Rara pun baru berani menatap Arial pelan-pelan. "Are you serious, Ar?" tanyanya sepelan bisikan.
"Apa aku kelihatan kayak bercanda?" tanya Arial balik. Lalu dia tersenyum simpul. "Aku mungkin bakal tetep diem seandainya kemarin kamu bener-bener jadian sama Feri. But, you know... I can't see you cried for him, okay? Apalagi undah tiga hari ini."
Rara tepana. "Kamu tahu aku nangis?" tanyanya.
"Aku selalu tahu," kata Arial singkat. "Jadi kamu boleh akting ke siapapun... atau make conclear setebal apapun... tapi jangan harap bisa bohong ke aku, ngerti?"
Kata-kata Arial sungguh membuat Rara tak habis pikir. Dia ingin menemukan secercah kebohongan dalam mata jernih itu, namun hasilnya nihil.
Ah, memang setidak peka apa sih dia selama ini? Sampai-sampai Arial mengaku suka sudah lama, tapi perasaan itu malah baru bisa dia baca sekarang.
Bukannya... itu agak keterlaluan sekali?
"Rara!"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang familiar.
Refleks, Arial dan Rara pun menoleh ke sumber suara itu.
Itu adalah Feri. Yang berdiri di seberang lapangan basket dan kemudian berjalan memutar ke arah mereka berdua.
"Y-Ya, Fer?" tanya Rara. Dia refleks mengabaikan Arial dan berdiri dari bangku itu.
Feri menatap Arial sejenak. "Mn, boleh aku pinjam Rara sebentar kan, Arial?"
Arial, yang semula berwajah masam langsung memasang ekspresi ramah. Ber-akting. Cowok anggota Klub Drama sekolah itu tersenyum manis. "Tentu. Rara kan bukan milikku," katanya. "Jadi lain kali... kamu nggak perlu lagi minta izin ke aku."
DEG
Mendengar kata-kata itu, Rara pun terperangah. Sebab hawa menyindir jelas terasa sekali dari sahabatnya itu.
"Oh, terima kasih," kata Feri. Entah murni tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. "Nggak bakal lama kok. Soalnya ini mau bahas soal Klub Bonsai kami," lanjutnya. "Ayo, Ra?"
Rara justru malah terbengong.
"Rara?" panggil Feri sekali lagi.
"Eh—iya."
Setelah itu, Rara pun segera berjalan mengikuti langkah Feri. Menyusul di sisinya. Dan meninggalkan Arial yang melambaikan tangan perlahan ke arahnya saat dia menoleh.
Saat itu, Feri memang sedang menjelaskan beberapa topik tentang Klub Bonsai. Namun, keantusiasan yang biasa dia tunjukkan justru menghilang begitu saja.
Kini di pikirannya hanya Arial. Yang ketika dia toleh sekali lagi... malah menunjukkan tatapan terluka yang mendalam.
Ah, gila.
Bukannya tadi mereka berdua sedang bicara serius...
Dari hati ke hati malahan. Tapi dia malah pergi begitu saja lkarena kedatangan Feri.
"Ugh..." batin Rara ketar-ketir. "Maafkan aku, Arial."
.
.
.
Di ruang Klub Bonsai, tak seperti biasanya. Ada berpuluh-puluh pot bonsai berisi mawar mungil yang dijejer rapi. Dan Feri berbicara tampak bicara lebih cerewet hari ini. Entah kenapa. Sikapnya tak menunjukkan perubahan apapun setelah apa yang terjadi antara dirinya dengan Rara tiga hari lalu.
"Lihat deh, Ra. Semua mawar ini bagus, kan?" tanyanya.
Rara pun melihat semua kuncup yang berbeda warna disana.
"Semua mawar ini warna-warni ya, Fer?" tanya Rara.
"Benar," kata Feri. "Dan semuanya adalah jagoanku untuk mewakili lomba Klub kita nanti," lanjutnya. "Mawar selalu bagus untuk menyita perhatian, kan?"
"Iya," jawab Rara dengan pandangan menerawang jauh. Tapi Feri tak sadar akan hal itu. Cowok itu justru mendekat ke pot-pot mawarnya dan mengambil alah satu pot.
"Tapi yang paling keren adalah yang ini," kata Feri.
Rara pun melihat bonsai mawar yang ada di sana. Cabangnya ada dua. Yang satu masih kuncup. Yang satu sudah mulai merekah. Namun yang menyita perhatian adalah warnanya.
Ketika yang kuncup sepenuhnya merah, justru yang mulai merekah berwarna-warni dalam satu mahkota. Ada yang putih bermotif warna merah. Ada yang kuning. Ada yang biru. Ada yang merah jambu. Dan masih banyak lagi.
"I-Ini... hasil percobaan kamu yang waktu itu?" tanya Rara. Mulai takjub.
Feri mengangguk. "He-em."
Rara pun memandangi bunga itu. "Bagus..." pujinya tanpa sadar. "Tapi kenapa kamu nunjukkin ini ke aku?" tanyanya.
Feri menatap Rara lekat. Lalu tersenyum. "Bukannya kamu paling suka mawar?"
Rara diam. Feri benar. Ia sungguh menyukai mawar. Namun, meski keindahan di depannya itu membuat takjub... dia justru malah teringat lagi dengan tatapan terluka Arial sebelum Feri menjemputnya kesini.
"Ra?"
"Eh—iya?"
"Ngelamun, ya?"
"M-Mn, nggak kok—"
"Lagi mikirin Arial, ya?"
DEG
"Apa?"
Feri senyum. "Semua yang mau aku bilang Cuma tinggal satu kok..." katanya. "Dukung aku buat perlombaan nanti, ya?"
"Oh..." desah Rara. Lagi-lagi blank. Dia pun mengangguk begitu saja. "Mn, iya..." lalu buru-buru pamit pergi dari ruangan itu. "Maaf ya, Fer... aku balik ke Arial dulu. Soalnya dia pasti—"
"Iya," sela Feri. Dengan senyuman yang lebih lebar. "Aku ngerti kok. Dia pastu udah nunggu kamu sekarang."
Rara pun menatap Feri sungkan, tapi... dia tetap segera berbalik keluar dari pintu itu. "Sekali lagi maaf. Aku permisi dulu."
.
.
.
Setelah Rara pergi, Kana sahabat Feri sekaligus anggota Klub Bonsai juga masuk kesana.
"Loh? Kok Rara pergi?" tanya Kana.
Feri berjongkok di depan deretan pot-pot bunga bonsainya. "Dia lagi nyari Arial, Kan." Katanya. Lalu meletakkan pot mawar bermahkota warna-warni itu.
"Ha?" bingung Kana. "Kok bisa ninggalin pacarnya gitu aja sih?"
"Kana..." desah Feri. Dia menoleh ke wajah Kana. "Siapa sih yang pacaran? Kami itu Cuma temen."
"Apa?" kaget Kana. "B-Bukannya tiga hari lalu—tunggu. Kamu nggak mungkin nolak dia, kan?"
Feri menggeleng. "Kamu salah, Kan."
"Jadi kamu beneran nolak dia?" tanya Kana. Tak perlu jawaban. "Bukannya kamu cinta sama dia?"
Feri senyum. "Ada prang yang lebih pantes buat dia, Kan. Dan orang itu udah ada di samping dia selama ini."
"Apa sih maksud kamu?"
"Arial," kata Feri singkat. Namun kini senyumnya berubah menjadi getir. "Dia adalah orang itu, Kan. Jadi meskipun aku mencintai Rara... kalau dibandingkan dengan Arial... aku ini siapa?"
"Aku bener-bener nggak ngerti deh, Fer—"
"Arial itu siswa terpintar di sekolah kita," sela Feri. Lalu memandangi jejeran pot-pot bunga bonsai miliknya. "Dia juga jadi aktor Klub Drama terbaik dari tahun ke tahun. Sampai-sampai tahun lalu mereka bisa memenangkan kejuaraan Nasional. Kau tahu—aku jadi merasa tidak bisa menandingi dia untuk lebih layak di samping Rara."
Kana tertegun sejenak mendengar semua penjelasan Feri. "Lalu apa kamu bakal nyerah gitu aja?" tanyanya. "Membiarkan Rara kecewa, nggak tahu perasaan kamu yang sebenarnya, dan akhirnya pacaran dengan Arial yang sahabatnya itu?"
Feri diam.
Dan tetap seperti itu meski sudah hampir lewat setengah menit.
Kana pun mengepalkan tangan.
"Kamu jahat sama Rara, Fer."
Di luar dugaan, Feri justru menundukkan kepalanya. Tak membantah dan mengakui. "Aku tahu, Kan." Katanya. Lalu mendadak Kana bisa melihat bulat-bulat bekas tetesan air matanya yang jatuh... begitu saja. Tepat di sekitar sepatu-sepatunya.
"Fer..." desah Kana.
Antara ingin menghibur dan merasa bersalah, Kana justru tak bisa melanjutkan kata-katanya sendiri.
Feri menangkup wajahnya dengan kedua tangan. "Aku bahkan hanya berani memberinya Bunga Akasia Kuning agar dia segera benci dan melupakanku. Padahal aku ingin sekali memberikan semua mawar ini, kalau bisa. Agar dia tahu, bahwa sebenarnya aku ini mencintai dia... sangat mencintai dia..."