Suara adzan membangun membangunkan Rifa'i bangun, membersihkan diri lalu bergegas berangkat ke Masjid.
Dia berjalan kemudian melihat sesuatu dari kejauhan. "Jadi semalam dia tidur di situ?" gumamnya dia segera menghampiri Tania. Dia mengambil air untuk mengguyur Tania, namun melihat wajah Tania dia merasa kasihan, dia pun akhirnya meletakkan air itu di meja.
Kemudian dia memanggil berkali-kali.
"Heran aku, dari tadi di panggil-panggil tetap tidak bangun. Tania ... solat," teriaknya. Karena Tania terkejut dia meregangkan tangannya, tangan itu menampik wajah Rifai.
"Yah batal deh aku, bangun sholat sana jamaah sama aku," ajak Rifa'i. Tania segera berdiri, dia berjalan pincang, Rifa'i memperhatikannya Rifai merasa kasihan.
Rifai berjalan cepat dia menaikkan tangan Tania ke punggungnya lalu menuntun. Tania sangat terkejut dengan sikap dari bosnya.
"Ini hanya sekedar bantuan, agar kita tidak telat melaksanakan sholat subuh," jelas Rifai, Tania mengembangkan bibirnya sebentar, kemudian dia menatap jalan keduanya berjalan bersama.
Rifai menghentikan langkah karena mereka sudah berada di depan kamar, Tania masuk ke dalam kamar dan Rifai kembali berwudhu.
Keduanya sudah selesai berwudhu kemudian bertemu di salah satu tempat solat, Indana juga sudah bangun dan ingin shalat berjamaah. Mereka sangat harmonis seperti layaknya keluarga biasa padahal Tania hanya seorang pengaruh dari Indana.
Setelah melaksanakan berzikir dan berdoa Rifai dan Indana melakukan rutinitas seperti biasa yaitu berolahraga di depan rumah. Sedangkan Tania mengirimkan makanan untuk Ibunya. Tidak lama Tania kembali, namun ocehan para Ibu-ibu yang belanja sayuran membuat Tania kesal.
"Bagaimana bukan murahan itu namanya ... kalau satu rumah tapi tidak menikah," ujar salah satu ibu membuat Tania menghentikan langkah saat membuka gerbang.
Rifai dari kejauhan memperhatikan Tania, Tania hendak masuk ke namun langkahnya kembali terhenti.
"Iya ya Buk nggak tahu malu deh. Dokter Rifai juga mau-maunya satu rumah, palingan dia itu punya mantra biar dokter Rifai tergoda sama dia," ujar salah satu ibu itu menatap Tania dengan sinis.
"Bu, jangan macam-macam ya Bu ... bicaranya tolong dijaga aku takut dosa," akhirnya Tania bersuara karena sudah tidak tahan merasakan sakit hati karena dibicarakan oleh ibu-ibu itu.
Mendengar dan melihat Rifa'i pun bertindak, Rifai menghampiri Tania.
"Maaf Bu, aku mempunyai norma-norma dan aku mempunyai ilmu, kami kerja profesional dan aku tidak pernah macam-macam lagi pula di rumahku masih ada Pak Herman. Jadi tolong jaga cara bicara kalian. Misal kalau kalian punya anak perempuan dan anak kalian lumpuh, pasti anak kalian akan mencarikan uang. Begitu juga dengan Tania yang bekerja denganku, Tania hanya manafkahi Ibunya. Jadi maaf kalau berbicara harap dipikirkan dulu.
"Hallah ... Dokter, palingan ya sudah diapa-apain kan sama dokter itu sih Tania, mana mungkin tidak tergoda sama Tania, Tania itu cantik. Lelaki yang barangnya mati mungkin yang tidak mau sama Tania, apa mungkin Dokter itu bukan laki-laki tulen," ujar salah satu ibu itu membuat Rifai mengepalkan tangan, namun menurut Rifai percuma berbicara dengan mereka yang tidak punya logika. Rifai menarik tangan Tania dan segera masuk ke dalam rumah.
Suara Tania sangat terisak, Rifai merasakan kalau Tania sudah kehilangan harga diri karena olokan dari ibu-ibu tadi.
"Sudah jangan dengarkan, nanti ... aku akan mencari pembantu lain, sudah jangan menangis," ujar Rifai segera pergi.
"Hiks aku dipecat Pak bos apa salahku?" tanya Tania menatap sedih Rifai tertawa lepas dan menghentikan langkah.
"Jangan pecat aku Pak Bos ... hiks hiks, aku bingung mau kerja ke mana lagi," Tania jongkok dan menangis tersedu-sedu dia merangkul kedua kakinya terlihat sangat merana.
"Gadis konyol. Aku tidak akan memecatmu, aku akan mencarikan seseorang untuk menemani kamu kerja, agar mereka tidak meremehkan mu lagi," jelas Rifai, Tania menaikan wajah dia segera menghapus air matanya dan berdiri.
"Terima kasih Pak Bos, terima kasih, terima kasih ... banyak, Pak Bos peduli banget sama aku, terima kasih Pak Bos aku baru ini lo ... punya Pak Bos baik seperti Pak bos," ucapan Tania cepat membuat Rifai pergi dengan tersenyum.
"Yah ... Pak Bos kok malah pergi, dan tidak berkata apa-apa ... kayaknya cemberut lagi," gumam Tania salah faham. Tania menghela nafas dan segera pergi bersiap-siap untuk menemui culun.
Tidak lama Rifai dan Indana keluar dari kamar mereka sudah bersiap untuk pergi ke Rumah sakit. Tania keluar dari kamarnya Rifai melihat dia. Pria itu menatap gadis cantik yang masih membenarkan tali sepatunya. Seakan waktu terhenti Indana melihat ayahnya tercengang dan terpana kepada pengasuhnya.
"Ayah tante Tania itu memang cantik," ujar Indana, Rifai belum melepaskan pandangannya dia masih terbelalak.
Indana menepuk dahinya, melihat ayahnya sedang merasa kasmaran.
Dia mengayukan tangan besar itu, Rifai tersadar dari lamunan. "Iya sayang .. ada apa sayang ... apa ada yang sakit?" Rifai bertanya panik.
"Ayah itu yang aneh, dari tadi tidak lepas memandang Tante Tania, lamar saja ayah jangan malu-malu, nanti ke dahuluan orang Ayah menyesal lo ... Tante Tania baik kok," puji Indana, Rifai membelqi pipi anaknya kemudian mereka berjalan.
"Jangan membahas itu lagi ... Ayah tidak ada apa-apa sama Tante Tania, Tania hanya pekerja dan pengasuh kamu. Oke nanti kalau di rumah sakit kamu tidak boleh lari-lari, dan ingat kalau lapar ditahan dulu ya sayang. Boleh makan setelah mendapatkan hasil dari periksa. Kalau berhasil dan kamu sehat Ayah, akan memberikan banyak mainan boneka barbie sama kamu," ujar Rifai. Indana memeluk kaki Ayahnya.
"Oh ya tante Tania tidak akan ikut kita hari ini, dia Ayah suruh untuk melakukan sesuatu, jadi kamu tidak boleh rewel ya sayang," jelas Rifai, Indana berlari lalu memeluk Tania, Indana tersenyum lalu kembali ke mobilnya.
Tania dan Rifai berbeda mobil karena beda tujuan.
"Ingat aku sudah memasang alat sadap di salah satu tasmu jadi ketika ada apa-apa mereka akan segera menolongmu," jelas Rifai, Tania melihat tasnya, dia menangguk. Dia segera masuk mobil. Mobil Tania sudah melaju namun Rifai malah mengejar mobil itu sambil memanggil Tania.
"Pak berhenti," pinta Tania ke supir, Tania membuka pintu lalu berdiri.
"Apakah kamu masih sakit?" pertanyaan Rifai membuat Tania tercengang. Rifai merasa dirinya konyol.
"Aku minta tolong sama kamu kita harus tersambung telfon ketika kamu sudah sampai oke ... karena keamanan mu sangat berarti bagiku. Kenapa senyum? Jangan kepedean, aku hanya tidak mau kamu terluka karena kamu pegawai kesayangan anakku. Jadi jangan GR," ujar Rifai bergegas pergi dari situ sambil mengger memukuli pahanya.
"Fai ... kamu kenapa. Aneh tau ...."
Bersambung.