Jam istirahat, di SMAN Bhayangkara 1, Bandung. Yang biasanya ramai seperti biasa, hari ini mendadak terjadi drama antara Arial dan Rara.
"Rara, tunggu!" teriak Arial. Dan itu adalah yang ketiga kali.
Rara tetap berlari menjauh. Sambil mengusapi pipi basahnya, gadis manis itu menerobos siapapun yang berada di koridor sekolah. Tak peduli. Lalu mengunci diri sendiri di ruang Klub Bonsai.
BRAKH!
Sampai gebrakan pintunya sebegitu keras.
Arial pun hanya bisa berdiri di depan sana. Dia tak bisa masuk, padahal kenopnya sudah diputar berulang kali.
"Rara!" panggil Arial sekali lagi. Sahabat Rara itu mulai menggedor pintunya dengan wajah cemas.
Brak! Brak! Brak!
Tapi tetap saja tak ada sahutan.
"Bukain pintunya bentar, Ra!" seru Arial. Tak kenal menyerah. "Kamu ini kenapa... kalo lagi ada masalah bisa cerita sama aku, kan..."
Dari balik pintu itu, Arial justru mendengar suara isakan samar Rara. Sahabatnya itu pasti menahan diri. Padahal tadi pagi masih iseng menggelitikinya sebelum berangkat sekolah.
"Rara, please..." pinta Arial. Suaranya memelan. "Apa kamu nggak percaya lagi sama aku?" tanyanya. Seolah-olah sedang bicara dengan pintu. Tapi dia tak peduli. Bahkan oleh tatapan penasaran siapapun yang lewat di koridor itu. "Kalo kamu cerita bakal kurahasiain oke?"
"PERGI!!!" teriak Rara tiba-tiba. Kasar sekali. Arial sampai terpaku mendengarnya. "Pergi, Arial! Aku lagi ingin sendiri!"
Tanpa sadar, Arial pun mengepalkan tangan. Antara cemas tapi juga tersinggung karena niat baiknya tak dihargai... dia pun mencoba menahan diri. "Fine..." katanya. Sembari membentuk senyuman tipis. "Aku bakalan pergi, Ra. Karena itu yang kamu mau."
.
.
.
Dua puluh menit sebelumnya...
Memo seukuran amplop itu tergeletak di atas tumpukan buku Rara. Warnanya biru dan pengirimnya adalah cowok incaran yang dia tembak tiga hari lalu. Tentu, dia bahagia sekali. Sebab Feri tidak terlihat akan menolak perasaannya saat itu.
Cowok itu justru tersenyum lembut.
"Aku pikirin dulu, ya?" tanya Feri. Lalu menepuk bahunya. "Dan karena kita sama-sama anggota Klub Bonsai, gimana kalo nanti kujawab pake bunga?"
Rara pun mengangguk. "Oke."
Kini Rara mendekap memo itu di dada. Disana debaran gila bersatu padu dengan darah dalam rusuknya. Padahal dia hanya memikirkan hal-hal sederhana tentang Feri. Senyumnya, tawanya, caranya bercanda... bahkan saat menaikkan kacamata sekalipun.
Saat bel istirahat terdengar, kaki Rara pun langsung berlari keluar kelas. Meninggalkan Arial yang masih ketiduran di atas buku Antropologinya.
Di atap sekolah, Feri ternyata sudah menunggunya. Cowok itu berdiri memunggungi sambil memegang pagar pembatas.
"Oh, sudah datang, ya?" tanya Feri. Setelah berbalik dan tersenyum ramah. Sangat khas dan memesona di mata Rara.
"Eh? Aku kecepetan, ya?" tanya Rara balik. Kulit pipinya bersemu merah. Mungkinkah dia terlalu bersemangat?
Feri menggeleng pelan. Senyumnya masih tertera di wajah saat itu. "Nggak juga kok. Kamu tepat waktu, Ra."
Mendadak Feri menggeser tubuh. Tampak ingin menutupi sesuatu di balik punggungnya. Rara pun melirik penasaran.
"Haha. Ini Cuma bunga biasa kok." kata Feri
Tawa kecil Feri menular ke Rara.
"B-Benarkah?" tanya Rara. Dia mengusap tengkuknya gugup.
"Iya, Ra." kata Feri.
"Apakah itu bunga mawar?" batin Rara penasaran. Sebab mawar berarti hati, kasih sayang, cinta, dan penerimaan.
Bukannya Rara kepedean, tapi dia benar-benar tak pernah berpikir Feri akan memberinya jawaban negatif. Sebab hubungan mereka bisa dibilang dekat selama ini. Terlebih sejak sama-sama masuk Klub Bonsai.
"Mn, meskipun biasa aku sangat suka sama bunga ini," kata Feri. "Jadi aku selalu merawatnya dengan baik sejak kecil."
"K-Kalau kamu suka, bunga yang biasa tetap jadi istimewa, kan..." kata Rara. Lagi-lagi gagap karena gugup. Rona di pipinya pun memekat.
"Haha... iya juga," tawa Feri geli. "Aku emang nggak peduli kalau dikomen soal warnanya sih..."
"Dikomentari?" tanya Rara.
Feri mengangguk. "Kana sering bilang warnanya nggak cocok banget sama kepribadianku," katanya. Agak menirukan cara sahabatnya itu bicara. "Meskipun begitu, aku tetap nggak peduli..."
Rara nyengir. "Kalau soal komen, sahabatmu itu memang sering cerewet sih..." katanya, agak sebal. "Mawar putih yang kubonsai minggu lalu aja dihabisi, Fer..."
"Oh, ya?" tanya Feri, tak percaya.
"Serius..." tegas Rara.
"Astaga..." desah Feri. Lalu mereka bedua tertawa bersama.
Beda dengan Feri yang tertawa bebas, Rara justru lebih tertarik memperhatikan ekspresi cowok di depannya itu. Sampai Feri sendiri berdehem segan karena sadar baru saja diperhatikan. "Ehem, kayaknya udah saatnya aku ngasih tahu kamu, ya..."
Rara pun mengangguk dan menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. Memainkan jari karena terlampau gugup. "Umn."
Feri pun berbalik. Dia mengambil sebuket bunga yang semula disembunyikan. "Ini, Ra..."
DEG
"A-Akasia kuning?" kaget Rara. Tangannya gemetaran saat menerima bunga cantik berwarna cerah itu.
Feri sendiri masih tersenyum meskipun terlihat sangat berat. Tak seperti pada awalnya.
"Maaf, ya.." kata Feri. Tampak segan tapi tetap saja membantu Rara menggenggam buket itu di tangannya.
Akasia kuning berarti cinta yang berada di tempat lain. Itu adalah simbol penolakan secara halus jika diberikan kepada seseorang yang mencintaimu.
"Kayaknya kita lebih cocok jadi temen aja kayak biasanya," kata Feri lagi.
Rara pun mengangguk. Dia menggigit bibir sembari memandangi buket itu dengan mata menggenang. "J-Jadi, selama ini kamu udah punya pacar, ya, Fer..." desahnya. Lalu tertawa tanpa sadar. "Haha. A-Aku nggak tahu, kukira..."
Tawa yang sakit sekali bila didengar.
Feri pun menepuk bahu Rara. Lalu memeluknya erat. "Ra, aku bener-bener minta maaf..." katanya penuh penyesalan. Jujur, ia tak mampu melihat tetesan-tetesan air mata yang jatuh di pipi gadis ini. "Tapi aku sudah terlanjur memilih... dan maaf juga kalo kelakuanku ke kamu sempet bikin salah paham selama ini..."
Rara pun balas memeluk Feri, meskipun rasanya ingin berteriak sekuat tenaga. "Feri..." lirihnya. Dia meremas bagian bahu seragam cowok itu. "Feri... hiks-hiks..."
"I'm so sorry, Ra..." kata Feri lagi. "I really don't know if you have a feel to me..."
.
.
.
Tiga hari kemudian...
Di kelas, Rara tertunduk lesu. Mira sang teman sebangku menepuk bahunya tiba-tiba.
"Hei, jangan ngelamun dong! Nanti bisa kesambet setan loh!" kata Mira usil.
Rara tersenyum masam. "Ah... aku ngelamun ya."
"Hm... lagi mikirin Arial, kan?" tebak Mira.
Bukan Arial, tapi Feri. Meskipun begitu... Rara tetap mengangguk pelan. "Itu juga." katanya, tak bersemangat. "Aku sedih, Mir. Udah tiga hari ini dia nggak masuk sekolah. Ngasih kabar nggak, terus ngirim ijin juga nggak..."
"Kamu, sih!" seru Mira kesal. Pasalnya dia ada di koridor waktu Arial memanggil-manggil nama Rara waktu itu. Terus ada bisik-bisik angin tentang penolakan Feri diantara beberapa siswa. Sudah barang tentu dia tahu masalah yang terjadi antara duo sahabat awet itu.