Chereads / Selembar Surat Kontrak / Chapter 25 - Apa Dia Sedang Cemburu?

Chapter 25 - Apa Dia Sedang Cemburu?

Rara melihat jam yang tertera pada ponselnya. Pukul 4 pagi. Dirinya merasa haus dan memutuskan untuk bangun demi menyegarkan tenggorokannya. Setelah menuangkan air putih ke gelasnya, Rara langsung meneguknya hingga habis tak bersisa.

Ketika Rara ingin kembali tidur, matanya tak sengaja menangkap sosok yang tengah tertidur di sofa panjang di sisi lain ruangan itu. Rara sangat mengenali sosok itu. Rey.

Dalam sekejap saja rasa kantuknya hilang menguap entah kemana. Rara bangkit dari duduknya dan berjalan pelan mendekati Rey.

Saat-saat seperti ini, Rara bisa melihat wajah Rey yang tertidur dengan tenangnya. Rara dalam posisi setengah duduk mengamati Rey dengan seksama. Tangan kirinya yang dia gunakan sebagai penopang kepalanya. Lalu tangan kanannya yang terjatuh bebas menggantung begitu saja. Pasti dia akan merasakan mati rasa pada tangan kanannya saat Ia bangun nanti.

Dengan perlahan Rara menggenggam tangan Rey dan meletakkannya di atas perut. Seketika tubuh Rey menggeliat-liat, Rara pikir Rey terbangun karena Rara menyentuhnya. Namun Rey tidak terpengaruh sama sekali. Sepertinya dirinya sangat letih akan pekerjaannya.

Tanpa sadar Rara menyunggingkan senyum di wajahnya. Rey yang tertidur seperti ini terlihat sangat polos dan hangat. Gambaran dirinya yang dingin itu seketika hilang. Lalu dengan sendirinya, tangan Rara menyentuh kepala Rey dan mengelusnya pelan. Bahkan rambut Rey terasa lembut sekali. Sepertinya Ia merawat rambut hitamnya dengan sangat baik. Namun apa yang Rara sukai adalah aroma shampo yang Rey gunakan. Sepertinya aroma white musk. pikir Rara.

Untuk lebih dapat merasakannya, Rara mendekatkan indra penciumannya lebih dekat lagi ke arah rambut Rey. Menghirupnya dengan perlahan. Lalu kembali pada posisi semula. Dirinya tak ingin Rey menciduk Rara yang sedang menghirup aroma shampo white musk nya.

Rara tak berhenti tersenyum senang. Rara meletakkan tangan kanannya di dadanya dan merasakan jantungnya yang berdebar-debar. Tak berhenti Rara memandangi Rey. Namun Rey sama sekali tak terganggu akan hal itu.

Entah mengapa Rara menyentuh wajah Rey. Tak tau darimana datangnya keberanian itu. Tak tau mengapa Rara melakukan hal yang memalukan seperti itu. Dengan perlahan jari-jari Rara menyentuh wajah Rey. Alis, hidung, kemudian bibirnya. Seketika Rara teringat akan perkataan Satria, namun buru-buru dihilangkannya ingatan buruk itu.

Semua hal yang ada pada Rey membuatnya terpesona. Bahkan Rara sempat berpikir bagaimana rasa bibir Rey. Namun segera Rara menutup mata dan menggelengkan kepalanya. Sepertinya otaknya sudah memikirkan yang tidak-tidak.

Ketika Rara membuka kembali matanya, dirinya terkejut melihat Rey yang terbangun. Gelagapan Rara melihat Rey.

"Ka-kau sudah bangun." suara Rara terdengar bergetar. Sepertinya detak jantungnya menjadi 2 kali lebih cepat dari normalnya karena melihat Rey yang terbangun.

"Aku menyadari ada yang menyentuh bibir ku. Itulah mengapa aku terbangun. Apa kau yang melakukannya?" Rey mencoba menjahili Rara. Sejujurnya Rey sudah bangun sejak Rara menggenggam tangan Rey, namun Rey hanya membiarkannya saja.

"Tidak, apa mungkin aku melakukan hal itu?" wajah Rara terasa panas dan telinganya pun juga. Tindakannya sudah kepalang basah diketahui oleh Rey. Namun Rara masih saja berdalih.

"Oh benarkah, kalau begitu siapa yang melakukannya ya?" Rey tersenyum jahil. Rara yang panik langsung membantah apa yang Rey katakan.

"A-aku tidak tau." kata Rara cepat, secepat gerakannya ketika ingin berdiri dari posisi setengah duduk. Namun, karena sudah terlalu lama berada dalam posisi seperti tadi, membuat kaki Rara kebas dan tak bisa berdiri dengan benar. Sehingga membuat dirinya limbung, beruntung ada tangan kekar yang dengan sigap menangkap tubuh mungilnya. Tak lain dan tak bukan, kedua tangan yang kekar itu adalah milik Rey.

"Kau tidak apa-apa?" Rey yang melihat tubuh Rara yang limbung itupun segera menahannya agar tidak jatuh ke lantai. Lalu mendudukkan Rara di sampingnya.

"Ada apa Kazura?" Rey panik melihat Rara yang kesakitan sambil memijat-mijat kakinya.

"Kaki ku kram Rey. Sepertinya aku terlalu lama berada dalam posisi setengah duduk." Rara meringis menahan rasa kram pada kakinya. Namun, Rara terkejut sampai rasanya jantungnya berhenti berdetak untuk sesaat. Rey sudah mengangkat dirinya dan membawanya ke ranjang. Lalu merebahkan tubuh Rara di atas ranjang itu.

"Rey, kau tidak perlu melakukan hal seperti tadi." Rara kesal Rey bertindak sesuka hatinya.

"Maaf, aku takut sesuatu terjadi pada mu. Apa sekarang sudah lebih baik?" raut wajah Rey masih terlihat khawatir.

"Aku sudah baik-baik saja."

Terlihat Rey yang menghembuskan napas lega. Tiba-tiba suasana diantara mereka menjadi hening dan canggung. Rey yang bingung mengapa situasinya menjadi seperti ini terlihat salah tingkah, sedangkan Rara juga tak tau harus bagaimana menghadapinya.

"Ah, pukul berapa saat ini" Rey bertanya padahal dirinya memakai jam tangan. Anehnya, Rara juga langsung mengambil ponselnya untuk melihat pukul berapa.

"5.30 pagi." Rara menjawab singkat pertanyaan Rey tadi. Rey hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Bagaimana kalau kita berjalan mengelilingi area rumah sakit? Kau harus tetap berolahraga." Rey menyarankan berjalan sebagai olahraga ringan bagi Rara.

"Baiklah kalau begitu." Rara kemudian turun dari ranjangnya dan berjalan menuju tas ranselnya untuk mengambil pouch make-up.

"Bisakah kau menunggu sebentar. Aku akan berbenah diri dulu." Rara menunjukkan pouch make-up nya kepada Rey.

"Tentu. Kalau begitu aku akan menunggu diluar." jawab Rey seraya berjalan menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali.

Rara mulai membersihkan wajahnya, menyisir rambutnya, dan memakai lip balm agar bibirnya tidak kering. Setelah di rasa cukup, Rara segera menuju pintu dan menemui Rey yang sudah menunggunya.

"Ayo, kita berjalan-jalan."

Rey hanya berdehem dan mengangguk sebagai jawaban.

Rara dan Rey berjalan perlahan menyusuri lorong koridor rumah sakit. Terlihat para perawat yang berseliweran kesana-kemari. Sepertinya pekerjaan sebagai perawat sangat melelahkan. Pikir Rara dalam hati.

Kemudian mereka menaiki lift dan turun ke lantai satu.

Sepanjang perjalanan itu, Rara dan Rey hanya diam. Untuk memecah keheningan yang sudah tak tertahankan lagi, Rara membuka obrolan

"Bagaimana kalau kita ke taman?" Rey mengangguk sebagai balasan.

Mereka kemudian menuju taman rumah sakit ini. Matahari mulai menampakkan batang hidungnya. Rara menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar ini. Sambil melakukan gerakan pernapasan singkat.

Rey hanya memandangi Rara. Tatapannya kosong. Saat ini walaupun belum ada hal yang menandakan terjadi komplikasi pada Rara namun Rey masih sangat khawatir. Karena bagaimanapun caranya Rara haruslah tetap berada dalam kondisi stabil agar tekanan darahnya tidak naik. Tekanan darah yang tinggi akan menyebabkan gagal ginjal. Untuk itu, Rara harus rutin mengecek tekanan darahnya.

"Rey, ayo kita duduk di bangku itu." Rara menunjukkan sebuah bangku yang terletak dekat dengan air mancur dan dilindungi oleh pohon besar. Bangku tersebut terlihat sangat menenangkan.

Tanpa menunggu jawaban Rey. Rara segera menarik tangan Rey agar mengikutinya menuju bangku tersebut.

Rara yang melihat Rey hanya diam tak bereaksi apapun, bingung. Rara tak bisa menebak apa yang Rey pikirkan.

"Apa ada sesuatu yang kau khawatirkan?" Rara tak bisa lagi menahan rasa penasarannya.

Rey buru-buru menggelengkan kepalanya seraya berkata tidak.

"Tidak, aku hanya sedang kepikiran akan sesuatu."

Rara mengangguk kepalanya. Sepertinya Rara tau apa yang Rey pikirkan.

"Dokter Alex sudah menjelaskan padaku, Rey. Saat ini yang terpenting adalah menjaga tekanan darah ku agar tidak naik. Karena itu akan membuat fungsi ginjal ku menurun. Kau tidak perlu khawatir akan itu. Aku akan menjaga diriku baik-baik."

Rey terkejut mendengar penuturan Rara. Bagaimana mungkin wanita ini mengetahui apa yang dipikirkannya.

"Tentunya semua itu bersamaan dengan pola hidup sehat yang ku jalani."

Rey memandangi Rara dengan ekspresi yang tak dapat Rara jelaskan.

"Daripada mengkhawatirkan aku, lebih baik mengkhawatirkan kakek mu, Rey. Dokter Alex mengatakan padaku bahwa kakek saat ini tengah menjalani terapi Imunosupresan." Rara menghembuskan napas pelan.

"Minumlah dulu." Rey memberikan sebuah tumblr kepada Rara. Rara baru menyadari sedari tadi Rey membawa tas berukuran kecil yang ternyata berisi tumblr.

"Terima kasih." Rara menerima tumblr itu dan meminumnya. Rara memang tidak boleh sampai kehilangan cairan tubuh. Bahkan setelah transplantasi ini, Dokter mewajibkan Rara untuk minum air putih dua liter sehari.

"Memang benar, kakek saat ini tengah menjalani terapi Imunosupresan. Terapi ini akan dilakukan seumur hidup, Rara. Imunosupresan bertujuan untuk menekan sistem kekebalan tubuh. Agar tubuh kakek tidak mengalami penolakan terhadap ginjal baru. Namun bukan berarti tidak ada kemungkinan sama sekali adanya indikasi penolakan ginjal baru tersebut."

"Aku sangat menyadari hal itu. Kakek juga sudah menyadarinya. Terlebih lagi di usia kakek yang sudah renta ini. Akan tetapi, jika memang ada indikasi penolakan ginjal baru pasti Dokter akan segera menanganinya."

"Jadi, selama kakek juga menerapkan apa yang dokter anjurkan, aku yakin kakek akan baik-baik saja. Justru kakek meminta ku untuk menjaga mu." penjelasan Rey membuat Rara bisa bernapas lega. Jujur saja, Rara juga sangat mengkhawatirkan kondisi kakek.

"Kalau begitu, bisakah kita bertemu dengannya, setelah ini."

"Tentu. Ayo kita pergi sekarang. Aku takut Dokter akan mencari mu kalau kau tidak kunjung kembali ke kamar."

Rara mengangguk dan tertawa pelan, lalu mengikuti langkah Rey.

Sesampainya di kamar rawat kakek, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Rey segera membukanya dengan hentakan keras. Terlihatlah kakek yang sedang membaca buku itu terkejut bukan main.

"Rey, kau harusnya mengetuk pintu terlebih dahulu." Rara memarahi Rey yang membuat kakek menjadi terkejut seperti itu.

"Maaf" hanya kata singkat itu yang diberikan Rey. Rara menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak habis pikir.

"Selamat pagi kakek." Rara menyapa kakek seraya tersenyum senang.

"Selamat pagi Rara. Ada apa kalian datang kemari?" Kakek menutup bukunya dan meletakkannya di atas meja.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin melihat kakek saja." Rara mengambil tempat di samping ranjang kakek sedangkan Rey duduk di sofa yang ada di kamar itu.

"Kakek baik-baik saja. Semuanya dalam kondisi sehat." kakek tertawa singkat. Lalu kakek melanjutkan

"Terima kasih sudah mengkhawatirkan kakek." Kakek melihat Rara dan tersenyum senang.

"Rey juga sangat mengkhawatirkan kakek." Rara menunjuk Rey yang dari tadi hanya diam saja.

"Kakek tau itu." Kakek tertawa lagi.

"Kalau begitu, apa kau akan memberikan jawaban dari permintaan kakek?" tanpa basa-basi kakek langsung bertanya pada Rara. Membuat Rey yang mendengar itupun tersedak hingga terbatuk

"Rey, kau tak apa?" Rey memberikan isyarat bahwa dirinya tidak apa-apa. Rara khawatir melihat Rey yang belum berhenti terbatuk itu.

"Berikan aku alasan, mengapa kakek sangat ingin melihat ku menikah dengan Rey." Pertanyaan Rara membuat kakek terdiam cukup lama. Sampai Rey sudah berhenti dari batuknya.

"Karena hanya kau lah yang kakek rasa bisa membuat Rey nyaman. Dan lagi itu adalah permintaan terakhir dari kakek. Apa kau tidak akan mengabulkannya." Kakek tiba-tiba memasang wajah sedih dan membuat Rara tak enak hati. Rara sejujurnya tak suka dengan kalimat "permintaan terakhir" seolah-olah itu menjadi tanda bahwa semua ini akan berakhir.

Namun, apa Rara tega tidak mengabulkan keinginan kakek. Lalu bagaimana dengan Rey sendiri. Rey terlihat sangat tidak tertarik akan hal-hal seperti itu.

"Aku masih belum bisa memberikan jawabannya kakek. Aku rasa menikah haruslah dengan orang yang dicintai." Rara menunduk.

"Lalu apa kau mencintai Rey?"

Bagai tersambar petir Rara mendengar pertanyaan kakek. Bagaimana mungkin kakek bertanya hal seperti itu di saat Rey juga mendengarnya. Rara langsung melihat Rey dan Rey juga balas menatapnya tepat dimanik mata Rara. Rara bisa melihat ketenangan pada wajah Rey. Walaupun kakek bertanya seperti tadi namun itu tidak menggoyahkan ketenangan yang ada dalam diri Rey.

"Kakek, jangan memaksanya. Aku akan membawanya kembali ke kamar sekarang." Rey berjalan mendekati Rara dan menarik tangannya.

"Ayo." Rara segera beranjak bangkit dan mengatakan pada kakek bahwa Ia akan datang lagi nanti.

****

Sudah 2 jam berlalu sejak Rara dan Rey kembali dari kamar kakek. Namun Rey seperti tak berniat untuk membicarakan apa yang kakek tanyakan tadi.

ceklek. Suara pintu dibuka, dan orang yang membukanya adalah Dokter Alex yang datang bersama perawatnya.

"Halo, Rara. Selamat pagi. Seperti biasa saya akan memeriksa tekanan darah mu." kata Dokter Alex seraya meminta perawatnya untuk mempersiapkan alat tensimeter. Lalu memasangkannya pada Rara.

Rey yang duduk di sofa panjang itupun terlihat sibuk dengan laptopnya. Sedangkan Dokter Alex tak ingin mengganggu Rey.

Setelah selesai perawat itu pun mencatat hasilnya disebuah dokumen rekam medis.

"Bagaimana tekanan darahnya?" tanya Dokter Alex pada perawat yang bersamanya.

"Normal dokter. 120/80 mm/Hg." Dokter Alex mengangguk mengerti.

"Baguslah, pertahankan terus seperti ini." Dokter Alex mengelus pelan kepala Rara. Rara mengangguk dan tersenyum lebar.

"Baik."

Rey yang melihat itu merasa panas dan tidak senang melihat perlakuan Dokter Alex pada Rara. Rey berdehem dengan keras seperti menunjukkan ketidaksukaannya. Rara yang tak mengerti mengapa Rey seperti itu bertanya polos.

"Ada apa Rey, apa tenggorokan mu sakit?" Rara menjadi khawatir melihat Rey. Sedangkan Dokter Alex terlihat menahan tawanya.

"Tidak apa-apa." jawab Rey singkat dan melanjutkan lagi aktivitasnya.

"Kalau begitu, saya akan mengganti perban pada luka operasinya dan juga memeriksa luka di punggung dan lehernya." Dokter Alex sengaja mengatakan hal itu keras-keras sampai terdengar oleh Rey.

Rey yang mendengar itu, segera menghentikan aktivitasnya. Wajahnya tampak tenang, namun Rey sejujurnya menahan amarahnya. Rey tak bisa membiarkan Alex melakukan hal itu. Walaupun dia adalah Dokter, namun Rey tak bisa membiarkannya. Entah mengapa Rey merasa marah. Namun Rey tak peduli, dirinya segera bangkit dan berjalan cepat menuju Alex.

"Aku tidak ingin kau yang melakukannya. Biarkan perawat itu." Rey mengutarakan kemarahannya pada Alex, namun sejujurnya Alex tadi hanya memancing saja. Tak menyangka Rey benar-benar terkena umpannya. Apa Rey benar-benar sudah jatuh cinta pada Rara. Pikir Alex dalam hati.

Rara melihat tangan Rey yang mengepal kuat di kedua sisi tubuhnya. Apa Rey sedang marah? mengapa dia marah? atau mungkin dia sedang cemburu?. Semua pikiran itu berseliweran di kepala Rara.

Lalu Rara melihat Rey yang meminta Alex untuk ikut dengannya berbicara diluar.

"Kita harus bicara, Alex." Rey menekankan setiap kata-katanya dan berjalan keluar lebih dulu.

"Tolong urus untuk sisanya ya." Kata Alex pada perawat itu dan segera keluar dari ruangan mengikuti Rey.