POV SNAPP
"Tuan muda Snapp, memang benar kami yang tidak hati-hati hingga menabrak nona ini. Tapi kami benar-benar tidak sengaja, lagipula kami juga sudah langsung meminta maaf padanya tadi." Ucap seorang wanita berambut pendek sambil beberapa kali membungkukkan badannya. Wajahnya terlihat panik. Apa aku menakutinya?
Sedangkan wanita berkacamata yang berdiri di sebelahnya, terlihat begitu tenang. Ini sedikit menarik perhatianku. Entah mengapa aku memiliki firasat bahwa dia adalah pemilik kaca mata yang tergeletak di dekat tangga darurat. Dan rambutnya yang terurai panjang itu, mengingatkanku pada seseorang. sepertinya dia adalah wanita berpayung yang nekat berlari meninggalkanku saat hujan waktu itu.
Aku masih sibuk menimang, ketika seorang wanita dari devisi lain berlari tergopoh-gopoh menghampiri kami. "Tuan muda Snapp, nona Ara. Aku pasti akan pecat kedua karyawan baru ini." Ucapnya masih dengan nafas tersengal.
Jelas ini membuatku kaget. Apa wanita itu sadar dengan apa yang baru saja di ucapkannya?
"Ibu Seina, apakah devisi kalian selalu menugaskan seorang karyawan wanita untuk mengangkat benda seberat dan sebesar ini?" Tanyaku yang membuatnya seketika terperangah, ia membuka mulutnya lebar-lebar tapi seolah tak bisa menemukan jawaban.
"Kali ini aku tidak akan memintamu bertanggung jawab untuk masalah ini. Tapi, lain kali aku tidak ingin kejadian seperti ini terulang lagi, aku tidak ingin melihat pembagian kerja yang tidak wajar seperti ini." Tegasku.
Wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya dalam. "Baik pak!"
"Tapi... Snapp...." Gadis bergaun merah yang bersamaku hendak mengajukan protes. Tapi seketika terhenti saat menatapku menggelengkan kepala padanya pelan.
Detik berikutnya ia mengangguk pasrah. Ku raih pundaknya dalam dekapanku dan hendak membawanya berlaku dari sana.
Saat aku mulai melangkah, tanpa sengaja ekor mataku melirik ke arah gadis berkaca mata yang sejak tadi sibuk menundukkan kepalanya. Aku tahu dia gadis biasa, dan sangat jauh dari standart wanita yang ku kencani selama ini. Namun... Entah mengapa, aku merasa ia terlihat begitu manis.
***
POV Silia
Deg...
Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada diriku, tiba-tiba saja degup jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, ketika jarak Snapp begitu dekat dengan ku tadi. Apalagi sedetik sebelumnya ia sempat menatap ke arahku. Ia berjalan melewatiku dan pundak kami nyaris bersentuhan, bahkan tadi aku bisa menghirup bau parfum yang menguar dari tubuhnya. Aromanya begitu maskulin, sekaligus sangat menggoda. Benar-benar parfum yang mencerminkan image tentang dirinya.
"Astaga... Tuan muda Snapp keren sekali, dia sangat perhatian pada wanita, Ah... aku jadi jatuh cinta sekali lagi padanya." Suara Alya seketika membuyarkan lamunanku. Rupanya gadis itu masih terbuai dengan pesona Snapp si cowok playboy itu. Sebenarnya tidak hanya dia, aku pun merasakan diriku sendiri mulai aneh. Pesona yang di miliki Snapp sungguh luar biasa.
Bahkan di sela-sela bekerja pun, Alya tak hentinya memuja Snapp setinggi langit. Kadang perutku sampai mual mendengarnya. "Wah... Tuan muda Snapp sangat tampan, bagaikan titisan para orang tampan zaman dahulu. Suatu hari nanti jodohku akan datang dengan menaiki awan pelangi untuk menyelamatkanku." Ku rasa gadis itu benar-benar sudah di mabuk cinta rupanya. Dia begitu tergila-gila pada seorang Snapp yang bagiku adalah, pria yang paling menyebalkan sedunia.
Aku tidak akan pernah melupakan akan hari itu. Hari dimana ia mempermalukan ku di hadapan manusia seantero kampus. Dia adalah pria yang membuatku menangis karena tak sanggup menanggung malu. Seumur hidup aku tak kan melupakan hal itu. Terserah kalo dia telah melupakan atau bahkan tak mengingatnya sama sekali. Dan aku juga sudah berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak akan pernah menjatuhkan hatiku pada pria itu. Walaupun seberapa mempesonanya dirinya.
"Alya... sudahlah, kejadiannya bahkan sudah dua hari yang lalu, tapi kau masih saja ingat." Sedangkan dirinya pasti sudah lupa. Seperti dia yang sudah melupakan siapa diriku.
"Silia..."
Aku menoleh ke asal suara. Ibu Seina sudah tampak menjulang di sisi mejaku. "Kamu di panggil ke ruangan presedir." Aku tersentak, kenapa pria itu tiba-tiba ingin aku ke ruangannya?
"Ke ruangan presedir? Anda yakin?" Aku sengaja bertanya lagi karena aku takut tadi pendengaran ku sedang tak berfungsi dengan baik.
"Tentu saja, bahkan ini perintah langsung dari tuan muda Snapp. Ayo... cepat kesana, jangan biarkan tuan muda Snapp menunggu." Aku menelan Saliva dengan susah payah. Sepertinya wanita paruh baya di hadapanku ini tidak main-main dengan ucapannya.
"Baik...." Kataku dengan bibir bergetar. Jelas aku merasa cemas.
"Cepat ya....!" Wanita paruh baya itu mencoba memperingatkan lagi sambil lalu.
Apa yang terjadi?
Kenapa dia menyuruhku menemuinya?
Bagaimana aku mengartikan ini. Saat semua gadis berlomba-lomba ingin bertemu dan ingin lebih dekat dengannya, dia justru menyuruhku untuk menemuinya... gadis yang tidak ingin bertemu dan dekat dengannya sama sekali. Aku harus menganggap ini apa? suatu berkah, atau musibah?
"Kamu Silia?" Seorang wanita berpenampilan ala sekertaris menyambutku begitu aku sampai di ruangan presedir.
"Ya..." Sahutku sedikit ragu.
"Tuan muda Snapp ingin bertemu denganmu. Kau bisa pergi kesana untuk menemuinya" Wanita itu menunjuk ke sebuah ruangan lain yang terpisah, sebuah ruangan khusus presedir. Aku menoleh mengikuti arah telunjuknya, seketika aku seperti melihat sebuah lorong yang gelap dan mencekam, dam di ujung sana terlihat ada pintu yang mungkin saja membawaku ke lubang neraka. Ini sungguh mengerikan sekali. Sepertinya aku mulai berhalusinasi.
"Nona Silia..."
Suara berat khas pria itu menyapaku. Membuatku seketika terpaku, perlahan ku beranikan diri mengangkat kepalaku dan berjalan mendekat ke mejanya.
"Silakan duduk." Aku sedikit terkesiap, di bawah tatapan mata dingin itu aku seolah tak bisa berkutik dan hanya bisa menurut.
Inilah yang paling ku takutkan. Hatiku menjadi lemah, seperti gadis-gadis lain yang menggilainya. Meski tak bisa ku bohongi, jantungku mulai berdegup tak beraturan saat ini.
Sebisa mungkin aku mencoba menampilkan wajah tenang, aku tidak ingin ia menguasai pikiran bahkan hatiku.
Snapp terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam laci, kemudian menaruhnya di atas meja dan menyodorkannya ke arahku. Mataku langsung terbelalak tak percaya. "Ini kaca matamu kan?" Tanyanya yang membuatku berhasil membeku di tempat. Jelas itu milikku, tapi bagaimana bisa ada padanya?
"Iya... ini milikku." Jawabku setelah sempat terdiam. Ku pikir, percuma saja berbohong. Dia pasti lebih pintar dari yang ku duga.
"Hem... jadi benar kau yang waktu itu di ruangan tangga darurat dan mencuri dengar?"
Mendengar tuduhannya itu aku jelas tidak terima. Entah aku mendapat kekuatan darimana, hingga akun
berani menyanggahnya. "Tuan muda Snapp. Aku waktu itu hanya kebetulan lewat di ruangan dekat tangga darurat dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencuri dengar."
Kalo aku tahu aku akan bertemu dengannya, aku juga pasti lebih memilih untuk kabur jauh-jauh.
Ku pikir dia akan marah, tapi dia malah menatapku dengan sorot mata lembut. Pertahananku hampir saja lemah karena tatapan mautnya itu. Tidak... aku tidak mau jika sampai harus tertarik padanya. Lebih baik aku....
"Aku akan mengajukan pengunduran diri."
Ini bukanlah keputusan yang terlintas begitu saja di kepalaku. Sebenarnya sudah ku pikirkan dari jauh-jauh hari. Lagipula aku juga tidak bisa terus-terusan bersembunyi darinya kan? Cepat atau lambat aku juga akan sering bertemu dengannya. Jadi... ku pikir ini adalah keputusan yang terbaik. Aku tak bisa memikirkan jalan lain selain mengundurkan diri dari perusahaan ini. Meskipun sangat berat. Meskipun pada akhirnya nanti aku mungkin akan menyesalinya. Tapi... Tekatku sudah bulat kali ini.
"Apa kau yakin?"
Bersambung.