Chereads / Oh, My Bos / Chapter 8 - Menyebalkan

Chapter 8 - Menyebalkan

Aku tidak percaya ia masih mengajukan sebuah penawaran padaku.

"Aku berikan waktu 3 hari untuk menyelesaikan masalah pribadimu, setelah itu kau kembali lagi kesini untuk melapor. Setelah itu gajimu akan naik sebesar 50 persen. Dan kamu perlu tahu satu hal..." Snapp kembali menjeda kalimatnya dan mulai mencondongkan tubuhnya ke arahku lagi. Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa wajahku. "Aku menaikkan jabatanmu karena ku pikir kamu memiliki kemampuan ini. Atau kamu pikir aku punya maksud lain padamu?" Kepalaku seperti baru saja di siram air es, aku kembali membeku di tempat.

Dia benar-benar membuatku seperti mangsa kecil yang tidak bisa berkutik di bawah tatapan mata dinginnya. "Tidak... tentu saja tidak." Bibirku bergetar, sekujur tubuhku rasanya juga ikut gemetar. Berada sedekat ini dengannya, membuatku seperti kehilangan pijakan. Bahkan jantungku seperti ingin melompat keluar.

Sekarang, aku bisa mengerti apa yang di alami Alya dan juga gadis-gadis lainnya. Ternyata pengaruh Snapp memang sebesar ini. Tapi tidak, aku harus bisa mengendalikan gejolak dalam diriku sendiri.

Harus!

***

"Dia adalah gadis yang memberikan surat cinta pada tuan muda Snapp..."

"Ish... tidak tahu diri. Pasti dia langsung di pecat."

Suara-suara penuh nada ejekan itu tertangkap oleh Indra pendengaranku begitu aku kembali memasuki ruangan devisi keuangan.

Tapi... tidak penting juga aku meladeni kecemburuan mereka. Maaf jika aku mengecewakan kalian semua. Asal kalian tahu. Bahkan surat pengunduran diriku di tolak. Aku masih ingat apa yang di katakan Snapp tadi padaku. Dia bahkan akan menaikkan gajiku sebanyak 50 persen. Dan gaji sebesar itu membuatku jadi tidak rela jika harus melepaskan kesempatan itu.

Aaahh....

Tetapi kosekuensinya adalah. Aku harus bertemu dengannya setiap hari karena aku akan jadi asistent pribadinya. Hiks... sungguh ironi. Ini benar-benar sebuah pilihan yang sulit.

Ponselku berdering tepat di saat aku kembali ke mejaku. Ku tilik layarnya, sebaris nama sedang melakukan panggilan.

Zoya....

"Halo... sahabatku? Apa kabarmu? Aku baru saja kembali dan merasa kangen padamu, apa nanti malam kamu ada waktu?" Suara renyah Zoya langsung terdengar begitu aku menggeser tombol hijau di layar.

Zoya adalah temanku saat di SMA dulu. Dan dia baru saja pulang dari luar negri setelah mengadakan peragaan busana musim panas di Jepang. Ya... Zoya adalah seorang designer sekaligus model yang cukup terkenal di negri ini.

Singkat cerita, setelah menjalani rutinitas yang penat seharian di kantor, akhirnya aku benar-benar bisa berkumpul dengan sahabatku Zoya, juga yang lainnya.

"Semuanya sudah berkumpul? Ayo minum?" Zoya menaikkan gelas wine nya tinggi-tinggi, mengajak semua yang ada disana untuk bersulang.

Sayangnya, aku tidak bisa minum-minuman beralkohol, Zoya memakluminya dan memesankan segelas soda untukku. Meski begitu, aku tetap bisa bersulang dan menikmati malam ini bersamanya.

"Teman-teman. Silia adalah teman baikku selama di SMA." Zoya memulai ceritanya, sedangkan yang lain tampak antusias mendengar kelanjutannya.

"Waktu itu, keluargaku sangat miskin. Semua teman meremehkan ku, aku pernah sedang datang bulan, dan itu membuatku tidak bisa berjalan selangkah pun. Saat itu, jumlah murid wanita di kelas ada 25 siswa. Tapi hanya Silia yang bersedia membawaku ke ruang kesehatan." Semua tampak kagum, namun ceritanya belum selesai.

"Sejak saat itu. Aku Zoya. Menganggap Silia adalah teman seumur hidupku." Zoya menutup ceritanya dengan antusias. Membuatku... Dan tidak hanya aku, terharu dengan ketulusan hatinya, aku tidak menyangka, hanya karena sebuah kebaikan kecil yang pernah ku lakukan padanya, namun baginya itu adalah hal yang sangat berkesan, hingga membuat kami bersahabat sampai sekarang ini.

"Wah... persahabatan yang mengharukan." Celetuk seorang di antara mereka, bahkan ku lihat ia baru saja mengusap sudut matanya yang mulai basah. Zoya memang luar biasa. Aku juga tidak tahan untuk tidak menangis terharu. Tapi aku buru-buru menahannya, aku tidak ingin merusak malam ini dengan air mata dan kesedihan.

"Sekarang kamu sudah sukses, SNAPPAY GROUP adalah perusahaan besar. Banyak orang yang ingin bekerja disana. Kamu hebat, aku turut bangga untukmu, Silia." Zoya menghambur ke pelukanku. Aku bahkan bisa merasakan ketulusan dari ucapannya.

Zoya kembali melepaskan pelukannya dan kini bersiap menarik lenganku. "Ayo, saatnya kita berdansa dan bersenang-senang sepuasnya." Saat ini kami memang sedang berada di sebuah club' malam. Tapi sayangnya aku juga tidak bisa memenuhi lagi permintaannya kali ini.

"Zoya..." Aku mencoba menghentikan langkah Zoya. "Sepertinya aku harus pulang lebih awal untuk istirahat. Kerena besok masih harus kerja." Jelasku dan ku harap ia mengerti.

"Silia... Bagaimana kabarmu belakangan ini?" Zoya malah melemparkan pertanyaan. Sorot matanya pun menatap menyelidik ke arahku. Apakah dia tahu aku memiliki masalah?

"Belakangan ini... Aku baik-baik saja." Jawabku berbohong. Aku mengulas senyum lebar supaya terlihat lebih meyakinkan. Aku sudah bertekad untuk tidak merepotkan siapapun dalam setiap permasalahan hidupku.

Zoya menepuk bahuku dan membuatku sedikit tersentak. "Anak baik. Kalo ada apa-apa jangan sungkan memberitahukannya padaku, ya." Ucapnya seolah sedang menghiburku. Aku mengangguk pelan seraya tersenyum untuk menghilangkan kekhawatiran di wajahnya. Aku bersyukur memiliki teman yang begitu perhatian seperti Zoya. Semoga persahabatan kami tidak akan goyah dengan apapun yang terjadi nanti.

Aku mulai melangkahkan kaki menyusuri koridor yang sepi untuk mencapai pintu keluar. Dan di saat yang bersamaan seseorang tiba-tiba mencekal lenganku dari arah belakang. Sontak aku menoleh ke arahnya, aku kaget, dan hampir saja tak mempercayai penglihatan ku sendiri. Sudah beberapa tahun aku tidak bertemu dengannya. Kenapa tiba-tiba pria itu muncul disini?

Stuart, sodara tiriku. Cih... kenapa aku masih menyebutnya sebagai sodara. Sedangkan dia tidak sudi mengakuiku sebagai sodaranya.

"Silia... ini benar kamu?" Stuart menatapku lekat-lekat dan membuatku sedikit risih. "Kenapa datang ke tempat seperti ini? Ini bukan tempat yang baik untukmu." Bagus sekali, bahkan sekarang ia berlagak ingin menjadi kakak yang baik untuk adik perempuannya.

"Lepaskan aku, ini bukan urusanmu, aku harap kamu tahu batasanmu." Aku menyeringai padanya, terserah jika ia mau menilaiku bagaimana, mau menganggapku gadis nakal atau apalah. Aku tidak peduli. Aku sudah terlanjur membencinya.

"Ini memang bukan urusanku. Tapi kalo ayahmu sampai tahu kamu pergi ke tempat seperti ini, beliau pasti akan sangat kawatir, apa kamu ingin ayahmu merasa sedih melihatmu begini?"

"Aku antar kamu pulang."

Cih....

Aku benar-benar sebal melihat sikapnya yang pura-pura baik itu padaku. Siapa yang kamu sebut ayahku? Bukankah kamu, ibumu dan sodara perempuanmu itu sudah merebut pria tua itu dariku? Sampai-sampai aku harus menyingkir dari rumahku sendiri.

"Sudah cukup, ini semua bukan urusanmu, dan berhentilah sok peduli padaku." Aku segera berlari menjauh darinya.

Bertemu dengannya disini adalah merupakan kesialan bagiku. Dia pria jahat. Keluarganya juga jahat. Mereka yang membuatku tidak bisa menjalani hari-hariku seperti dulu lagi.

Saat ini aku perlu uang, perlu hidup. Aku harus bisa buktikan pada ayahku dan keluarga barunya kalo aku bisa hidup mandiri.

Jadi... sudah ku putuskan. Sepertinya aku memang membutuhkan pekerjaan ini. Meskipun hari-hariku harus menghadapi pria playboy itu.

Bersambung.