Suara alarm yang berasal dari jam beker ku begitu berisik, dengan sangat terpaksa aku jadi terbangun dari tidur lelap ku.
05.30.
Masih terlalu pagi. Tapi aku harus segera bersiap-siap untuk wawancara kerja pagi ini. Seminggu yang lalu aku melamar kerja lewat sebuah situs di internet. Aku melamar di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang market place yang cukup terkenal di kota J ini. Bukan hanya di kota J, namun perusahaan Snappay Group ini kabarnya bahkan termasuk lima ratus perusahaan terbaik di dunia. Dan kabarnya juga, perusahaan tersebut hanya merekrut lima karyawan saja hari ini. Sedangkan CV yang masuk lebih dari seribu pelamar. Namun yang menerima panggilan kerja hari ini hanya 10 orang dan itu termasuk aku--Silia Anastasya.
Aku sudah siap dengan pakaian kerjaku ketika sebuah notif pesan singkat dari ponselku mengalihkan perhatianku. Ku tilik layarnya segera.
Ayah...
From Ayah :
'Silia, bagaimana kabarmu?'
Bola mataku mendadak memanas, dan nafasku tiba-tiba saja terasa sesak. Padahal ini sudah lima tahun berlalu. Tapi pesan singkat itu berhasil membuat dadaku bergemuruh. Mataku terpejam sesaat, ku Hela nafas panjang, setelahnya ku ketik pesan balasan.
To Ayah :
'Aku baik-baik saja. Jangan kawatirkan aku.'
Cukup, aku tidak punya banyak waktu lagi, ku masukkan kembali ponselku ke dalam tas selempang yang sudah menggantung di leherku.
Ini adalah hari pertamaku wawancara kerja setelah lulus kuliah. Padahal baru beberapa bulan aku selesai di wisuda, dan sekarang aku mendapat panggilan kerja ini. Ini sungguh sebuah keberuntungan. Aku tidak ingin suatu apapun mengganggu mood ku. Terlebih lagi kisah kelam yang terjadi padaku lima tahun yang lalu.
Di mana aku merasa terbuang, tidak di anggap dan tersisihkan dalam keluargaku sendiri, sejak ayah memutuskan untuk menikah lagi, aku memilih pergi dari rumah, aku merasa tidak akur dengan sodara-sodara tiriku bawaan dari ibu tiriku, Stuart dan Elena. Mereka brrdua seolah memusuhiku. Aku ingat apa yang pernah Stuart katakan padaku dulu.
"Aku mengizinkan ibuku menikah dengan ayahmu, tapi jangan sampai ada yang tahu, kalo kita sekarang adalah bersodara." Stuart mengatakannya dengan nada dingin serta mengintimidasi, sedangkan Elena, gadis itu juga tampak tak peduli. Gadis yang seumuran denganku itu, selalu bicara dengan nada ketus padaku.
Mereka, ibu dan kedua anaknya itu, begitu pandai mengambil hati ayahku, hingga aku yang sebagai anak kandungnya ini, tersisihkan perlahan-lahan.
Tapi, itu sudah lima tahun berlalu, dan aku tidak akan meratapi masa-masa itu lagi. Aku ingin sekali lagi berlayar, mengarungi hidupku sendiri.
***
Kurang lebih selama satu jam menumpang angkutan umum, akhirnya aku sampai juga di depan sebuah gedung pencakar langit yang berdiri kokoh di hadapanku. Tidak salah lagi, itu adalah gedung perkantoran perusahaan Snappay Group. Ada sedikit rasa bangga saat aku mulai melenggangkan kakiku memasuki loby gedung tersebut. Namun perasaan itu perlahan memudar, nyaliku mendadak ciut, ketika aku melihat banyaknya wanita berpenampilan modis sudah tampak memenuhi ruang tunggu.
Rasa bangga yang sempat hinggap sebentar, kini berubah menjadi rasa rendah diri yang membuatku seolah kehilangan zona nyaman. Pakaian kantor mereka terlihat begitu modis, wajah mereka juga terlihat cantik dengan riasan make up kekinian. Sedangkan aku? Ah... Sebaiknya tak usah di tanya. Penampilanku begitu biasa, bahkan sangat sederhana. Aku hanya mengenakan kemeja putih longgar yang di padu padankan dengan rok sepan hitam di bawah lutut. Menurutku itu lebih mirip seperti saat aku pertama kali masuk kuliah. Untuk riasan, Ah... Apa lagi, predikat gadis cupu sepertinya memang cocok untukku. Aku hanya mengenakan bedak tipis di wajahku, serta lip balm agar bibirku tidak kering. Ya... Sesimple itu memang. Dan kalian tahu? aku berkaca mata. Semakin mempertegas jika aku jauh dari kesan modis dan juga... cantik. Tapi yang membuatku sedikit percaya diri adalah, otakku. Setidaknya aku lulus kuliah dengan nilai terbaik di kelasku.
"Aduh airku?" Seorang pelamar wanita memekik ketika botol minum yang di pegangnya tanpa sengaja terjatuh ke lantai. Airnya mulai membasahi lantai dan ia merasa panik.
Aku reflek menghampirinya. "Kau tidak apa-apa?" Ia menatapku kemudian menggeleng pelan.
"Tidak... aku tidak apa-apa, tapi lantainya?" Wajahnya terlihat menyesal.
"Kalo begitu gunakan sapu tanganku, saja, ayo segera lap, sebelum terlambat." Gadis itu malah mematung menatapku. "Ayo... tidak apa-apa, sebelum ada banyak orang datang kemari dan melihatnya." Di ruangan itu kebetulan hanya tinggal beberapa orang saja yang menunggu giliran untuk wawancara, sedangkan yang lain memilih untuk beristirahat dengan makan di luar seusai wawancara. Dan baru akan kembali saat pengumuman nanti.
"Terimakasih." Suaranya sedikit terbata, kemudian tersenyum. Mungkin ia terharu. Atau entahlah.
"Silia..."
Aku menoleh ke asal suara. Seseorang muncul di balik pintu, memintaku untuk memasuki ruangan karena gilranku wawancara telah tiba. Rasa gugup mendadak memyergapku. Kakiku bahkan rasanya seperti tertanam, berat sekali di gerakkan menuju ruang wawancara.
Tidak apa-apa... semangat Silia. Ayo semangat...
Ku yakinkan diriku sendiri sembari melangkahkan kakiku perlahan memasuki sebuah ruangan.
Tenang... Silia. Tenang! Ucapku sekali lagi, ruanganya terasa hening. Seorang HRD sudah tampak menungguku di balik meja kerjanya. Aku mengangguk pelan menyapanya, ia membalasnya seraya tersenyum. Rasa gugup ku pun sedikit memudar. Ini tak seburuk yang ku kira, batinku. Dengan mantap aku mulai melangkah dan duduk di hadapannya.
30 menit berlalu, aku... dan tidak hanya aku. Menunggu hasil pengumuman dengan harap-harap cemas.
"Silia Anastasya, selamat kau terpilih."
Aku hampir tak mempercayai pendengaran ku sendiri saat suara itu menggema dari balik ruangan HRD melalui pengeras suara.
Aku bahkan hampir tak bisa menahan diri untuk melompat kegirangan. Tapi tentu saja ku tahan dan ku lakukan dalam pikiranku saja. hehe...
"Silia..."
Aku menoleh mencari sumber suara.
Gadis yang ku tolong tadi melambai dan mendekat ke arahku. "Kau Silia kan?" Tanyanya antusias. Aku mengangguk ragu. Perlahan ia mengulurkan tangan.
"Selamat, aku juga di terima kerja disini. Kelak kita akan bekerja di devisi yang sama. Namaku Alya."
Aku tertegun sejenak, namun detik berikutnya ku jabat tangannya dengan suka cita.
"Senang berkenalan denganmu." Kami sama-sama tersenyum.
"Tuan Muda Snapp..."
"Ah...ada tuan muda Snapp..."
Suara riuh itu tiba-tiba saja terdengar, mengalihkan perhatian kami, aku sedikit bingung menatapi para gadis yang ada di ruangan ini mendadak ribut dan histeris. Siapa yang mereka sebut tuan muda Snapp? Kenapa nama itu sepertinya tidak asing di telingaku.
Siapa?
Seorang pria dengan penampilan mencolok baru saja lewat di depan mataku. Dia terlihat begitu mencolok karena penampilannya yang nyaris sempurna, bahkan saat di lihat dari belakang, punggungnya Seolah memancarkan cahaya. Ternyata pria ini yang menyita perhatian. Tubuhku seolah membeku di tempat saat pria itu menoleh dan aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Reflek ku tutup mulutku sendiri dengan kedua tangan, Mataku membelalak lebar. Aku benar-benar tak bisa menahan rasa keterkejutanku. Kenapa harus dia? Batinku.
"Wah... tuan muda Snapp sangat tampan, memikat, dan kaya. Dia di juluki jomblo berkualitas." Alya yang sejak tadi berdiri di sampingku turut histeris. Suaranya yang melengking Membuyarkan lamunanku.
"Apa kamu tahu?" Matanya membulat menatap ke arahku, masih dengan ekspresi antusiasnya dia berkata. "Di Snappy Group ini ada dua peraturan yang tidak tertulis? Pertama, jika tuan muda Snapp mengatakan kamu salah, maka kamu bersalah." Entahlah, sejenak aku bingung harus bereaksi bagaimana. Aku hanya bisa diam dan terus mendengarkan. "Di kantor ini, jangan pernah mencari masalah dengan tuan muda Snapp, Jika tidak, akibatnya hanya satu. Mati." Kali ini aku malah mendadak linglung. Namun setelahnya tawaku seolah ingin meledak.
Apa-apaan pria itu? Seumur hidup, baru ini peraturan terkonyol yang pernah ku dengar.
Membuat masalah dengannya bearti mati.
Kalimat Alya kembali menggema di kepalaku. Membuatku sedikit bergidik ngeri tapi sekaligus merasa lucu. Heh... Yang benar saja. Ku rasa pria itu benar-benar sudah gila. Rasanya aku tidak ingin berhenti mengumpatinya dalam hati.
"Ehm... benarkah? Terimakasih telah memberitahuku." Kataku tanpa minat. Sejak awal pun aku sudah tidak berselera untuk mendengar cerita tentang pria itu.
Namun sepertinya Alya belum juga puas menyanjung Snapp setinggi langit. Dan membuatku terpaksa harus mendengarkan semua pembicaraan konyol ini. Kenapa pria sombong seperti itu harus di puja-puja bagai dewa.
"Dan ku dengar, kekasih tuan muda Snapp juga banyak dan cantik-cantik hingga tak terhitung jumlahnya bagai bintang di langit." Mataku seketika melotot di buatnya. Sebenarnya aku tidak heran lagi tentang hal yang satu ini. Tapi supaya Alya mengira aku kagum saja pada pria itu.
"Lalu... menurutmu? Apakah mungkin tuan muda Snapp akan berubah selera, suka pada gadis biasa?" Celetuknya lagi. Kali ini gadis itu berhasil membuatku jadi turut berpikir. Mendengar namanya saja sebenarnya aku sudah sangat malas. Ah... Ralat, tapi sangat... Sangat... Sangat malas. Karena itu akan membangkitkan kenangan tidak mengenakkan lima tahun lalu bersama pria itu.
Jadi aku hanya bisa menarik kesimpulan dari Hipotesa yang di buat oleh Alya. Bahwa Snapp adalah perwujudan dari Bos yang otoriter, Semena-mena, juga Playboy.
Astaga... apakah dunia memang sesempit ini? Seharusnya dia tidak ingat denganku lagi kan? Semoga kelak aku tidak akan sering bertemu dengan dirinya lagi.
Bersambung.