Chereads / Selembar Surat Kontrak / Chapter 20 - Hari Operasi

Chapter 20 - Hari Operasi

"Hei, bagaimana keadaan mu. Aku membawakan tas ini untuk mu." Lola datang dengan tergopoh-gopoh membawa banyak barang. Dipundak kanannya tersampir tas ransel milik Rara, ditangan kanannya memegang sebuah goodie bag yang berisi kue-kue kering dan tangan kirinya memegang sebuah kantong plastik berisi makanan kesukaan Rara, Lontong Sayur.

"Apa kau sudah kehilangan akal? Aku tidak bisa memakan semua itu." Rara ingin tertawa tapi menahannya, Ia tak bisa melakukannya. Pipi Rara masih terlihat agak bengkak karena tamparan keras dari Satria waktu itu.

"Aku tidak menyuruh mu memakan ini. Aku yang akan memakannya. Kau hanya perlu melihat ku menyantap Lontong Sayur dan kue kering ini." Lola menunjukkan kantong plastik dan goodie bag itu, lalu mengambil tempat di samping ranjang Rara dan mulai memakannya.

Rara mendecakkan lidah, kesal melihat Lola yang memakan makanan kesukaannya didepan matanya. Daripada melihat Lola yang sedang makan, Rara lebih memilih melihat pemandangan dari jendela kamarnya. Rara saat ini berada di kamar rawat VIP, Rey lah yang memindahkannya ke kamar ini. Namun, sampai saat ini, Rara belum juga bertemu Rey. Saat luka Rara dijahit, Dokter Alex mengatakan bahwa Rey sudah pergi. Kata Dokter Alex Rey hanya pulang untuk membersihkan tubuhnya, namun sampai detik ini Rey belum ada datang lagi melihat Rara.

"Rara, apa kau mendengar ku?" Lola menyentil pelan lengan Rara. Seketika Rara menoleh melihat Lola dengan kesal, Rara sudah mengangkat tangannya hendak memukul Lola tapi Lola menghindarinya.

"Cih, sialan. Mengganggu lamunan ku saja kau ini." Rara mendesis. Lola hanya tertawa

"Pantas saja, kau tidak merespon ucapan ku, ternyata kau sedang berada dalam lamunan. Apa yang kau pikirkan?" Lola sudah selesai makan, memasukkan kembali kotak makanannya ke kantong plastik. Lola sengaja membawa kotak makanan sendiri alasannya sederhana saja, Ia tak ingin memakai styrofoam karena bisa berdampak negatif pada kesehatannya.

"Apa yang kau bicarakan tadi, coba kau ulangi." pinta Rara lagi

Lola memicingkan matanya melihat Rara. Apa Rara sengaja melakukannya agar Lola tak bertanya lebih lanjut mengapa Ia melamun tadi.

"Mengapa kau memicingkan mata mu seperti itu." Rara seperti sudah habis kesabaran, terlihat dari nada bicaranya yang mulai meninggi.

"Jangan tinggikan nada suara mu itu. Aku takut jika kau berbicara begitu."

"Kalau begitu ceritakan lagi yang tadi itu." nada bicara Rara mulai melunak walaupun masih tidak bisa menghilangkan rasa kesalnya.

"Baiklah, baiklah. Aku tadi malam menginap di apartemen Beno." Rara yang mendengar itu pun menaikkan sebelah alisnya dan bibirnya terkatup rapat. Lola melanjutkan ceritanya.

"Kau tau, pintu yang didobrak pria yang menculik mu waktu itu belum selesai diperbaiki. Bu Mirna juga menyuruh ku untuk mencari hotel sementara ini. Maka dari itu, Beno menawarkan bantuan pada ku dengan memberikan tumpangan di apartemennya. Hanya itu saja." Lola mengedikkan bahunya seraya mengakhiri ceritanya.

"Lola, kau yang bilang pada ku, kau tak ingin berharap padanya. Lalu mengapa kau melakukan ini. Apa kau ingin membuat kesalahan?" Rara menatap nanar Lola. Rara hanya tak ingin Lola sakit hati, karena dari cerita Lola dikatakan bahwa Beno adalah seorang playboy. Maka dengan begitu, Beno tidak pernah serius menjalani hubungan. Hanya bermain-main saja. Menyakiti banyak hati wanita, padahal hati wanita itu sangat rapuh.

"Kau benar Rara. Aku ingin membuat kesalahan ini." Rara mengernyit mendengar jawaban Lola

"Bahkan jika kau berakhir dengan sakit hati, Bahkan jika kau tau bahwa Beno tak akan mungkin jatuh cinta padamu."

Lola mengangguk pelan. Melihat itupun Rara mengusap wajahnya kasar, tak menyangka sahabatnya ini begitu cinta pada Beno.

"Tapi belakangan ini, dia menunjukkan padaku kepeduliannya. Apa kau tak bisa melihat saat dia juga ikut bersama ku malam kejadian kau kambuh waktu itu?" Lola membela dirinya.

"Itu bukan pembelaan Lola. Kau baru saja menyangkal ketakutan mu. Aku tau kau pasti juga takut akan berakhir sakit hati, namun sikap kepedulian yang Beno tunjukkan akhir-akhir ini membuat mu menyangkal pikiran itu dan berakhir mengambil keputusan sepihak." Rara sengaja menekankan kalimat 'keputusan sepihak'. Keputusan yang dimaksud Rara itu adalah keinginan Lola untuk membuat kesalahan dengan terus mencintai Beno tanpa memikirkan hatinya yang akan berakhir patah.

Lola tersentak mendengar penuturan Rara. Tak bisa disangkal lagi jika yang dikatakan Rara adalah kebenaran. Hanya dengan sikap Beno yang akhir-akhir ini sangat peduli pada Lola, membuat dirinya berani mengambil keputusan sepihak. Membuat kesalahan dengan terus mencintai Beno tanpa memikirkan hatinya yang pasti akan berakhir patah.

"Ini sudah keputusan ku Rara. Kau tak lagi bisa mempengaruhi ku." Lola mengeraskan rahangnya. Keputusannya ini sudah bulat dan dia akan tetap mengikuti keputusannya itu.

Rara menghela napas kasar. Keputusan Lola ini benar-benar diluar perkiraannya.

****

"Hai kakek. Bagaimana perasaan kakek hari ini. Apa kakek merasa sangat gugup?" Alex tertawa pelan. Kakek yang mendengar itupun ikut tertawa

"Aku tidak merasa gugup sama sekali, bahkan anehnya aku juga tak merasa takut." Kakek berhenti tertawa, perasaannya sudah lega, beban yang selama ini menghantuinya sudah terangkat.

"Baguslah jika memang begitu. Sebentar lagi kakek akan mendapatkan ginjal baru, dan dengan begitu kakek bisa menikmati hidup yang baru." Alex tersenyum lembut sekali.

"Ya, kau benar." ekspresi yang kakek tunjukkan justru bertentangan dengan ekspresi Alex.

"Apa kakek ingin melihat Satria sebelum nanti kita lakukan operasi?" tanya Alex menawarkan. Alex menyadari bahwa hati kecil kakek sebenarnya masih menyimpan rasa sayang pada Satria. Alex sudah mendengar ceritanya dari Rey. Setelah Rey kembali ke rumah sakit tadi malam, Rey menawarkan Alex yang sudah tidak ada kerjaan lagi untuk minum kopi.

Kakek diam lama sekali. Seperti sedang menimbang-nimbang apa harus menemui Satria atau tidak. Akhirnya kakek pun mengangguk.

"Baiklah kalau begitu, kakek tunggu sebentar disini. Alex akan membawa kursi roda." Kakek mengangguk lagi dan Alex segera beranjak keluar kamar mengambil kursi roda.

Selang beberapa menit kemudian, Alex sudah kembali dengan kursi roda yang didorongnya. Alex dengan perlahan menurunkan kakek dari ranjang ke kursi roda. Alex pun mendorong kursi roda itu menuju kamar Satria. Kamar Satria berada di dua lantai atas dari kamar kakek dan berada di satu lorong yang sama dengan kamar rawat Rara. Dalam perjalanan menuju kamar Satria, kakek dan Alex hanya diam saja. Mungkin kakek sedang mempersiapkan diri untuk berbicara dengan Satria.

Setibanya di kamar Satria, terlihat suster sedang memeriksa keadaannya. Setelah suster itu selesai, Alex dan kakek pun masuk. Ekspresi yang kakek tunjukkan saat ini adalah rasa kasihan pada Satria. Satria yang sedari kecil sudah ditinggal mati ibunya, hanya tinggal berdua dengan ayahnya. Namun karena keserakahan ayahnya justru menyebabkan bencana pada dirinya. Ayah Satria meninggal karena bunuh diri dengan meminum racun arsenik.

"Ada apa kakek datang kemari?" Satria berbicara ketus. Kondisinya saat ini sangat menyedihkan. Lehernya dipasang Cervical Collar atau Neck Brace atau yang biasa disebut alat penyangga leher. Tangannya juga dipasang gips yang berbentuk short arm cast yang dipasang dibawah siku ke arah tangan. Kakek berpikir jika semua yang terjadi pada Satria ini karena Rey yang melakukannya.

"Alex, bisakah tinggalkan kami berdua. Kakek ingin berbicara empat mata pada Satria." Kakek meminta pada Alex dan Alex mengangguk mengiyakan. Setelah Alex keluar dari ruangan. Barulah kakek mulai berbicara pada Satria.

"Satria, kakek tau bahwa semua ini terjadi karena kesalahan kakek. Namun seandainya Ayah mu tidak meminta mu untuk membalas dendam pada paman mu. Tentu ini tidak akan terjadi Satria. Tentu kau tidak perlu merasakan semua ini, tentu kau tidak perlu merasakan dinginnya di dalam jeruji besi. Bagaimana pun kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan mu." kakek mengambil napas sejenak. Lalu melanjutkan ceritanya

"Satria, kakek sebenarnya sangat bangga pada mu. Kau memiliki rasa tanggung jawab dan berhati besar. Namun karena keserakahan ayah mu membuat mu jadi seperti ini. Apa kau tau, kakek sebenarnya sangat menyayangi mu Satria. Itulah mengapa kakek tidak pernah mengungkapkan tentang kasus ini. Bahkan ketika jurnalis yang kau dorong itu meminta kakek untuk menyerahkan bukti kejahatan yang kau lakukan pada polisi, kakek tidak melakukannya Satria. Namun ternyata kakek tidak berpikir panjang. Kakek tak menyangka bahwa kau benar-benar sanggup untuk membuat orang-orang disekitar Rey menderita. Kakek pun berubah pikiran dan memberikan buktinya pada Rey."

Satria mulai berkaca-kaca. Dirinya ternyata selama ini sudah salah, kakek ternyata juga menyayangi Satria. Namun kata-kata yang Ayahnya lontarkan waktu itu benar-benar menguasai pikiran Satria. Saat itu Satria melihat ayahnya menenggak racun arsenik itu didepan matanya. Sesaat sebelum meminum itu, ayahnya mengatakan pada Satria untuk membalaskan dendam pada ayah Rey yang telah merenggut semuanya dan terakhir ayah katakan bahwa kakek sebenarnya tak pernah menyayangi Satria hanya Rey seorang yang kakek sayangi.

"Satria, belum terlambat jika kau ingin bertobat sekarang. Kita masih bisa memperbaiki hubungan yang seperti benang kusut ini. Kita akan kembali seperti dulu lagi. Kau tau, jika kakek tidak selamat dalam operasi ini. Kakek hanya bisa menitipkan Rey padamu. Kalian saat kecil sangatlah dekat bahkan berencana untuk menggapai mimpi bersama. Kakek merasa sedih melihat kalian yang seperti ini." mata kakek pun mulai berkaca-kaca, hatinya hancur melihat cucu-cucunya bertengkar karena keserakahan semata.

Satria menggigit bibir bawahnya menahan air mata yang sudah membendung itu. Satria tak sanggup berbicara apapun. Satria menyadari bahwa yang Ia telah melakukan sesuatu yang berdosa. Bahkan Ia berpikir ingin menghabisi kakeknya sendiri. Satria tak lagi bisa menahan air matanya, dan Ia pun menangis.

****

"Kau hari ini tidak masuk kerja ya?" Rara heran melihat Lola yang masih berada di kamar rawatnya.

"Tidak. Aku sudah minta izin pada Beno agar aku bisa menemani mu sampai waktunya tiba nanti." Lola kini sedang merebahkan dirinya di atas sofa panjang yang ada di ruangan itu seraya memainkan ponselnya.

"Apa Rey tidak datang kesini?" tanya Lola karena merasa aneh melihat Rey yang belum juga muncul padahal pukul 5 sore nanti akan dilaksanakan operasinya.

"Entahlah, aku juga tidak tau. Terakhir aku melihatnya di kamar rawat biasa, sesaat aku akan melakukan perawatan Dokter Alex meminta Rey untuk keluar. Sehingga sampai detik ini aku belum melihatnya lagi." Rara berbicara murung mengernyitkan dahinya karena Rara juga merasa heran. Hari ini adalah hari minggu, Rara yakin Rey tidak akan bekerja di akhir pekan. Apa mungkin Rey terlalu sibuk mengurus hal lain sampai Ia tak sempat untuk melihat Rara barang sejenak saja.

"Kurasa Ia hanya sedang sibuk. Apa kau ingin menghubunginya?" Lola menawarkan Rara untuk menghubungi Rey. Namun, penawaran itu langsung dibalas penolakan oleh Rara.

"Tidak tidak. Biarkan saja. Jika Ia memang sibuk, aku takut mengganggunya." Rara berkata sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

tok...tok..tok.. terdengar suara ketukan pintu. Lola segera berlari kecil menuju pintu dan membukanya. Terlihat seorang kakek dan seorang dokter sedang mendorong kursi roda kakek itu.

"Apa saya bisa bertemu dengan Rara?" tanya kakek itu. Lola seketika melihat Rara dan langsung menoleh melihat kakek itu lagi.

"Tentu saja. Silahkan masuk." Lola membuka pintu lebar-lebar agar mereka bisa masuk.

"Oh Dokter Alex. Ada apa?" tanya Rara namun pandangannya jatuh pada kakek yang sedang berada di kursi roda itu.

"Perkenalkan ini adalah kakek Hendrawan Samudra. Kakek yang akan kau selamatkan nyawanya. Beliau ingin berbicara dengan mu." Alex menjelaskan secara singkat.

"Benarkah, kebetulan sekali, sejujurnya aku ingin bertemu dengan kakek dan Rey juga sudah berjanji pada ku untuk mempertemukan aku dengan kakek."

Ketika Rara menyebut nama Rey terlihat kakek yang agak terkejut namun sedikit senang.

"Kalau begitu, saya akan memberikan kalian privasi agar bisa bebas berbicara." Alex segera pamit meninggalkan ruangan itu. Begitu pun Lola yang segera menyadari situasinya.

"Aku senang sekali bisa bertemu kakek. Aku tak menyangka justru kakek lah yang menemui ku. Aku sejujurnya sedang menunggu Rey untuk membawa ku bertemu kakek. Namun sepertinya Ia sedang sibuk." Rara berbicara dengan riang sekali. Terlihat senyum yang manis itu pada wajahnya.

"Sepertinya Rey memang sedang sibuk, tapi pasti nanti Ia akan datang. Kakek juga senang bisa menemui mu. Pertama, kakek sangat berterima kasih karena kau sudah bersedia memberikan ginjal mu. Kakek tak ingin bertanya alasan mengapa kau ingin melakukannya, karena itu melanggar batas privasi." Kakek berbicara pelan dan juga tersenyum hangat. Senyum kakek sangat mirip seperti milik Rey.

"Kakek sebenarnya datang karena ada yang ingin kakek tanyakan." kakek menatap Rara, dan Rara mengangguk

"Katakan saja kakek. Aku akan menjawab apapun pertanyaan kakek." Rara tertawa kecil dan kakek juga ikut tertawa.

"Kalau begitu kakek tidak akan segan lagi. Apa kau sudah punya suami atau kekasih?" kakek langsung menembakkan pertanyaannya. Rara langsung gelagapan mendengar pertanyaan kakek. Agak tidak menyangka kakek menanyakan hal itu. Namun Rara segera menggeleng

"Kekasih saja tak punya apalagi suami." Rara mencoba tertawa untuk menciptakan suasana agar tak kaku, namun kakek hanya tersenyum mendengarnya.

"Kalau begitu, apa kau mencintai Rey?" Rara kaget bukan main kakek menanyakan itu pada dirinya. Rara menjadi salah tingkah, tak tau harus menjawab apa. Rara sendiri juga belum memutuskan bagaimana perasaannya terhadap Rey.

"Aku tidak bisa menjawabnya. Sejujurnya aku juga tak mengerti bagaimana perasaannya ku pada Rey." hanya itulah jawaban yang bisa Rara berikan.

"Lalu apakah kakek boleh meminta satu hal terakhir pada mu?" Rara menaikkan sebelah alisnya

"Apa itu kek?"

"Kakek ingin kau dan Rey menikah."

****

Sudah satu jam berlalu sejak Kakek menemui Rara. Kini apa yang ingin ditanyakannya pada Rara sudah dilakukan. Namun Rara tak langsung menjawabnya. Tentu saja Rara tak bisa langsung menjawab karena itu bukanlah permintaan yang mudah. Untuk itu kakek akan menunggu jawaban Rara.

"Apa yang sedang kakek pikirkan?" Rey bertanya pada kakek, namun kakek hanya menggeleng pelan

"Aku sudah bertemu Rara. Sebaiknya kau temui dia sekarang. Dia sedang menunggu mu."

Rey tau bahwa dirinya harus menemui Rara. Namun rasanya tak sanggup menatap mata Rara, berat sekali.

"Aku tak bisa menemuinya saat ini." Rey berkata dingin. Sejujurnya Rey sudah menemui Rara. Tadi malam saat Rey kembali ke rumah sakit, Rey sempat menemui Rara namun Rara sudah tertidur dan Rey tak ingin membangunkannya. Rey hanya mengecup kening Rara pelan, setelah itu pergi meninggalkan Rara.

"Tapi dia sangat menunggu kehadiran mu Rey. Mengapa kau tidak bisa menemuinya? apa karena kau tidak sanggup jika harus kehilangan dia." Rey tersentak mendengar kata-kata kakek. Memang benar Rey tak ingin kehilangan Rara. Rey sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu melindungi Rara. Namun tetap saja, Rey tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya selama operasi berlangsung.

suara pintu diketuk, terlihatlah seorang perawat masuk ke kamar rawat kakek.

"Permisi saya akan membawa pasien ke ruangan operasi." Kakek dan Rey mengangguk bersamaan

"Pergilah temui dia Rey." Namun Rey hanya menggeleng tanda tak bisa.

Perawat itu kemudian mendorong ranjang kakek menuju ruangan operasi dan Rey hanya mengikuti dari belakang.

****

"Permisi, saya akan membawa pasien ke ruangan operasi." Lola mengangguk

"Aku akan tetap menemani mu." Lola tersenyum menatap Rara.

Sejujurnya hati Rara menjadi gundah karena permintaan kakek tadi. Mengapa kakek ingin Rara menikah dengan Rey. Lalu bagaimana dengan Rey sendiri, apa Rey setuju dengan kakek atau mungkin tidak setuju. Semua pikiran itu menjadi beban pikiran Rara. Rara menghela napas.

Kemudian perawat itu mendorong ranjang Rara menuju ruangan operasi dan Lola mengikutinya dari belakang. Selama perjalanan itu mereka hanya diam saja, tak ada yang berniat membuka suaranya. Namun lagi-lagi pikiran tentang Rey melintas di kepalanya. Bahkan sampai Rara mau melakukan operasi, Rey tidak datang menemuinya. Rara tak tau harus bagaimana, dirinya ingin kecewa dan sedih namun Rara juga sadar, bukan siapa-siapa bagi Rey.

Sesampainya di depan ruangan operasi.

"Rara kau harus kembali, kau harus kembali kepada ku dan kepada ibuku. Ibuku sangat merindukan mu Rara. Aku tak tau harus bagaimana jika kau tidak ada." Lola seperti ingin menangis dan menggenggam erat tangan Rara.

"Aku berjanji pada mu. Aku akan kembali." Rara menenangkan Lola yang sudah tak tahan membendung air matanya. Lalu tiba-tiba Lola mendekat kearah telinga Rara dan berbisik.

"Kau juga harus kembali untuk Rey." Lola menarik dirinya seraya tersenyum. Lalu perawat itupun membawa Rara masuk ke ruangan operasi. Rara terdiam mendengar penuturan Lola. Dan seketika dirinya pun ikut tersenyum seraya mengangguk pelan.

"Aku akan kembali pada mu Lola, pada ibu mu dan pada mu Rey." batin Lola