Motor Abian melaju pesat membelah jalanan ibukota. Bersama dengan Gladys diboncengannya seakan membuat Abian merasa bersalah pada Keana. Bagaimana mungkin ia lebih memilih untuk memberikan tumpangan pada pelaku bully sang saudara? Bodohnya!
Sedangkan Gladys, gadis itu kini tengah memeluk erat tubuh Abian dari belakang. Pelukannya sangat erat seolah tak membiarkan siapapun mengambil Abian. Kepalanya pun bersandar dengan manja dibahu Abian. Senyum sumringah tampak terukir jelas di bibirnya.
Namun perlahan senyum itu meluntur sejalan dengan kian lambatnya laju motor Abian. Abian sengaja memberhentikan motornya di halte dekat sekolah tanpa sepatah kata.
"Abian, kenapa berhenti?" tanya Gladys seraya mengurai pelukannya. Maniknya menantap penuh tanda tanya.
"Turun!" ucap Abian dengan nada memerintah. Tatapannya pun telah berubah menjadi tatapan dingin tak seperti biasanya.
"Ta- tapi 'kan ini belum sampai," rengek Gladys sembari memeluk erat tubuh Abian dari belakang.
"GUE BILANG TURUN!" bentak Abian langsung meninggikan suaranya. Tangannya pun bergerak menghempaskan tubuh Gladys hingga gadis itu hampir terjatuh dari tempatnya.
Gladys terpaku ditempatnya. Ia tak pernah menyangka amarah Abian semenakutkan ini. Dengan gemetar, Gladys mulai turun dari motor besar Abian. Maniknya pun menatap dengan mata merah seolah minta belas kasihan.
Namun Abian tetaplah Abian. Ia tak pernah mengijinkan gadis manapun menyentuhnya, kecuali Keana. Ya, Keana. Gadis itu jugalah yang menjadi penyebab sikap kasar Abian tumbuh pada seorang perempuan. Perempuan pelaku bullying pada gadis tersayang.
Abian langsung menancap gas meninggalkan Gladys disana. Pikirannya amat kacau karena kejadian beruntun yang bahkan ia tak tahu apa penyebabnya. Ditambah lagi dengan sikap seolah tak peduli yang kini terus ia lakukan pada Keana. Akankah itu menyakiti hati gadis kecilnya?
Abian membawa motornya menuju ke sebuah tempat ditengah hutan belantara. Motor itu kian melaju cepat saat sebuah bangunan besar mulai menyambutnya.
Markas Leonard. Sudah satu tahun Abian tak menginjakkan kaki disana. Sebuah bangunan berlantai dua yang cukup luas kepunyaannya. Bangunan yang sengaja ia beli untuk menghabiskan waktu bersama dengan dua sahabat pada mulanya. Namun lagi- lagi harapannya hancur sejak kepergian salah satu diantara mereka.
"Abian!" sebuah panggilan berhasil mengundang perhatian Abian disana. Netranya kini terarah pada tiga orang yang tengah berjalan mendekat kearahnya.
Rizky, Genta, dan Revan kini telah berada dihadapannya. Namun kali ini ada yang berbeda. Tatapan mereka kompak menatap dengan penuh emosi seolah ingin menerkam Abian hidup- hidup di tempatnya.
"Kenapa?" tanya Abian seraya menatap dengan penuh tanda tanya.
"Jahat lo nggak ngotak, bego!" hardik Rizky langsung mendorong keras bahu Abian. Maniknya menatap nyalang sang sahabat yang hanya diam menerima perlakuan.
Sedangkan Genta dan Revan, keduanya tengah memegang erat tangan Rizky agar emosinya tidak meluap disana. Jika adu jotos dilakukan, hancur sudah persahabatan.
"Apa?" tanya Abian masih dengan raut tanpa dosa.
"Sampai kapan kita harus bilang kalau Keana itu nggak salah! Dia itu cuma difitnah! Dan bodohnya elo karena kemakan sama gosip murahan yang disebarin orang- orang!" tutur Rizky langsung mencerca. Maniknya menajam seolah benar- benar tak terima.
"Kita tadi sengaja tungguin lo di parkiran tanpa bilang, dan apa yang kita lihat bener- bener udah nggak masuk di akal! Gue nggak pernah nyangka lo se- bangsat itu sampai mau tinggalin Keana buat pelaku bully dia? Otak lo dimana?!" hardik Rizky dengan luapan penuh emosinya. Kejadian di parkiran benar- benar terngiang dalam pikirannya. Ia tak pernah menyangka kalau sang Big Boss kebanggaan mereka hanya berpikiran sempit layaknya semut yang takut keluar dari sarangnya.
"Apa urusan kalian?" satu kalimat dari Abian berhasil membukam ketiganya. Manik dinginnya seolah tak ingin peduli dengan apa yang tengah dibantah oleh para oknum dihadapannya.
"Gila lo!" hardik Genta tak percaya.
"Percuma kita ngomong sama batu!" ucap Rizky dengan nada dinginnya. Kini ia benar- benar tahu kalau Abian tak akan pernah mendengarkan mereka.
Langkah Rizky langsung terayun pergi. Dibelakangnya diikuti Genta dengan langkah secepat berlari. Namun tidak dengan Revan, ia masih setia diam. Maniknya menatap intens pada Abian.
"Keana nggak salah apa- apa. Percaya sama kita!" ucap Revan seraya menepuk pelan punggung Abian. Tak dapat dipungkuri ada serpihan rasa kecewa. Ia tak pernah menyangka, Abian yang notabenenya adalah ketua geng besar kini berubah seketika.
Revan pun ikut meninggalkan Abian sendiri ditempatnya. Kakinya melangkah pergi menyusul kedua Rizky dan Genta.
Abian hanya termenung ditempatnya. Hatinya ingin sekali percaya, namun otak bekerja sebaliknya. Kini siapa yang harus ia percaya?
Dari posisinya, Abian dapat melihat beberapa motor terparkir diluar sana. Ia yakin kalau beberapa anak buahnya ada didalam sana. Abian mulai melangkahkan kakinya masuk. Terdengar tawa menggema hingga keluar bangunan.
"Eh Boss disini?" ucap Bima seraya bangkit dari duduknya. Kakinya mengayun mendekat kearah Abian yang masih berdiri ditempatnya.
"Iya, kalian apa kabar?" tanya Abian pada beberapa anggota yang tengah berkumpul dengan santai diruang tengah markas.
"Kabar baik, Boss!" jawab mereka secara serempak. Abian yang mendengarnya pun hanya mengangguk. Ia mulai mendudukkan dirinya disalah satu bangku di sudut ruangan sana. Matanya menjelajah setiap interior yang masih sama. Pilihan kedua sahabatnya.
"Gue takjub sama sikap lo!" ucap Bima seraya menyusul Abian ke tempatnya. Tangannya pun terulur memberikan secangkir kopi. Abian menerimanya dengan senyum merekah. Ia mulai menyesap kopi itu dengan nikmat.
"Takjub kenapa?" tanya Abian atas pernyataan Bima. Ia benar- benar tak mengerti apa maksudnya. Karena ia tidak sedang selesai perang atau mengurusi urusan dalam gengnya.
"Gue takjub karena lo mau ninggalin seorang penghianat walaupun dia saudara,"
Deg!
Mata Abian seketika membola. Ternyata arah pembicaraan Bima pada Keana. Seorang gadis yang berhasil menghancurkan seluruh isi pikirannya. Karena ujaran Bima- lah Abian mengacuhkannya. Karena pernyataan Bima pula yang membuat Abian hampir kehilangan seluruh akal sehatnya. Tapi tunggu, ada yang aneh darinya! batin Abian menerka- nerka. Otaknya mulai berpikir sesuatu yang janggal telah terjadi diantara mereka.
"Maksudnya?" tanya Abian mulai mengubah posisinya. Maniknya menatap seolah tak terjadi apa- apa. Namun tidak dengan hatinya. Secuil keraguan mulai terbit pada wakil ketua.
"Ya, gue takjub karena lo udah bersikap acuh sama dia. Gue juga bangga sama lo karena udah nganterin Gladys pulang tepat dihadapan Si Mata- mata!" ucap Bima dengan seringai kepuasannya. Maniknya tampak sekali merasakan lega.
Sedangkan Abian, batinnya mulai yakin akan keraguannya. Maniknya menatap semakin dalam walaupun postur tubuh santai dipasang. Telinganya pun kian menajam mendengar penuturan Bima.
"Bukannya harus gitu?" ucap Abian seraya meminum kembali kopinya. Ia berusaha mencairkan suasana. Abian tak boleh membuat Bima sadar akan rasa curiga yang tengah hinggap dibenaknya.
"Lo sebelum ke markas pulang dulu?" tanya Abian menatap kembali manik cokelat milik Bima.
"Oh, enggak. Gue baru aja dari rumah sakit di Bogor buat check up kondisi gue, abis itu gue langsung ke markas." jawab Bima masih dengan santainya. Maniknya pun menatap dengan tatapan yang masih sama.
"Lo tadi sekolah, kan?" tanya Abian lagi untuk meyakinkan kecurigaan.
"Yaiyalah ogeb! Tapi tadi gue ijin pulang cepet," jawab Bima seraya memasang raut kesalnya. Pasalnya ia tengah memakai seragam SMA- nya. Dan bodohnya Abian karena masih bertanya.
"Yaudah gue balik dulu," ucap Bima bangkit dari duduknya. Tangannya pun terulur untuk bersalaman dengan Abian dan teman- temannya.
Abian menatap punggung Bima dengan tatapan penuh tanda tanya. Akankah kecurigaan benar adanya?
"Rendy!" panggil Abian pada salah satu anggota disana. Tangannya pun melambai mengisyaratkan agar ia mendekat padanya.
"Iya," jawab Rendy seraya bangkit dari duduknya. Kakinya pun dengan perlahan mengayun menuju kearah Abian yang tak terlalu jauh posisinya.
"Cari tau ke seluruh anggota Leonard, apa ada yang cerita ke Bima kalau gue anterin Gladys pulang? Dan inget, jangan sampai buat mereka sadar kalau gue suruh lo buat cari informasi tentang Bima!" ucap Abian memerintahnya. Matanya menatap intens pada Rendy yang mengangguk seolah menjawab setiap penuturannya.
"Siap Boss!" ucap Rendy dengan anggukan singkat kepalanya. Kakinya pun mengayun menjalankan perintah dari sang Raja.
Abian menyandarkan tubuhnya di kursi yang didudukinya. Jika saja kecurigaannya benar, pasti akan terjadi banyak masalah yang datang menghampirinya.
Tak butuh waktu lama, Rendy pun telah kembali menemui Abian yang tengah terduduk sendiri disana. Maniknya menatap dengan intens bersiap mengutarakan hasil pencarian informasi yang dilakukannya.
"Nggak ada satu pun dari mereka yang tau kalau Boss habis nganter Gladys," ujar Rendy memberikan informasi. Setelahnya kaki pun langsung terayun pergi meninggalkan Abian sendiri.
Kecurigaan Abian mulai menguat. Bima bukanlah murid dari SMA Harapan Bangsa. Lalu bagaimana dia bisa tahu kala ia mengantar Gladys dengan meninggalkan Keana? Apa yang sebenarnya coba disembunyikan Bima?