Arial pun duduk dan fokus pada Rara, meraih pipinya yang memerah marah begitu cepat. "Kamu ini kenapa, Ra?" Tanyanya. "Kok tiba-tiba begini?"
"Aku kenapa?" Kata Rara. Lebih kepada diri sendiri lalu buang muka begitu saja. "Aku juga nggak tahu kenapa. Pokoknya sebel."
"Ha?" Bingung Arial.
Rara menatap mata biru Arial perlahan.
Mata yang terlihat sejuk nan jernih. Seperti samudera luas di jauh sana. "Kan kubilang tadi makan es krim bareng sambil nonton," katanya pelan. Padahal rasanya bukan itu yang ingin disampaikannya kepada Arial. Dan bukan itu juga yang dia pikirkan.
Arial pun meringis. "Kalau gitu sorry ya buat yang tadi," katanya. "Kita buka es krimnya sekarang, hm? Aku udah duduk nih."
Rara pun mengangguk. Tapi tetap diam sampai Arial yang membukakakn kotak-kotak es krim itu untuknya.
"Suka cokelat, kan?" tanya Arial. Seolah-olah tidak tahu rasa favorit Rara. "Kalau iya, buka mulutnya dooong..."
Rara pun menerima suapan Arial setelah membiarkannya menunggu beberapa saat. Tapi dia membuang muka setelahnya.
Arial pun tersenyum tipis. Jujur dia sedikit lega saat itu. "Jadi, menurutmu gimana penampilan aku tadi pas latihan? Apa aku udah bisa jadi Pangeran Anthony yang keren?" tanyanya. Mencoba menarik Rara bicara.
"Ngapain nanya begituan? Bukankah kamu selalu bagus meranin tokoh apapun?" kata Rara ketus. Tapi Arial Tetap menyuapinya sambil memasang muka seolah sudah dimaafkan.
"Wah... Aku tersanjung loh," kata Arial. "Memang sebagus apa, hm?"
"Sebagus dansa terakhir sama Mira, tentu saja," kata Rara.
DEG
"Apa?" kaget Arial.
Setelah itu Rara pun baru sadar kalau sempat kelepasan bicara. Tak hanya Arial, di wajahnya pun terpasang ekspresi kaget tiada Tara.
"Kamu bilang apa tadi?"
Pipi Rara langsung merona hebat kali ini. Dia mengatupkan bibir erat-erat. Tak ingin bicara sedikit pun. "Ra..." panggil Arial, Lalu meletakkan mangkuk es krim cokelat itu dan menghadapkan dagu Rara paksa kepadanya. "Aku dan Mira nggak ada apa-apa kok. Kamu kan juga tahu orangnya kayak gimana, oke?"
"Yang bener..." kata Rara. Meskipun dia sendiri tak menyangka sejak tadi merisaukan hal itu. Tergambar di dalam kepala potret Arial Dan Mira berdansa dengan kostum pasangan Disney di atas panggung saat latihan tadi. Mereka tertawa bersama ketika ada hal lucu, dan seolah-olah memiliki dunianya sendiri.
"Iya," tegas Arial. "Justru dia orang pertama yang dukung banget sejak tahu aku suka kamu."
"Ugh..."
Benar-benar memalukan, batin Rara kesal pada diri sendiri.
"Tapi, by the way... Aku seneng banget loh dengernya," kata Arial. "Barusan Itu berarti kamu udah cemburuin aku sama cewek lain—haha..."
DEG
"Arial!" jerit Rara. Lalu memukuli dada Arial gemas. "Kalo udah tahu diem aja nggak bisa ya?"
"Hahaha... Sayangnya nggak tuh—ampuuuun!" Keluh Arial. Di sampai pura-pura mendesis dan ber "aw-aw" ria sampai Rara berhenti sendiri.
"Dasar Arial!!" dengus Rara sebal. Bukannya menggoda Rara lagi, Arial justru memasang muka serius kali ini.
"Tapi aku beneran, Ra," kata Arial. Lalu meremas lembut kedua bahu Rara. "Kamu mau mikirin aku lebih serius, kan. Maksudku untuk selanjutnya. Aku nggak Cuma suka kamu sebagai sahabat, oke?"
"...."
Rara tertegun mendengarnya.
"Aku bakal nunggu sampai kamu bisa ngelupain Feri sepenuhnya," kata Arial. "Mau Kan?" Tanyanya sekali lagi.
Seperti pusara, mata Arial benar-benar menyedot semua perhatian Rara saat itu.
"Mn," gumam Rara lalu tersenyum simpul.
.
.
.
Saat membereskan buku-bukunya, Feri refleks menoleh ketika Kana menyandarkan kepala di bahunya. "Fer..." desah Kana.
"Hm?" sahut Feri pelan.
"Boleh nggak aku jujur soal sesuatu?" tanya Kana.
"Apa?" tanya Feri balik.
"Soal kamu dan Rara," kata Lama.
Feri kembali melanjutkan beres-beresnya di klub bonsai. "Bukankah udah kubilang gak usah bahas itu lagi?"
"Aku nggak bisa, Fer," kata Kana. "Maksudku kalian itu sama-sama bodoh tahu."
"Aku nggak terlalu paham maksudmu, Kan. Maaf..." kata Feri. Lalu berdiri begitu saja. Membuat Kana refleks menegakkan duduk agar kepalanya tak terbentur meja.
Feri menyiapkan seragam besok di gantungan. Kana tetap menatap punggungnya lekat.
"Kalau emang saling suka, harusnya nggak usah mikirin kebahagiaan orang lain dong," kata Kana. "Lagian Arial itu baik. Pasti dia ngerti kalau itu demi kebahagian Rara."
Feri senyum, tapi terlihat begitu terpaksa. "Justru karena Arial terlalu baik, Kan," desahnya. "Aku jadi nggak tega mau ngambil Rara dari dia."
Kana ingin tertawa mendengarnya. "Mengambil apa?" kagetnya tak menyangka. "Kalau kalian pacaran, aku yakin Arial Tetep mau sahabatan sama Rara kok. Lagian mereka deket udah lama."
"Tapi aku nggak mungkin egois saat Arial juga nggak bersikap egois, Kan," kata Feri. "Jadi menurutku... Mulai sekarang setelah dia tahu Arial punya rasa, biar semuanya ditentukan dari awal. Ngerti, kan?"
"Fine," kata Kanan "Tapi gimana bisa dia nentuin kalau kamu sendiri nyembunyiin perasaanmu, Fer."
"Soal itu..." gumam Feri. Dia lalu berbalik dan menatap wajah Kana lekat. "Biar semuanya berjalan aja ya mulai sekarang?"
Kana pun menepuk bahu sahabatnya itu pelan. "Tapi kalau butuh bantuanku, cepetan bilang ya," katanya. "Aku akan selalu usahakan.".
Melihat wajah cemas itu, Arial pun tersenyum tipis. "Pasti," katanya. "Aku bakal kasih tahu kok Meski kamu nggak bilang gitu."
"Janji?"
"Harus janji juga nih?"
"Iya, harus," tegas Kana. "Soalnya kamu nggak boleh bikin aku kepikiran dan khawatir, Fer..."
Feri pun mendekat dan mengacungkan jari kelingkingnya. "Nih... Jari," katanya dengan nada bercanda.
Bukannya menautkan jari mereka, Kana justru manyun. "Aku serius..." katanya sebal.
"Aku juga serius, tahu," kata Feri. Lalu menautkan jari Kana dengan miliknya sendiri. "Makasih udah jadi sahabatku yang terbaik, ya, Kan."
Mata Kana sampai berkaca-kaca mendengarnya. "Aku bakal marah kalo kamu sampai ingkar, ngerti?"
"Iya, ngerti..." kata Feri. Lalu tertawa kecil. Dia menyeka air mata Kana sebelum jatuh dari pelupuk matanya. "Karena itu jangan nangis, kamu kan nggak secengeng aku."
Kana pun tertawa mendengarnya. "Iya juga, ya," katanya. "Aku kan harusnya jarang nangis. Hiks... Ya ampun..."
Feri pun tertawa lepas setelahnya. "Tapi nggak ada larangan resminya sih," katanya. "Lagian, kamu Cuma nggah tahu. Padahal semua cowok di dunia pasti pernah menangis juga."
Kana pun menghela nafas panjang. "Iya, iya..."
Mereka berdua lantas membereskan ruang klub bonsai bersama-sama setelahnya. Sebab memang hanya sahabat, ketika kau sedih dan terluka, dia adalah tempat terbaik untuk menyalurkan segala yang ada di jiwa.
.
.
.
Halo :")
Aku Roi. Aku adalah penulis LGBT 21+ yang baru belajar nulis straight alias novel normal. Dan kemungkinan novel ini bakal dikontrak. Jadi, akan aku usahakan untuk update seenggaknya seminggu pasti ada entah berapa bab.
Nanti kalau ada bab kunci, aku bakal drop di urutan ke 100. Jadi, stay tune :") Janngan lupa unlock pake koin ya kali udah terkunci nanti :D itu tandanya kalian bener-bener support novel ini dan aku. Hehehe...
Terima kasih :D