"Ayah ... Ayah, ada-ada aja, bilang aja kalau sudah suka sama tante Tania. Ayah aku itu orang yang hebat, dan orang yang sangat aku sayangi dan berani. Masak bilang suka saja kesusahan. Apa perlu aku yang mengatakan sama tante Tania, kalau Ayah suka sama tante Tania. Ayah, aku memang anak kecil, tapi aku juga ingin mempunyai sosok Ibu, apalagi tante Tania itu baik banget dan sayang banget sama aku. Jadi kalau memang ayah suka sama tante Tania, nyatakan ya Yah, jadi kan tante Tania, Ibu aku," pinta Indana memohon dengan meraih tangan Ayahnya, wajahnya memelas.
'Aduh ... bisa gempa dan masuk kamar ICU aku,' batin Fai.
"Sudah jangan bahas tante Tania, Ayah tidak mau tante Tania merasa tidak enak dan malah mengundurkan diri. Emang Dana mau tante Tania tidak kerja lagi?"
ucap Fai mencari alasan agar Dana tidak lagi membahas Tania.
'Semoga ucapanku meredam keinginan Dana untuk memiliki seorang Ibu,' batinya melirik ke putrinya yang manyun.
"Ayah tidak bisa memaksa tante Tania, Dana ... jadi kamu mengerti dan jangan meminta hal aneh-aneh lagi ya sayang," ujar Fai.
"Baik ayah aku tidak akan meminta hal yang aneh-aneh lagi, aku berjanji. Aku juga tidak ingin tante Tania pergi dari sini," jelas Dana.
Mobil pun sudah sampai di depan rumah keduanya bergegas masuk.
Tania juga baru turun dari taxi, Indana melihat kemudian dia berlari dengan cepat lalu merangkul kaki Tania.
"Sayang ... Zahra, kenapa kok menangis?" Tania merunduk dan mengelus pungungnya.
Rifa'i masuk ada perasaan yang kacau karena dia mengingat jika dia tadi mencegah Tania agar tidak menerima pinangangan Dion.
Mereka semua masuk, setelah solat asar Rifai pergi ke Rumah sakit. Dana dan Tania berada di ranjang keduanya saling bercanda.
"Tan ... kadang aku sangat kangen, ingin juga di peluk Bunda, ingin juga seperti teman-teman,"
"Sayang kan Tante juga bisa di panggil, eh ... anggap Ibu sama Zahra,"
"Aku tidak mau, kalau kerja pasti nanti tante pergi, yang lain seperti itu. Tante Lina, Tante Tresa, semua pergi ... apa tante juga akan pergi, sama seperti mereka? Tante hiduplah bersamaku ya," pinta Dana memeluk Tania.
"Sayang akan ada saatnya Tante pergi dari sini, maafkan Tante ya," ujar Tania membelai rambut Dana.
"Kalau begitu, Terima kasih Ya Allah, Engkau telah menitipkanku terhadap orang tang istimewa, yang kusebut Bunda, walau hanya Tante. Aku mencintai tante, karena tante telah memberikanku segalanya, walaupun singkat. Terima kasih sudah beri aku cinta, walau Tante orang lain, dan terima kasih sudah menyayangiku, sepenuh hati, terima kasih memberiku kasih sayang ya Tante, selama ini baru Tante yang mengerti aku. Semua pekerja baik, tapi hanya sama Tante aku membuat aku nyaman,"
"O so sweet ..." Tania mendekap Dana.
Sedang Fai sedang keliling memeriksa pasien. "Bawa sini, saya tuliskan resepnya," ujar Fai, Suster memberikan kertas dan pulpen.
Sangat cepat coretan itu. Rifai memberikan kertas itu kepada Suster.
"Dok,"
"Apalagi?" suara Fai sangat kesal.
"Ini resep atau nama?" tanya Suster menyodorkan kertas itu.
'Tania? Aku kok bisa nulis begini, aku benar-benar gila,' batin Fai merebut dan meremat, lalu meletakkan di saku. Dia menarik kertas dan pulpen lagi.
Suster menahan tawa.
"Apa yang lucu?" tanya Fai membungkam suster itu. Fai segera pergi ke ruangannya.
'Kenapa aku semakin tidak waras,' batinnya. Rifai mengambil buku dia berpikir.
[Aku gelisah, apakah kamu tau. Tahukah kamu? Satu-satunya orang yang memenuhi syarat untuk menjadi istriku adalah kamu. karena, syarat pernikahan yang langgeng adalah jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama, dan karna kamu sangat baik dan mau menerima Dana. Will you marry me?]
"Aduh ... ada apa aku dan jariku, bibirku keceplosan, jari-jariku tidak terkendali, huh ...." dia memijat keningnya, lalu menyandarkan kepalanya ke meja.
[Tania ... asal usulmu, aku tidak tau. Namun yang aku tau ada nama yang selalu tertulis di dalam hati. tapi, belum tentu tertulis di atas buku nikah. Dan aku ingin nama kamu yang tertulis di kedua tempat yang berbeda namun penuh arti. Kata orang, cinta adalah sebuah penyakit yang bisa disembuhkan dengan pernikahan. Maukah kamu jadi penyembuh sakitku?]
"Huh ... kenapa aku jadi bucin begini. Apa benar aku sakit karena jiwa ku merana," gumamnya. Pria ini semakin aneh karena perasaannya.
[Aku tidak bisa memungkiri jika yang aku lakukan semua ini hanya tentangmu. Kamu yang menjadi sumber semangatku. Dan untukmu lah aku bermimpi sukses di sepanjang hari. Jangan buat aku merana, dengan menolak pinangan ini. Jadilah pembawa cahaya kebaikan di rumah kita nanti. Maukah jadi istriku? Berjuta rasa, yang tidak bisa aku ungkapkan. Rasa yang tak mampu diungkapkan kata-kataatau lukisan. Dengan cara-caramu yang sedeehana, kau selalu membuat ku bahagia. Kau adalah alasan dan jawaban atas semua pertanyaan, yang benar-benar kuinginkan hanyalah kau untuk selalu di sini ada untukku. Maukah kau tuk menjadi pilihanku? Menjadi yang terakhir dalam hidupku. Maukah kau menjadi yang pertama? Yang selalu ada di saat pagi ku membuka mata? Bersediakah kau ....]
"Fai ... apa kamu yakin? Apa kamu benar-benar sudah jatuh cinta? Kendalikan dirimu. Kenapa rasa ini makin membuncah, yang penting sekarang aku luapkan ke tulisan ini saja. Semoga beban ini semakin berkurang. Aamiin." Dia berbicara sendiri dan segera meluapkan perasaannya.
[Aku mencintai wanita berkali-kali. Namun kali ini aku bersyukur kepada Allah SWT karena sudah diberikan satu hati untuk mencintaimu, satu otak untuk selalu memikirkanmu dan satu mulut yang tak pernah berhenti untuk selalu mendoakanmu, untuk jadi istriku, jadilah pendamping hidupku dan menemani masa tuaku. Sekarang semoga doa ku terkabul. Mau kah menjadi istriku? Tania .... mungkin aku tidak bisa mengungkapkan sepenuhnya. Namun tidak dengan hatiku. Hatiku tidak bisa berbohong, harapanku doaku semoga dipersatukan dalam ikatan pernikahan.
Beberapa waktu telah kita lewati. Banyak yang sudah dilalui walau tidak bersama. Tidak mudah memang. Tapi, aku selalu heran. Segala kesulitan bagiku seperti tak apa asal itu tentang kamu. Boleh saja, bila mendapatkan kesulitan yang besar jika itu bersamamu. Tapi, bukankah segala hal di dunia ini selalu diterima dengan konsekuensi? Tidak ada kesulitan yang berdiri sendiri. Kesulitan selalu seiring dengan kebahagiaan. Menikahlah denganku. Kamu adalah alasanku tersenyum, karna Indana sangat mencintaimu sebagai Ibunya. Kamu adalah semangatku menambah kesuksesan walaupun saat ini aku sudah sukses. Segala yang kulakukan adalah tentang kamu. Jangan buat aku hancur dengan menolakku malam ini. Jadilah istriku. Jadilah rembulan di dalam malam-malamku selamanya.]
"Huh ... sudah aku utarakan walau hanya dengan begini," gumamnya, bersandar lalu dengan kedua tangan yang disatukan dan melingkar di leher belakang, dia memejamkan mata.
Bersambung.