Kaiho mengerjap.
Sebuah lambaian tangan mengusap semua khayalan yang terlihat nyata. Seperti rangkaian kabel yang kembali menyatu pada sumbu positif dan negatifnya, Kaiho menyadari penuh apa yang ia bayangkan tadi.
Memeluk Rena?
Memintanya tinggal? Astaga..itu semua mustahil!
"Tuan? Hellooo."
Kaiho menepis Rena yang masih berdiri diambang pintu.
"Jauhkan tanganmu!"
Rena bersidekap, "Tuan melamun?"
Kaiho menolak untuk jujur. Ia malu. Tentu saja!
"Ada keperluan apa?" tanya Kaiho mengalihkan pertanyaan Rena.
Rena mencebik. Padahal ia dengar tadi kalau Kaiho tengah bergumam menyebut namanya.
"Aku cuma ingin tanya, persiapan seperti apa yang harus aku lakukan untuk acara pertunanganmu?"
Kaiho malas membahas ini. Tapi mau bagaimana llag. Melupakan atau pura-pura melupakan tidak akan membuat rencana itu menghilang begitu saja keesokan harinya. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Orang tuanya akan tetap pulang dan membicarakan hal itu.
Keputusan orang tuanya adalah perintah yang tak bisa dibantah. Kecuali Kaiho memiliki alasan kuat mengapa ia tak menyetujui rencana tersebut.
Kaiho memijit kening, "Tahan dulu. Mungkin mami yang akan membicarakan hal ini denganmu nanti."
Rena mengangguk paham. Setelah dirasa cukup puas akan jawaban tuannya itu, Rena pamit untuk beristirahat. Melihat Rena yang tampak masih membungkuk kesakitan itu, membuat Kaiho melupakan sesuatu.
Pria pemilik tinggi badan seratus delapan puluh dua meter itu berlari kecil menghampiri Rena. Memapah gadis itu agar lekas sampai ke peraduannya.
"Maaf."
Reba memandangi wajah penuh peluh itu. Ia seperti tak percaya dengan apa yang tuannya kali ini lakukan.
Menyentuhnya dan mengucapkan maaf?
"Ndee?"
"Maaf soal malam itu. Aku tak sengaja melemparmu."
Rena terenyuh. Meski terkadang sikap tuannya itu tak terduga, Rena senang menghadapi hari-hari penuh kejutan seperti ini.
Kaiho adalah pria yang tak bisa ia tebak. Terkadang itu membuatnya seolah tengah bermain teka-teki. Kaiho itu rubik dengan warna yang teracak. Sedikit demi sedikit Rena mulai bisa menyatukan setiap warna. Ia berharap satu hari nanti bisa menyelesaikan rubik tersebut.
"Aku tahu."
Keduanya saling bersitatap. Tanpa sedikitpun merasa sungkan. Jika saja tak ada deringan telepon dari pimpinan utama Exo Enterprise itu, mungkin tatapan yang saling terhubung itu akan berlanjut seperti yang Kaiho khayalkan dengan gadis itu beberapa saat lalu.
Menyadari kembali tentang hal itu, membuat Kaiho memukuli kepalanya sendiri. Menghilangkan pikiran 'kotor' dari kepalanya.
"Istirahatlah. Aku ijinkan kau cuti sampai kau benar-benar sembuh," perintahnya meninggalkan Rena yang kembali merasa bingung.
Terserahlah.
Yang Rena pikirkan sekarang ia bisa bersantai sejenak. Meski cukup membosankan karena hanya bisa berada di rumah nantinya, Rena mencoba melakukan sesuatu agar tak bosan.
Merajut misalnya. Kebiasaan yang tak bisa ia hilangkan bahkan sejak tiga ratus tahun yang lalu.
Sebuah syal merah belum sempurna kembali ke pangkuannya. Ia baru teringat bahwa syal itu telah lama ia abaikan.
Syal yang ia rajut untuk kedatangan Chae kelak.
Hati Rena tiba-tiba seperti tercubit. Ia masih saja berharap seperti itu. Padahal ini sudah sepuluh tahun berlalu. Airmatanya kembali menetes. Selalu dan selalu jika ia teringat akan peristiwa malam itu.
Rena mulai emosional. Ia urungkan untuk melihat syal tersebut dan memasukkannya kembali ke dalam laci. Walau pada akhirnya ia sedikit menyesal menelantarkan syal yang tak memiliki kesalahan tersebut.
Pilihan terbaik agar tak mengingat kepedihan itu, Rena menyalakan televisi. Berharap bisa mengalihkan semua kenangan buruk yang coba ia lupakan.
Namun ternyata, itu tetap tak membuatnya bisa melupakan masa lalu.
"Berita kali ini kita sampaikan tentang fenomena ajaib yang terjadi di taman kota. Sebuah pohon sakura mekar di tengah lebatnya salju. Seorang narasumber menyatakan, pria misterius yang terekam di cctv di hari yang sama saat terjadinya kecelakaan truk itulah yang melakukannya. Hal ini juga dipercayai setelah seorang gadis kecil HN menyatakan hal yang sama dengan para saksi yang melihat kejadian tersebut —"
Rena terpaku. Entah bagaimana ia menangis di depan layar televisi. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia kembali keluar kamar. Memaksakan diri mendekati Kaiho yang tengah berbincang sengit di telepon.
Rena menepuk pundak pria itu tanpa sopan dan ijin Kaiho. Yang jelas saja memancing kekesalan Kaiho yang telah menumpuk. Tapi saat pria itu melihat airmata Rena yang mengalir deras, Kaiho mengurungkan niatnya untuk memarahi gadis itu.
"A—ada apa?" tanya Kaiho bingung.
Selama ini Rena tak pernah menangis seperti ini. Dan sekarang melihatnya datang menghampirinya seperti ini, jelas menjadi ketakutan dan kekhawatiran baginya.
Hingga Kaiho berpikir bahwa dialah penyebabnya.
Rena menunjuk ke arah belakang sambil tertatih untuk mengucapkan kalimat demi kalimat. Lidahnya tiba-tiba kelu. Entah karena sebuah kebahagiaan atau kepedihan. Kaiho semakin bingung.
"Apa? Apa terjadi sesuatu."
"Chae —"
Mendengar nama itu, Kaiho menajamkan alis. Entah mengapa, perasaannya meluap-luap.
"— dia ada di televisi."
.
.
Kaiho menerawang ke langit-langit ruang kerjanya.
Hari ini kabar kepulangan orang tuanya. Lalu beruntun dengan kecelakaan yang Rena alami karena dirinya. Kemudian, mendengar penuturan Rena setelah berita heboh di kota yang diyakini oleh gadis itu bahwa pria misterius itu adalah Chae
— kekasihnya, menambah rasa kesal dan jenuh di kepalanya.
Kaiho mengusap kening. Mengingat kembali permintaan Rena tadi.
"Bisakah tuan mencaritahu hal itu?"
Kaiho menenangkan. Gadis itu masih terus terguncang.
"Tenanglah. Itu belum tentu dirinya."
"Itu dia! Aku yakin itu Chae!"
Kaiho tidak ingin mengucapkan ini, tapi otak dan mulutnya selalu tak sejalan. Mulut tajamnya itu berulah di saat yang tidak tepat.
"Bukankah kemarin malam kau bilang akan mulai melupakannya?"
Rena terpaku. Seperti tengah mendapatkan tamparan begitu keras. Rena menggigit bibir. Menunduk malu akan ucapannya sendiri.
"Ma—maaf. Maksudku adalah kau coba tenangkan diri dulu. Aku akan cari tahu tentang pria itu. Aku janji."
Mendengar Kaiho berjanji, Rena menaikkan kepalanya lagi. Kali ini ia menggeleng untuk mencegah Kaiho mengenai permintaannya tersebut.
Kaihk benar.
Waktu itu Rena sendiri yang mengatakan bahwa ia akan mulai melupakan Chae.
Namun apa yang sekarang terjadi? Ia malah melanggar ucapannya sendiri kurang dari dua puluh empat jam yang lalu.
"Tidak. Tidak usah. A—aku akan cari tahu sendiri nanti. Maafkan aku tuan."
Kaiho mengusap wajahnya kasar. Ia membuat keputusan yang salah. Kekecewaan yang terpancar di wajah Rena tersebut, menjadi pisau yang menyayat hatinya secara diam-diam.
Kaihi mulai membenci perasaan itu. Ia tak tahu, sejak kapan hal ini terjadi.
Sungguh.
Ini mulai menyesakkan.
"Ya, ada apa?"
Deringan telepon membantunya untuk kembali berpikir normal. Kali ini ia bersyukur pada panggilan telepon itu.
Tapi ternyata ketenangan itu tak berlangsung lama. Suara bariton diujung telepon membawa berita yang tak ingin ia dengar.
"Oraenmaniya (lama tak bertemu), teman lama."
.
.
Bersambung