Malam itu di dapur keduanya saling berbicara asik. Sambil makan mereka terus berbincang. Apalagi Rifa'i sangat penasaran dengan masa lalunya Tania. Tania merasa malu ketika Rifa'i memandangnya dia merindukan memalingkan wajah.
'Apa aku harus menanyakan tentang kehidupan yang masa lalu? Apa ayahnya yang menjabat itu adalah biang otak dari pembunuh dari Indana dan Rif'an? Bagaimana nanti perasaan Indana kecil kalau tahu dia adalah keluarga dari yang membunuh orang tuanya. Namun apa benar Tania adalah putri dari pejabat yang korupsi dienam tahun yang lalu? Jika benar dia adalah putri dari pejabat itu apa dia juga orang baik? Atau bukan ya ... aku harus bagaimana? Tapi selama kerja di sini dia sangat baik dan Indana juga sayang sangat menyayanginya,' batin Rifa'i terus memandang wanita yang duduk di hadapannya.
'Kenapa Pak bos memandangi ku seperti itu? Kan aku sangat malu dan dan merasakan GR an ... tatapan yang juga aneh,' batin Tania gugup dan merasa tidak nyaman.
"Ehm ... ngomong-ngomong saudara mu berapa? Ada tidak saudara laki-laki?" tanya Rifa'i setelah lama saling diam. "Aku minta ceritakan dengan detail kehidupanmu selama ini," imbuh Rifa'i sambil makan dengan mengucap bismillah.
"Aku ini tiga saudara, aku anak terakhir, tetapi setelah kejadian ayah ditangkap piham KPK kami berpisah, hanya aku yang merawat Ibuku. Kakakku dua cowok-cowok, kakakku pergi dan mencari kebebasan, ya maklumlah aku kan setelah kejadian itu menggelandang jadi aku juga nggak tau kabarnya mereka," jelasanya sambil makan.
"Tapi kalau boleh tahu apa kamu mengetahui siapa yang melaporkan Ayah kamu, sampai bisa masuk penjara?" pertanyaan Rifa'i membuat Tania terkejut.
"Kenapa Pak bos tanya-tanya?"
"Kalau nggak mau jawab ya nggak papa. Nggak penting juga sih," ucap Rifa'i sambil berdiri.
"Tunggu Pak bos," Tania mencegah Rifa'i berdiri, Rifa'i kembali duduk.
"Aku akan menceritakannya. Heh ... sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku tahu juga. Masalah Ayahku itu apa kira-kira ... ada hubungannya dengan teman satu kampusnya Pak bos? Jujur saja waktu itu kan aku masih SMP. Jadi ... aku itu masih asyik dengan duniaku. Tapi aku ingat sesuatu. Seingat ku kabarnya waktu itu Ayahku menyuruh seseorang untuk membunuh salah satu asistennya. Nah, setelah itu dia berhasil menghilangkan jejak namun ada pemuda dan pemudi alumni dari Kampus Airlangga yang membuka kedok dari ayahku. Aku sangat yakin jika mereka se usia dengan bos. Namun aku tidak tau kabar selanjutnya. Apa bos tahu soal itu? Kan juga alumni dari Kampus yang sama. Jika bos mengenal mereka, aku juga ingin bertemu dengan mereka."
"Jika bertemu kamu akan membicarakan apa?"
"Aku mau berterima kasih karena dengan adanya hal itu Ayah sudah jelas bisa taubat. Dan ... walaupun hidup susah aku bersyukur. Karena kemarin aku sempat membaca buku Pak bos. Aku merasa ... aku harus belajar lebih baik lagi. Yang paling aku syukuri adalah aku bisa mencari uang dengan cara yang halal walaupun tidak sekolah tinggi. Kemarin itu kan aku baca bukunya pak bos ya maaf ... aku tidak minta izin sebelumnya. Tapi aku baca pas ... jika siksa di dunia itu bukanlah seberapa pedihnya, akan lebih tersiksa di akhirat nanti ... jadi aku sangat bersyukur, jika Pak bos mengenali kedua alumni itu aku benar-benar tulus ingin mengucapkan terima kasih," ucapan Tania membuat Rifai tertunduk.
"Tania jika kamu benar tidak ingin mendapat siksa di akhirat apakah kamu bisa membantuku?" tanya Rifa'i menoleh ke Tania memandang penuh arti.
"Ucapan Pak bos membuat aku takut. Aku harus berbuat apa?" tanya Tania, Rifai menghadapkan kursi Tania kedepannya. Tania menaklukan ludah karena terkejut tidak menyangka jika Rifai akan melakukan itu dengan sangat cepat. Jarak mereka sangatlah dekat Tania merasa jantungnya berdegup sangat kencang.
"Kedua orang yang kamu cari sudah meninggal dunia," ucapan Rifai pelan dan membuat Tania sangat terkejut. Tania masih syok dan tercengang dia memegang detak jantungnya yang begitu cepat dia masih belum percaya dengan apa yang didengarnya.
Mata Tania terbelalak namun berkaca-kaca terjatuh lah air mata itu ke pipinya. Saat itu juga Rifai merasa Tania adalah orang yang tulus. Dia terisak merundukan kepala lalu mengusap deraian air matanya.
"Hekhekhek, hiks, est ... Ya Allah ... heks, beneran Pak bos? Nggak bohong kan soal itu?" tanya Tania sambil menatap dengan malas Rifai mengangguk pelan. Tania memijat keningnya dia merasa penat pusing lelah.
"Hiks heh ... Pak bos apa yang bisa kubantu?"
"Aku hanya ingin tahu apa Ayahmu masih punya uang untuk membayar pembunuh. Pada hari dia ditangkap?" pertanyaan Rifai membuat Tania berfikir dia mengingat-ingat apa yang terjadi.
"Aku tidak tahu ... aku tidak ingat soal itu. Jujur saja Pak bos saat itu aku terpancing perkataan Ayahku. Ayahku mengatakan kalau bukan dia pelakunya dia hanya melakukan korupsi. Ayahku bilang kalau kalau ada orang lain dibalik semua masalahnya. Jujur saja Pak bos aku tidak mau membela ayahku, cuma aku mengenal Ayahku adalah orang yang baik dan penyayang mana mungkin dia tega membunuh seseorang. Dan apalagi ayah sudah tidak punya apa-apa untuk menyuruh orang, akan dengan apa membayarnya jika semua harta sudah tidak punya sama sekali. Pada saat itukan harta sudah disita semua. Namun karena aku remaja aku juga nggak ... e .. ibaratnya aku nggak punya seseorang untuk minta keringanan dari sidang. Kan tidak bisa menyewa pengacara sedang keadaan ibu stres dia langsung drop, dan seperti ini ... struk," penjelasan Tania membuat Rifa'i terus berfikir.
"Jadi menurut kamu ada orang lain di balik semua masalahnya ayahmu? Apa ada rekannya? Maksud kamu begitu?"
"Aku tidak tahu Pak bos, cuma kan kalau pejabat-pejabat itu kan banyak teman-teman ibaratnya tikus sama tikus. Teman baik adalah musuh dalam selimut juga ... seperti itu tapi kan? Aku sangat tahu kesalahan Ayahku itu sangat fatal,karena menggunakan dana untuk warga dan merugikan negara. Sekarangkan aku juga sudah berpikir dewasa, hehehe kepedean. Yah, pelan-pelan maksud dewasanya, kalau aku bisa melakukan kebaikan dan bisa membantu Pak bos aku akan bantu," ujar Tania membuat Rifai tersenyum.
"Aku senang jika kamu mau membantu, tapi apakah kamu mengenal orang terdekatnya ayahmu? Pejabat yang kira-kira dekat dengan ayahmu pada waktu itu?" pertanyaan Rifai membuat Tania berfikir.
"Temani ayah itu sangat banyak, tapi ada salah satu teman yang berniat mendekatkan aku dengan putranya. Dia juga sangat kaya, sampai sekarang sangat kaya anaknya juga sering chat aku. Tapi aku nggak suka karena dia culun banget jadi aku sering menghindar," jelas Tania, Rifai tertawa kecil.
Bersambung.