Chereads / Pendekar Mayat Bertuah / Chapter 9 - Menyembunyikan Kesaktian

Chapter 9 - Menyembunyikan Kesaktian

Mendengar saran dari sang Bunda lalu Sanjaya yang tadinya sudah berencana untuk menggunakan kesaktiannya itu pun akhirnya urung melakukan dan lebih menurut perintah ibunya walaupun dia sendiri juga tahu bahwa orang yang bernama Suripto itu adalah orang yang sangat pelit.

Memang sekarang ini Sanjaya itu mudah marah alias berwatak keras tapi meski begitu kalau diperintah oleh ibunya dia tidak berani membantah.

"Baiklah Bu, akan aku coba," jawabnya sambil melangkah pergi.

"Semoga Pak Suripto berkenan meminjamimu Nak," ujar Bunda Mekar.

Dengan langkah yang terlihat gontai akhirnya Sanjaya pun mendekati Pak Suripto dan langsung berkata.

"Pak, saya disuruh Ibu saya untuk pinjam ember dan pikulannya, soalnya Periuk yang saya gunakan tadi itu pecah," ucap Sanjaya terlihat sambil memandang lelaki itu dengan penuh harap.

"Enak saja, pengen berhasil kok tidak mau modal! Bisanya cuma pinjam-meminjam! Ember saya ini baru saja selesai saya gunakan dan saat ini sudah waktunya untuk istirahat, jadi gak bisa!" ujar Pak Suripto sesuai dengan apa yang sudah diperkirakan sebelumnya oleh Sanjaya, bahwa dia itu memang benar-benar orang yang pelit.

"Ya tapi kalau kamu mau menyewanya ya gak papa, silahkan bawa," ucap Pak Suripto.

"Maaf Pak, Ibu saya tidak punya uang untuk sekedar menyewa ember Pak Suripto."

"Ya sudah kalau begitu, ambil saja air sungai itu dengan tanganmu!" balas Pak Suripto bernada mengejek. Mendengar itu akhirnya Sanjaya pun langsung bergegas pergi tanpa menimpali ucapan pria itu dan kemudian dia terlihat mengumpulkan dedaunan. Lalu setelah merasa cukup Sanjaya pun mulai merangkai daun-daun kering itu dan dia bentuk menyerupai dengan sebuah ember lengkap dengan tali gantungannya.

Melihat hal itu Pak Suripto yang rupanya melihat dari kejauhan tampak berseru.

"Hoe, bocah gemblung! Kamu boleh membayar uang sewa ember ku ini kalau nanti sayuran mu itu sudah panen ...!"

"Tidak perlu, aku sudah tidak butuh embermu itu ...!" jawab bocah kecil itu dengan suara yang lantang dan tegas.

Lalu tidak lama kemudian Sanjaya pun langsung turun ke sungai dan mengisi dua ember buatannya itu, dan dari situlah Sanjaya nampak memperlihatkan kesaktian dan keanehannya, bagaimana tidak aneh, ember yang terbuat dari daun itu pun ternyata bisa menampung air bahkan sampai penuh dan tidak ada satu tetes pun yang air yang tumpah darinya.

Bahkan ketika Sanjaya sudah mulai memikul due ember ajaibnya itu untuk dibawanya naik ke atas. Dan sontak saja hal itu pun langsung membuat Pak Suripto terbelalak kedua matanya dan bergumam lirih.

"Rupanya anak itu memang memiliki kesaktian, dan berarti apa yang aku dengar selama ini memang benar-benar adanya," ujar lirih Pak Suripto.

"Aku yakin pasti kesaktiannya itu adalah titisan dari Ayahnya yang bernama Wira itu, tapi seingatku orang yang bernama Wira itu mukanya jelek, lha tapi bocah ini wajahnya kok ganteng sekali, yah mungkin saja dia itu niru Ibunya, karena sebenarnya ibunya itu perempuan yang cantik tapi saat ini sudah tidak lagi karena kulitnya sudah hitam dan mukanya juga sudah kusam," lanjut ujar Pak Suripto dengan masih tertegun melihat kejadian aneh bin ajaib terpampang di depan matanya.

Begitulah akhirnya Sanjaya pun langsung mengerjakan semua tugasnya itu hingga selesai, lalu setelah itu mereka berdua langsung pulang ke rumah mereka, satu-satunya peninggalan Wira yang masih tersisa yang tidak ikut diambil oleh Pak Suripto.

Berbicara mengenai Sanjaya, meskipun berwatak keras tapi sebenarnya dia itu tergolong anak yang penurut pada sang Bunda, ya meskipun itu tidak berarti bahwa semua apa yang diperintahkan oleh Bunda akan dia patuhi, karena memang kenyataannya masih ada saja perintah dan nasehat dari Bundanya itu yang dia langgar, seperti untuk tidak keluyuran di malam hari, karena selain dia yang masih tergolong anak-anak, angin malam juga tidaklah bagus untuk kesehatannya, belum lagi kalau pagi susahnya minta ampun kalau dibangunin.

Pada suatu ketika dia dan teman-temannya selesai berburu dari hutan, dan beruntung mereka rupanya berhasil menangkap beberapa hewan buruan, lalu kemudian mereka pun bersepakat untuk memasak hewan hasil buruannya itu di pelataran kuil, sebuah tempat beribadahnya para warga sekitar lereng gunung, dan untuk kali ini dia sengaja minta izin pada Bundanya untuk tidak pulang malamnya alias ingin tidur bareng teman-temannya di kuil itu, dan meskipun diawal sempat melarang namun karena Santana terus merengek akhirnya Putri Mekarsari pun mengizinkannya.

"Terimakasih ya Bunda ..." ujar Sanjaya dengan wajah terlihat sangat sumringah.

"Ya tapi awas! Ingat pesan Bunda, jangan membuat kotor di kuil," jawab Bunda menasehati Putra sematawayangnya itu.

"Iya-iya Bunda ... Bunda tenang saja aku dan teman-teman tidak akan berbuat macam-macam, kita cuma mau membakar kijang hasil buruan kami, selamat tinggal Bunda ..." ujar Sanjaya sambil bergegas pergi meninggalkan Bundanya. Memang di sebelah kuil itu ada tempat yang biasa digunakan oleh warga untuk masak-masak kalau sewaktu-waktu ada acara adat diselenggarakan.

Begitulah akhirnya Sanjaya dan teman-temannya pun segera berkumpul di pelataran kuil itu, dan memang sudah jadi kebiasaan turun-temurun kalau kuil itu selain sebagai tempat untuk beribadah juga digunakan oleh anak-anak remaja untuk tidur. Sebenarnya diantara mereka yang berkumpul disitu Sanjaya lah yang terbilang paling kecil sendiri karena rata-rata mereka sudah kisaran umur lima belas sampai dua puluh tahun, sedang Sanjaya saat ini masih berusia sepuluh tahun, namun begitu Sanjaya kecil memang sudah dikenal sebagai bocah yang sakti jadi dia pun cukup disegani oleh teman sepermainannya itu.

Lalu malam itu secara ramai-ramai para remaja itu pun membakar hewan hasil buruannya yang berjumlah dua ekor kijang dan satu ekor kelinci, secara bergantian mereka berjaga perapian dengan mengipasi nya, tidak kurang dari sepuluh remaja yang ada di situ, dan baru setelah malam memasuki seperempat, dua ekor kijang dan satu ekor kelinci panggang mereka pun telah matang, lalu dengan segera mereka pun langsung beramai-ramai menyantapnya.

Tidak butuh waktu lama ketiga hewan panggang itu pun langsung segera ludes disantap Sanjaya dan sembilan temannya. Terus namanya juga anak-anak, kalau berkumpul sudah pasti akan selalu heboh dengan senda gurau mereka, bahkan karena sangking ributnya akhirnya mereka pun sempat disambangi oleh Pak Santo yang bertugas sebagai juru kunci kuil tersebut.

"Hei, hei, hei ... jangan keras-keras suaranya ...! Kasian para warga yang sedang istirahat ...!" seru Pak Santo yang terkenal cukup tegas dan keras itu. Mendapat teguran seperti itu mereka pun nampak sedikit tenang, tidak ada yang mereka lakukan kecuali hanya diam menundukkan kepalanya, namun itu tidak berlalu lama karena setelah Pak Santo itu pergi mereka pun kembali ribut, dan baru setelah waktu melewati tengah malam akhirnya mereka pun pada terdiam karena memang sudah terlelap dalam tidurnya masing-masing.

Malam terus bergulir, begitu memasuki sepertiga malam yang terakhir Sanjaya tiba-tiba merasa perutnya mulas.

Keruk ... keruk ... keruk ... kruwes ... kruwes ...!

"Waduh kenapa kok tiba-tiba perutku mules sekali?" ujar Sanjaya sambil bangkit dari tidurnya, untuk sekedar diketahui bahwa Sanjaya dan sembilan temannya itu rupanya tidur di dalam kuil tersebut. Rasa mules itu tidak juga hilang meskipun Sanjaya berusaha menekan-nekan perutnya, bahkan makin lama malah semakin terasa sakit.

"Aduh, nampaknya aku tidak tahan lagi," ujarnya sambil beranjak berdiri dengan tangan kiri memegangi perut dan tangan kanan memegangi duburnya.

"Waduh ... aku benar-benar gak tahan lagi ..." ujar lirih Sanjaya, dan akhirnya ...

Jrot ... jrot ... jrot ...

Sanjaya kecil pun berak di dalam kuil tersebut dan karena posisinya juga sedang berdiri maka kotoran yang agak-agak mencret itu pun langsung jatuh diantara kedua kakinya, karena sudah kepalang tanggung ditambah takut kalau sampai kotorannya itu berserakan kemana-mana dan juga rasa mulesnya itu belum kelar akhirnya sekali lagi Sanjaya kembali melanjutkan buang hajatnya itu.

"Eeeh ...!"

Satu gundukan kecil kembali bertambah hingga semuanya berjumlah dua gundukan kotoran. Dan setelah itu Sanjaya pun merasa sudah cukup enakan, lalu dengan perasaan lega namun juga takut bocah berumur sepuluh tahun itu pun berjalan dengan agak mengangkang dan membungkuk untuk keluar kuil.

"Aduh ... bagaimana ini ... kalau sampai Pak Santo marah ..." ujar Sanjaya sambil terus berjalan pulang ke rumahnya.