Eunha tak sadar. Tangannya gemetaran merasakan bulu halus serta ekor Chae yang terus bergerak lincah. Melihat kedua mata ruby Chae yang berkilauan itu, hati mana yang tak terenyuh?
Eunha melonggarkan cengkramannya.
Chae tak lagi meronta. Ia bahkan pasrah. Yang bisa ia lakukan hanya menenangkan gadis itu yang tentu saja tengah kebingungan.
"Jelaskan padaku! Kau ini apa?"
"Aku? Aku seperti yang kau lihat sekarang ini."
Eunha akhirnya melepaskan Chae. Mulai merasa jijik atau mungkin takut dengan Chae. Keberaniannya menghilang, tergantikan dengan keterkejutan yang tak bersudahan. Apalagi saat Chae bicara dalam mode binatang.
"Binatang mana yang bisa bicara?" monolog Eunha.
"Pergi! Aku pasti tengah bermimpi!"
Chae tertawa dengan tawa yang dibuat-buat, "Tidak. Kau tidak bermimpi nona. Aku aslinya adalah seekor rubah. Jika waktu istirahatku selesai, maka aku akan berwujud seperti semula."
"Ka—kau siluman? Atau hantu?"
Chae mengangkat alis, "Apa aku seperti tak nyata buatmu?"
"YA! Ma—mana ada jaman sekarang makhluk jadi-jadian sepertimu!"
"Karena itu, seharusnya aku tak berada di duniamu ini. Tapi karena aku dan Chaeyoung tercampak kemari, maka kami ada di sini."
Eunha merosot. Cukup masuk akal mengapa Chae menceritakan dirinya bisa berada di sini. Dan tujuannya tetap berada di tempat ini adalah tak lain dan tak bukan untuk mencari kekasihnya itu, lalu kembali.
"Seperti dalam buku cerita saja," gumam Eunha. Chae mengeryit tak paham.
"Apa?"
"Ah? Tidak. Tidak ada. Maaf atas sikap kasarku tadi. A—aku cuma terkejut."
Chae mengangguk. Ia memaklumi hal tersebut. Karena bagaimanapun makhluk sepertinya akan sulit diterima oleh manusia biasa. Menyadari hal tersebut, giliran Chae yang kebingungan.
"Kau menerimaku begitu saja?"
Eunha melongok, "Hah? Maksudnya?"
"Maksudku, kau hanya mengangguk 'ya aku tahu' lalu tak terkejut lagi?"
"Banyak hal aneh di dunia ini. Dan khusus kuberitahu padamu yang mungkin bukan berasal di era ini, hal aneh bukanlah aneh lagi. Manusia terlalu tak peduli."
Chae menggaruk pantatnya yang tak gatal. Dia benar-benar tak paham dengan ucapan gadis itu.
"Sudahlah. Nanti kau akan tahu sendiri."
"Baiklah aku anggap kau sudah paham situasiku. Jadi aku punya satu permintaan."
Eunha menoleh tanda tak nyaman. Permintaan apa? Memangnya ada perjanjian kerja atau situasi saling membutuhkan di sini?
"Permintaan?"
"Ya. Bolehkan, aku tinggal di sini sementara aku mencari kekasihku itu?"
Ucapan Chae itu benar-benar sebuah boomerang baginya. Karena pada kenyataannya, Eunha menolak untuk membantunya. Chae ditendang dari kamar gadis itu.
Sambil berteriak memandangi Chae yang tertatih karena terjatuh masuk tepat ke tempat sampah, Eunha mengatakan, "Maaf dan terima kasih. Aku rasa perkenalan kita sampai di sini saja."
Eunha menutup jendela dengan keras lantas bersiap untuk mandi. Chae sendiri menghela napas panjang sambil beranjak pergi meninggalkan pintu belakang rumah kost tiga lantai tersebut. Melewati gang - gang sempit yang ternyata tak begitu ramah untuk rubah seperti dirinya. Banyak ancaman yang mulai mengintainya.
Ancaman seperti anjing atau kucing liar misalnya.
Chae menelan ludah saat salah satu— oh tidak! Bahkan keduanya mendekatinya dengan tatapan penuh permusuhan.
"Oh Oh hai kawan. Aku orang baru di sini. A—apa aku boleh lewat? Iya. Aku hanya ingin lewat."
Tapi sepertinya, usaha Chae itu sia-sia. Chae harus menerima nasib, dikejar-kejar oleh beberapa pemangsa yang haus akan dirinya.
.
.
Eunha melamun.
Teringat dengan semua kejadian aneh dan lucu di seumur hidupnya itu.
Bagaimana bisa ia bertemu makhluk aneh bin jadi-jadian seperti Chae? Rubah berekor sembilan? Memangnya dia itu Narita?
"Bukan Narita. Tapi Naruto!" Juna menjelaskan.
Setelah mendengar semuanya dari Eunha — itupun karena Juna terus mendesaknya untuk menceritakannya — Juna pun tampak tak terganggu dengan cerita itu. Ia malah menegur Eunha balik karena telah mengusi Chae yang pasti sangat kesulitan saat ini.
"Kenapa kau mengusirnya? Lagipula dia kan sudah menolongmu —"
Eunha menggebrak meja tak terima, "Menolong apa? Justru dia yang datang dan membawa masalah untukku!"
Juna melirik sekitar. Suara Eunha yang melengking itu cukup menarik perhatian para penghuni kantin kampus.
"Hei! Pelankan suaramu."
Eunha tergagap. Ia baru menyadari bahwa telah menjadi pusat perhatian.
"Pokoknya aku tidak akan berhubungan dengannya lagi, titik."
Juna menengahi, "Oke. Itu pilihanmu. Lantas kemana dia sekarang?"
"Kenapa kau begitu peduli sekali dengannya Jun? Aku peringatkan bahwa dia itu akan membuat masalah."
Juna menggeleng. Ia kini dengan tegas menatap Eunha untuk mendengarkan nasihatnya.
"Kau mungkin masih kesal padanya, karena itu kau tak bisa menerimanya. Coba pikirkan, dia terkatung-katung di luar sana, apa kau tidak punya rasa simpati sedikitpun?"
Eunha melongok. Entah bagaimana ia merasa tengah tertampar keras.
"Kau ingat saat dia menghampiri kita ke tempat kerjaku kemarin? Dia bahkan bingung itu kaca atau kotak. Dia bahkan tak mengenali rambu lalu lintas dan sebagainya. Atau yang paling buruk dia mendapat ancaman dari binatang liar! Apa kau tak kasihan?"
Eunha terdiam. Beberapa kali ia memikirkan hal itu, ia semakin menyesali sikapnya. Bahkan sebelum ia curhat dengan Juna di sini, Eunha terus dilanda penyesalan. Ia seperti melakukan hal yang benar namun juga salah di saat yang bersamaan.
Eunha bingung.
Sementara itu di tempat lain. Hal yang mereka berdua takuti justru tak terjadi seperti yang mereka bayangkan. Walaupun pada awalnya Chae memang terancam. Tapi sejak ia bisa menaklukan jalanan gang sempit Geiwon yang dipenuhi beratnya persaingan dan pengasingan para binatang-binatang liar ini, akhirnya ia tetap bisa merajai posisinya.
Menjadi manusia sekaligus binatang yang terhormat.
"Terima kasih Mumu. Aku suka sekali pemberianmu. Oh ya Charlie, terima kasih tulangnya. Kalian semua baik. Aku terharu sekali," ucap Chae yang mulai berkaca-kaca melihat teman-teman barunya begitu perhatian padanya.
Chae menatap langit dengan senyum merekah, "Sekarang aku bisa tidur tenang."
Kembali pada perdebatan muda-mudi yang tengah menjalani semester enam mereka itu.
"Ya tapi tetap saja, aku tak bisa membantunya terus menerus, kan? Apalagi rumah kostku itu melarangku membawa pria dan binatang ternak. Oh tidak bisa Jun. Aku tidak mau diusir sebelum aku lulus."
Juna akhirnya menyadari situasinya. Dan ujung-ujungnya ia pun menyetujui tindakan Eunha tersebut. Dia sendiri bernasib sama dengan gadis itu. Anak perantauan yang menumpang tinggal di kost murah dengan segudang peraturan. Ia pada akhirnya tak bisa membantu. Ocehannya pada Eunha malah sia-sia belaka. Keduanya menghela napas serempak.
Menyadari jam kuliah segera dimulai, keduanya pun beranjak. Hingga sebuah panggilan telepon menginterupsi langkah Eunha untuk naik ke lantai tiga.
Panggilan telepon tak biasa datang padanya.
"Bibi Jung?"
Juna mengintip. Mencoba mencari tahu rasa penasarannya, "Who?"
Eunha tampak khawatir.
"Ini bibiku di kampung. Biasanya ia tak pernah menelponku kecuali aku yang membutuhkannya. Tapi kenapa tiba-tiba dia menelpon?"
"Pasti ada yang penting. Cepat angkat," perintah Juna yang dituruti oleh Eunha.
Ketika suara berat khas wanita tua bersenandung di telinganya, Eunha langsung tegang seketika. Pasalnya sang bibi bernada tegas mengatakan sesuatu padanya yang tak pernah terpikirkan olehnya.
Eunha mematung hingga Juna pun meliriknya bingung. Apalagi saat Eunha tergesa-gesa menutup panggilan tersebut.
"Hei? Ada apa?"
Eunha melongok, "Bibi..bibi marah padaku."
Juna mengeryit, "Marah karena apa?"
Tatapan Eunha pada Juna tiba-tiba menjadi tatapan horor. Juna semakin bingung.
"Kau tahu kan bibi Jung itu siapa? Aku pernah cerita padamu kalau beliau itu cenayang?"
Juna mengangguk. Ia ingat dengan cerita Eunha yang satu itu. Jujur, Juna sangat menikmati sekali cerita-cerita aneh seperti itu. Termasuk tentang Chae yang tentu saja sejak pertama kali melihatnya, Juna sudah tertarik dengan pria itu.
Tertarik dalam hal misteriusnya seorang Chae.
"Lalu? Apa bibimu melihat sesuatu?"
"Ya! Dia marah padaku karena —"
Juna semakin penasaran, "Karena apa? Cepat katakan!"
Eunha menelan ludah. Entah bagaimana dirinya bisa semerinding ini. Sepertinya, sekeliling Eunha ke depannya akan terus diikuti oleh hal-hal aneh nantinya.
"Dia tahu aku bertemu dengan Chae."
Junhoe ikutan tegang, "Lalu?"
Eunha melanjutkan dengan perasaan yang berdebar-debar. Haruskan ia mengikuti perintah bibinya itu?
"Padahal aku tak ceritakan tentang Chae padanya. Jadi bibi marah karena aku mengusirnya. Bibi memintaku untuk tetap bersama Chae. "
Eunha menggaruk kepala frustasi. Sedangkan Juna tanpa sadar malah tersenyum begitu senangnya.
"Aku harus bagaimana, Jun?"
.
.
.
Bersambung