak sanggup menjawabnya." Rey menunduk lesu sambil memegangi kepalanya.

"Sebaiknya kau bersihkan dirimu dulu." pinta Alex seraya pergi meninggalkan Rey dan masuk ke ruang rawat Rara.

Rey kembali melihat bercak darah pada baju, tangan dan celananya. Saat menggunakan pisau lipat itu Rey tak setengah-setengah dalam menyabetkan ke para anggota gangster, menyebabkan darahnya terciprat ke baju, tangan dan celananya. Rey kembali menghela napas dan beranjak pergi meninggalkan rumah sakit. Namun seketika langkahnya berhenti, Ia ingin menjenguk kakeknya dahulu.

Rey sampai di depan ruang rawat kakek, lalu mengetuk pintu dan membukanya. Kakek terlihat seperti biasa, tidak menunjukkan ekspresi apapun. Bahkan kakek terlihat biasa saja melihat Rey yang sudah dipenuhi darah.

"Aku sudah memberikan bukti itu pada Ajun Inspektur Mondy dan aku yakin saat ini Satria pasti sudah berada di kantor polisi." Rey hendak berbicara lagi namun dering ponselnya menghentikan. Kei. Rey segera mengangkatnya.

"Kau dimana? Aku, Beno dan Lola akan pulang dulu bersih-bersih tubuh. Para anggota gangster itu, akan dibawa ke rumah sakit, terutama untuk Satria. Namun dia tidak akan lepas dari pengawasan Ajun Inspektur Mondy." Kei menerangkan keadaan disana.

"Ya, aku mengerti." hanya itu yang Rey bisa katakan. Lalu sambungan telepon telah terputus. Jujur saja Rey tadi ingin sekali membunuh Satria, namun perkataan Rara menghentikan dirinya. Rey akan berakhir sama seperti Satria jika Rey tak bisa menerima kenyataan. Masih cukup sulit sejujurnya bagi Rey mengakui bahwa Satria lah penyebab kedua orang tua dan adiknya mati. Namun, Rey hanya harus menerima kenyataan itu.

"Dimana wanita itu?" suara kakek membuyarkan lamunan Rey.

"Ada di ruang rawat. Alex lagi membersihkan lukanya."

"Kapan aku bisa menemuinya?" Kakek berharap bisa bertemu dengan Rara. Kakek tak pernah tau apa yang akan terjadi selama operasi berlangsung nanti. Maka dari itu, kakek berpikir setidaknya kakek harus menemui Rara sebelum operasi dilaksanakan.

"Kalau dokter sudah mengizinkan. Aku akan membawa kakek menemuinya." Rey berkata sambil tersenyum. Lalu Rey berdiri dan pamit kepada kakek untuk pulang dan membersihkan diri.

****

Kei sejujurnya tak langsung pulang ke rumah. Setelah mengetahui fakta bahwa Satria benar adalah pembunuh Wina, membuat Kei ingin mendatangi makam Wina.

Dan disinilah Kei berada sekarang. Kei berlutut sambil mengelus perlahan batu nisan Wina. Hatinya serasa hampa namun kelegaan menyelimuti dirinya. Satu tangan Kek yang bebas mengeluarkan kalung yang dipakainya, lalu melepaskan cincin berlian yang terpasang pada kalung itu.

Kini sudah tak ada lagi beban yang menghantui Kei. Sehingga Kei pun memutuskan untuk meletakkan cincin itu di tanah makam Wina.

"Mengapa kau memintaku untuk mencari cinta yang lain? Sepertinya aku tak sanggup untuk melupakan mu." Kei tersenyum kecut, andaikan saja Kei tau bahwa Wina menyelediki kasus itu, Kei pasti akan mencegahnya. Sehingga kejadian ini tak perlu terjadi, dan Kei akan tetap bertunangan dengan Wina.

"Aku masih mengingat dengan jelas semua kenangan kita, bahkan kadang aku merindukannya. Namun semakin aku mengingat kenangan itu semakin aku merindukan mu, dan hanya sesak di dada yang ku dapatkan." Kei tersenyum mengingat ciuman pertamanya itu.

"Aku juga masih mengingat bagaimana rasa bibir mu. Dan sejujurnya aku menyukai itu." Kei tertawa lagi. Kini dirinya sudah melepaskan Wina untuk selamanya.

"Aku sudah melepaskan mu untuk pergi Wina dan aku juga sudah membebaskan diriku dari rasa dendam ini. Aku sangat berterima kasih padamu yang telah datang ke dalam hidupku. Aku berterima kasih padamu karena telah mencintai ku sampai akhir hidupmu. Aku akan hidup dengan baik dan aku berjanji padamu. Sungguh aku juga sangat mencintai mu Wina." Kei tersenyum lega mengatakan semua yang ada dalam benaknya.

Kini hanya satu yang akan Kei lakukan yaitu mencari dimana keberadaan Angel. Kei sudah gagal melindungi Wina namun Kei tak ingin gagal juga melindungi Angel.

****

"Sepertinya akan lama para pekerja itu memperbaiki pintunya. Jika kau tak keberatan bagaimana kalau kau istirahat di apartemen saya?" tanya Beno menawarkan.

Kini Beno dan Lola sudah berada di rumah kontrakan Lola, namun pintu yang dirusak itu masih dalam proses perbaikan. Ibu Mirna tadi juga sudah mengatakan bahwa Lola sebaiknya menginap di tempat lain dulu. Dan sekarang Beno menawarkan untuk ke apartemennya saja.

Lola berpikir sangat lama, sedangkan Beno menunggu dengan harap-harap cemas Lola mau menerima tawarannya. Beno tidak memiliki niat apapun, hanya ingin membantu Lola. Beno juga akan cemas jika Lola tetap memaksa istirahat di rumahnya sedangkan para pekerja itu belum selesai memperbaiki pintu yang rusak.

Beno khawatir jika sesuatu juga terjadi pada Lola, namun setelah melihat Lola melawan pria gangster itu, Beno yakin Lola bisa menjaga dirinya.

"Tapi kan tetap saja, dia seorang wanita dan pria mana yang tega membiarkan seorang wanita begitu saja." teriak Beno dalam hati.

Oleh karena itulah Beno menawarkan Lola ke apartemennya saja.

Beno mengetuk-ngetuk jarinya menunggu jawaban Lola. Lola tau bahwa Beno sedang menunggunya memberi jawaban, namun Lola hanya berpikir mengapa lagi-lagi Ia harus terikat dengan Beno. Lagi-lagi sesuatu seperti menarik dirinya kembali pada Beno. Lola hanya tak ingin hatinya tersakiti, jika Beno melakukan lebih dari ini. Bagaimana mungkin Lola bisa melupakannya. Rasa nyaman yang diberikan Beno sebenarnya Lola sangat menyukainya.

"Oh tidak. Bagaimana ini" erang Lola dalam hati. Baiklah Lola sudah memutuskan untuk melakukan sebuah kesalahan.

"Baik, saya terima tawaran bapak. Terima kasih banyak."

Beno tersenyum senang, jawaban Lola seperti yang diharapkannya.

"Saya akan bawa beberapa barang saya. Jadi bapak tunggu saja disini sebentar."

"Baiklah"

Lola segera berlari menuju kamarnya, mengepak beberapa barangnya dan juga membawakan tas ransel Rara. Lola juga sudah menyimpan barang-barang yang menurutnya berharga agar tak ada yang mencurinya. Setelah itu Lola keluar, dan pamit dengan Bu Mirna.

"Ayo pak, kita segera berangkat."

"Tas ransel itu isinya apa?" tanya Beno penasaran

"Ini tas Rara, saya akan berikan padanya nanti." Lola memberi penjelasan singkat, sedangkan Beno hanya ber-oh ria.

"Baiklah, ayo kita berangkat sekarang."