Rey, Beno dan Kei sudah berada di kamar rawat kakek. Rey menjelaskan Rara yang sudah diculik.
"Kakek, apa yang kakek sembunyikan dari ku. Aku benar-benar tak mengerti. Apa hubungannya dengan Satria. Kenapa harus Rara. Aku tak punya banyak waktu lagi. Aku harus segera menyelamatkan Rara." Rey duduk frustasi, mengusap kasar wajahnya. Dua kancing teratas kemejanya dibuka begitu saja. "Agar tak sesak" kata Rey ketika Kei bertanya.
Kakek yang dihantam bertubi-tubi pertanyaan Rey itu, hanya menunduk lesu dan tak menjawab Rey. Lama sekali Rey menunggu jawaban kakek. Mungkin Rey bisa saja memukul meja, untuk meluapkan rasa emosi, frustasi, tak berdaya dan rasa bersalah yang melandanya. Tapi Rey menahan itu semua. Rey hanya mengepalkan tangannya kuat-kuat, bahkan urat-urat di pelipisnya kelihatan karena rahangnya yang mengeras.
"Kakek, sampai kapan kakek akan diam seperti ini?" Suara serak Rey semakin membuatnya terlihat menyedihkan.
Akhirnya, kakek mengangkat wajahnya dan mulai bercerita. Kakek menceritakan bahwa Satria waktu itu datang dan mengancam kakek. Kakek tau kalau ancaman Satria bukanlah hanya omong kosong belaka. Maka dari itu, kakek langsung menghubungi Rey. Kakek tidak memberitahu alasan Satria mengancam kakek. Kakek hanya meminta Rey mengambil sebuah kotak yang tersimpan di gudang. Kotak itu berisikan buku catatan, tape recorder, dan sebuah flashdisk. Kotak itu berada di kediaman kakek di Purwokerto. Kakek sering mengunjungi kediamannya itu ketika ingin sendiri atau hanya sekedar melepas penat.
"Apa hubungannya dengan semua isi dalam kotak itu kek?" Kei bertanya pada kakek mewakili Rey yang tampaknya sudah tak sanggup lagi berbicara.
"Kalian akan tau, ketika kalian melihatnya" Kakek hanya menjawab seperti itu. Semakin membuat Rey, Beno dan Kei penasaran.
Rey yang duduk itupun langsung berdiri, dan mengatakan mereka akan pergi ke Purwokerto. Namun apa yang kakek katakan selanjutnya membuat Kei tercengang. Kei mencoba mencerna semuanya namun otaknya seperti lumpuh dan tak bisa bekerja.
Rey yang mendengar itu pun, menepuk bahu Kei perlahan, dan mereka bertiga pergi meninggalkan ruangan itu.
****
"Radit, bagaimana apa sudah ada petunjuk?"
"Sudah pak, saya baru saja mau menghubungi bapak." Radit berbicara disebrang telepon.
"Kalau gitu langsung saja kita bertemu di apartemen saya. Oh iya, kamu sudah batalkan semua jadwal saya sampai esok kan."
Beno segera memacu mobil dengan kecepatan tinggi, dirinya pun juga sudah penasaran apa yang sebenarnya tersimpan di kotak yang kakek bilang.
Tapi sebenarnya, Ia juga memikirkan Lola, apa Lola tau kalau Rara diculik. Semua pikiran itu membuat Beno ingin menghubunginya.
Saat sampai di area parkir apartemen Rey, terlihat Radit pun juga sudah sampai.
Radit membungkukkan badan saat menyapa Rey.
"Kita bicara didalam." Rey berjalan cepat, tak sabar lagi mendengar apa yang Radit katakan.
"Kita sudah lama tak bertemu ya Raditya. Bagaimana pekerjaan mu, apa Rey menyulitkan mu lagi?" Kei memecah keheningan dalam perjalanan menuju kamar apartemen Rey.
"Saya baik-baik saja pak, Pak Rey tidak menyulitkan saya kok." terang Raditya apa adanya.
Kei yang mendengar itu terlihat memicingkan mata melihat apakah Raditya berbohong atau tidak. Sepertinya dia tidak berbohong. Pikir Kei.
Saat sampai, Rey langsung mencecar Raditya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya Rey tak perlu tanya lagi karena akan Raditya jelaskan. Beno dan Kei yang melihat kegelisahan Rey hanya tertawa kecil karena mereka belum pernah melihat Rey begini.
"Sesuai yang bapak harapkan, Bu Rara ternyata sudah mengaktifkan pena yang bapak kasih itu. Dan setelah kami melacaknya, posisi Bu Rara saat ini berada di sebuah gedung terbengkalai yang dulunya hotel di daerah Simpang Lima. Dan saya juga sudah mencari tau tentang ciri-ciri pria yang bapak tulis dalam catatan itu. Mereka adalah kelompok gangster yang disewa oleh Pak Satria, mereka sudah bekerja cukup lama dengan Pak Satria. Kelompok gangster ini memang terkenal liar dan tidak segan-segan menyakiti orang yang tidak bersalah. Mereka juga suka menyiksa korbannya dengan sadis, tak peduli itu wanita atau pria. Dan markas mereka adalah hotel terbengkalai itu. Saat ini mereka memiliki 30 orang anggota yang diketuai oleh orang yang bernama Sandi."
Rey yang mendengar penjelasan itu mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Saat ini bahkan Kei dan Beno tak bisa menebak apa isi pikiran Rey.
"Raditya, pergilah ke kediaman kakek di Purwokerto. Lalu ambillah sebuah kotak yang tersimpan di gudang. Kotak itu berisikan buku catatan, tape recorder dan sebuah flashdisk. Kau harus pergi sekarang dan pastikan tak ada yang mengikuti mu. Sisanya biar saya yang urus."
"Baik pak." ucap Raditya seraya pergi meninggalkan Rey, Beno dan Kei.
"Beno, kau hubungi Ajun Inspektur Mondy." Beno yang mendengar itu hanya mengangkat alisnya dan memasang tampang untuk-apa-aku-menghubunginya.
Rey pun hanya menghela napas kesal melihat Beno.
"Ajun Inspektur Mondy adalah anggota polisi yang menangani kasus kematian orang tua dan adik Rey."
"Dan juga kasus kematian tunangan mu." Rey melanjutkan sambil menunjuk Kei.
"Aku tau, tapi agar apa kita menghubungi nya."
"Agar kita bisa mendapatkan bantuannya, kau pikir kita bertiga bisa mengalahkan 30 orang itu, apalagi kalau kita hanya tangan kosong. Lagian ya, agar Ajun Inspektur Mondy bisa langsung menangkap Satria, jika memang terbukti dia bersalah. Kita hanya perlu menunggu Raditya membawakan kotak itu. Sudah cepat hubungi dia, biar kita bisa mengatur rencana." Kei menjelaskan sedemikian rupa. Rey sudah terlalu kesal, saking kesalnya dengan Beno, Rey hanya menatapnya dengan pandangan aku-akan-membunuhmu-jika-kau-bertanya-lagi.
Beno yang melihat itu pun nyalinya seketika menciut. Rey tidak akan segan-segan melakukan apa yang dikatakannya. Segera Beno menjauh dan mengambil ponselnya menghubungi Ajun Inspektur Mondy.
"Dia sibuk sekarang. Tapi dia akan datang nanti setelah pulang kerja." kata Beno memberi laporan
"Apa yang kau katakan padanya?" tanya Kei
"Kau tidak perlu tau" jawab Beno acuh dan pergi menuju kulkas.
****
"Lola... kau dimana? Apa kau bisa pulang sekarang. Karena gawat sekali ini, Rara menghilang, para tetangga ini mengatakan bahwa mereka melihat Rara dibawa pergi menggunakan mobil. Mereka tak bisa menghentikan, karena orang yang membawa Rara menggunakan senjata tajam."
Prangg.. suara piring kaca jatuh bebas ke lantai. Lola yang mendengar itu syok dan tak bisa berkata-kata. Dirinya mencoba mencerna apa yang baru saja Bu Mirna katakan. Napasnya naik turun, kakinya lemas sampai Ia harus berpegangan pada dinding.
Lola yang sedang istirahat berencana untuk memakan kue kering yang dibawa Bu Mirna, untuk itu Lola mengambil piring agar bisa dibagi-bagikan ke teman kerjanya. Namun saat mendapat telepon dan mendengar kabar seperti itu dari Bu Mirna, Lola tak sadar menjatuhkan piring tersebut. Setelah mendapat kabar Lola segera mengemas barang-barangnya. Piring yang berserakan itu dibiarkan begitu saja. Teman kerja yang melihat Lola pun mencoba untuk menahan Lola, tapi Lola berlalu begitu saja. Lola yakin setelah ini dirinya pasti akan mendapatkan SP.
Tapi Lola sudah tak peduli lagi, Lola berlari menuju rumahnya, sesekali menyeka air matanya.
Saat sampai.. Lola melihat rumahnya penuh dengan tetangga. Mereka sibuk membicarakan Rara yang dibawa pergi oleh orang tak dikenal.
"Bu, apa yang sebenarnya terjadi." Lola bertanya sesenggukan, napasnya tersengal-sengal karena dirinya habis berlari.
"Ibu tak begitu mengerti Lola. Mereka mengatakan bahwa Rara dibawa pergi dan itu sudah sekitar 4 jam yang lalu. Mereka sebenarnya sudah dari tadi menghubungi ibu, tapi ibu tadi lagi banyak sekali kerjaan. Ingin menghubungi mu tapi mereka tak punya nomor mu." jelas Bu Mirna seraya memegangi Lola yang seperti akan ambruk kapan saja.
Bu Mirna pun melanjutkan ceritanya.
"Pintu depan ini seperti sengaja di dobrak, bahkan gagangnya saja sampai terlepas. Begitupun dengan pintu kamar Rara." Lola seketika langsung menuju masuk ke dalam rumah, dan melihat kamar Rara.
Tas ransel yang masih ada disana, ponsel yang sudah retak dan rusak parah. Sepertinya ponselnya di lemparkan dengan keras ke dinding. Pikir Lola.
Lola semakin menangis, tak menyangka kejadian seperti ini menimpa Rara. Lalu tiba-tiba dirinya teringat akan Rey. Dan langsung menghubungi Beno, semoga Beno sedang bersama Rey. Batin Lola. Karena Beno juga tak terlihat di cafe.
"Halo" suara berat seorang pria menyambut panggilan Lola.
"Halo, maaf pak. Apa bapak sedang bersama dengan Rey?" Lola berbicara pendek-pendek karena dirinya merasa sudah kehabisan napas.
"Ya, ada apa Lola?" suara disebrangnya nampak sangat khawatir, dan risau.
"Boleh saya berbicara dengannya?" pinta Lola
"Tunggu sebentar"
"Halo, Rey disini."
"Ini aku Lola. Kau dimana sekarang. Rara diculik dan aku yakin kau pasti tau itu." Seketika Lola meninggikan suaranya. Dirinya merasa ingin marah dan juga kesal. Apa Rey tidak menyelamatkan Rara, apa Rey tak peduli pada Rara. Namun Rey diam saja, tak menjawab Lola.
"Kau dimana sekarang. Beritahu aku dimana kau. Aku akan datang menemui mu." Lola akhirnya berteriak pada orang disebrang telepon.
"Aku ada di.." Rey menjelaskan dimana dirinya berada.
"Tunggu aku, aku akan kesana sekarang." Lola segera mematikan sambungan telepon itu.
"Bu, Lola akan pergi menemui seseorang. Ibu tolong bantu Lola jaga rumah ini ya bu." Lola tak menunggu jawaban Bu Mirna dan segera pergi ke halte bus.
****
Suara pintu digedor-gedor dengan kuat. Dengan pukulan sekuat itu, pasti tangannya akan memerah.
"Siapa itu yang menggedor pintu mu Rey." Rey tak menghiraukan pertanyaan Beno dan berjalan menuju pintu.
Ceklek. Pintu pun terbuka. Beno dan Kei menyusul Rey pergi ke pintu untuk melihat siapa yang datang.
Beno syok, dan Kei justru bingung. Karena Kei belum pernah bertemu dengan wanita ini. Namun sepertinya Ia pernah melihatnya, tapi entah dimana.
"Lola, bagaimana kau bisa ada disini." Lola mendengar pertanyaan Beno itu hanya diam menatap Beno karena tak berniat menjawab pertanyaannya
"Masuklah dulu. Aku akan jelaskan semuanya." Rey mengajak Lola untuk masuk.
Lola pun masuk mengikuti Rey dan kedua temannya. Ketika Rey berbalik melihat Lola, saat itu sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rey.
Lola sampai mengibas-ngibaskan tangannya yang perih. Beno dan Kei yang melihat itupun, tak bisa berbuat apa-apa. Sepertinya wanita yang berada di depan mereka ini, memendam amarahnya begitu dalam.
"Aku mempercayakan Rara padamu. Tapi apa yang kau lakukan sekarang, apa kau akan membiarkannya diculik begitu saja. Apa kau tidak berpikir apa yang akan terjadi padanya. Bagaimana jika sesuatu yang buruk menimpa Rara." Teriaknya sampai suaranya serak, sepertinya Lola memaksakan dirinya berteriak sampai pada batasnya.
"Aku sedang menyusun rencana untuk menyelamatkannya. Aku juga sudah berjanji padanya akan datang. Kau tidak perlu khawatir." Rey menjawabnya lesu bahkan Rey menerima begitu saja dirinya di tampar seperti tadi.
Lola pun terduduk lemas dan menangkupkan wajahnya pada kedua tangannya, menangis. Beno memberi isyarat agar Rey dan Kei pergi dari situ sehingga memberikan privasi untuk mereka berdua. Beno memeluk wanita yang ada didepannya ini, menepuk-nepuk bahunya pelan agar berhenti menangis.
"Tenanglah Lola. Saya, Rey dan Kei sedang menyusun rencana untuk menyelamatkan teman mu. Saya tau kau marah. Namun saya pikir, menampar Rey seperti tadi itu cukup kelewatan. Rey juga sudah menderita karena harus menunggu untuk menyelamatkan teman mu itu." Beno mencoba menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Beno yakin Lola salah paham mengenai Rey yang diam saja dan tidak langsung pergi menyelamatkan Rara.
Tapi tangisan Lola makin menjadi-jadi.
Kei yang bingung mengenai wanita itu mencoba mencari penjelasan dari Rey. Tapi Rey sedang tak ingin memberikan penjelasan apapun. Rey hanya memberikan tatapan kau-pasti-akan-tau-siapa-dia.
****
9 jam setelah penculikan Rara
"Lama sekali ya, Ajun Inspektur Mondy datang." Tanya Beno entah untuk yang keberapa kalinya.
Tiba-tiba terdengar pintu yang diketuk itu, Beno langsung berlari menuju pintu dan membukanya.
"Ah maaf, apa aku terlalu lama. Sibuk sekali di kantor tadi."
"Tidak pak, ayo masuk." Beno mengajak Ajun Inspektur Polisi Satu Mondy atau disingkat AIPTU Mondy.
"Jadi apa berita besarnya itu." Ajun Inspektur Mondy bertanya penasaran.