"Sebenarnya..kau ini datang darimana?"
Eunha membuka perbincangan setelah beberapa saat lalu mereka saling terdiam karena bad moment yang Chae buat.
Bahkan kecanggungan tetap menjadi jarak antara keduanya ketika mereka bersiap untuk istirahat. Terlihat jelas bangaimana Eunha memilih tidur di kasurnya dan 'mencampakkan' Chae ke ujung sofa yang letaknya tepat menghadap pintu masuk.
"Seona."
"Seona? Di mana itu? Apa masih berada di peta Korea?" tanya Eunha bingung.
Selama dua belas tahun ia sekolah dan sekarang tengah merasakan semester enam di perguruan tinggi, dirinya baru pertama kali mendengar nama kota seperti itu. Tampak begitu asing di dengar maupun disebutkan.
"Negeri yang jauh. Kau tidak akan tahu," jawab Chae tak acuh. Ia sibuk menatap langit-langit kamar Eunha yang begitu indah.
Eunha menempelkan semacam bintang buatan di sana. Hingga saat lampu kamarnya dipadamkan, replika bintang itu bercahaya. Bahkan juga terdapat awan bergerak yang memancar dari benda persegi yang dapat memantulkan cahaya juga. Chae benar-benar tak mengerti dengan dunia yang baru ia pijaki ini. Seolah semuanya bergerak karena sihir. Padahal, Eunha mengaku dirinya bukanlah penyihir apalagi siluman.
"Apa manusia benar-benar sehebat itu? Mereka menciptakan benda-benda yang tak kalah menakjubkan!"— pikir Chae.
"Ah..semua itu karena teknologi —"
" Jadi bukan dengan sihir?"
Eunha kembali menggerutu, "Ini abad modern. Mana ada penyihir!"
Chae mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti. Ia kemudian memainkan tangannya seperti membentuk bola kristal. Chae membuat hiasan yang sama seperti hiasan yang ada di kamar Eunha itu. Gadis dua puluh tiga tahun itu terperangah melihat kemampuan Chae tersebut.
"Wah! Jadi kau benar-benar bukan manusia biasa?"
Mendengar ucapan Eunha itu, Chae segera menghentikan aksinya lalu menarik selimut tinggi.
"Di jaman ini kalian juga bisa melakukan trik ini —"
"Tentu saja berbeda."
Hening sesaat. Mereka berdua malah menikmati pemandangan langit dengan tenang.
"Lalu, apa tujuanmu datang kemari?"
Chae terdiam. Dia baru mengingat tujuan pentingnya itu.
"Aku dan kekasihku terlempar kemari. Karena itu aku harus mencarinya —"
"Kekasih? Kau punya kekasih?" tanya Eunha kaget.
Chae bergumam, "Ya. Mulai besok aku akan mencarinya. Aku yakin dia masih hidup."
Eunha menghela napas. Eunha mencoba mengerti apa yang Chae rasakan itu, "Dia pasti juga kebingungan sama sepertimu."
Chae mengangguk sembari kembali menatap langit-langit. Pikirannya kembali carut marut. Memikirkan Chaeyoung yang mungkin kini tengah menunggunya.
Sedangkan Eunha mulai gelisah. Tak tahu kenapa.
"Hei bagaimana kalian bisa dilempar kemari? Memangnya kalian itu diculik lalu dibuang ke mari begitu?"
Hening. Eunha menoleh setelah mendengar dengkuran lembut dari Chae. Pria itu tampak nyaman saja tertidur di sofa yang bahkan panjangnya hanya sebatas lututnya itu. Eunha mulai merasa tak tega. Namun membangunkannya pun juga bukan pilihan yang bagus.
Eunha menaikkan selimut Chae hingga ke bawah dagu kemudian gadis itu berlalu kembali ke peraduannya.
"Semoga besok kau beruntung. Selamat malam, tuan aneh."
.
.
Pintu kamar Eunha sudah terbuka lebar ketika seorang gadis masuk. Gadis dengan nametag Umji di jas almamaternya itu, menggeleng tak percaya melihat kondisi kamar Eunha yang berantakan bak kapal pecah.
Ditambah lagi sang pemilik kamar tertidur pulas dengan keadaan yang juga cukup mengenaskan. Umji menggeleng lagi.
"Jung Eunha! Sampai kapan kau akan tidur?" tukas Umji yang dengan terpaksa menarik selimut Eunha hingga membuat gadis itu terjatuh ke lantai.
Dia akhirnya sukses membangunkan teman kamar sebelahnya tersebut.
"Umji? Bagaimana kau bisa di sini?" tanya Eunha yang masih setengah sadar.
"Seharusnya aku yang tanya! Kenapa pintu kamarmu terbuka lebar seperti itu? Kau tidur seperti mayat. Mungkin maling pun bebas keluar masuk melihatmu tidur seperti itu! Dan apa itu? Kau makan mie instan sampai tiga cup? Apa kau dalam proses menggemukkan badan?"
Eunha membuka matanya lebar-lebar. Mendengar kata mie instan ia teringat dengan pria yang ia tampung di kamarnya ini.
Tunggu! Seharusnya Umji akan langsung mengetahui keberadaan Chae jika dia bisa masuk ke kamarnya seperti sekarang ini. Tapi..Umji —
"Kemana dia?"
"Dia siapa?" tanya Umji bingung. Begitu pula dengan Eunha yang tak menemukan Chae di mana pun.
"Pria itu —"
"Pria?" Umji histeris. "Kau menyembunyikan pria?!"
"Bu—bukan. Maksudku. Tadi aku itu bermimpi. Iya! Mimpi!"
"Oh. Mimpi. Eh ngomong-ngomong tentang pria, aku lupa kalau aku ke sini karena nyonya kost memanggilmu."
Eunha terperanjat. Bagaimana dia lupa dengan janji Chae yang akan membantunya menyelesaikan permasalahan ini?
Sial. Lagi-lagi Chae mengerjainya.
Eunha langsung saja berlari menuju lantai bawah dimana nyonya kost itu biasa beraktifitas. Dengan napas yang saling memburu, Eunha menyiapkan diri agar kali ini dia bisa menjelaskannya dengan lebih baik.
Bagi Eunha, entah kenapa ini seperti tengah menghadapi sidang skripsi saja. Mendebarkan!
Pintu kemudian ia geser dengan perlahan. Di dalamnya tentu saja ada nyonya kost yang tengah menyelesaikan potongan terakhir rambut pelanggannya.
Wanita berumur setengah abad itu menatapnya datar kemudian bersikap tak acuh seperti biasanya. Eunha kembali gugup. Yang bisa dia lakukan hanya duduk di salah satu kursi tunggu lalu mematung melihat bagaimana nyonya kostnya itu bekerja begitu lihai menggunakan gunting dan pisau.
Potongan rambutnya rapi. Itu terlihat bagaimana pelanggannya yang rata-rata seumuran dengannya selalu puas dengan potongan rambutnya. Nyonya kost memang terlihat garang saat menagih iuran kost ataupun mendisiplinkan semua penghuni kostnya. Namun akan berubah seramah burung kakak tua jika sudah bekerja di salon yang sudah hampir berdiri menompang hidupnya selama dua puluh tahun itu.
Eunha begitu kagum dengan perjuangan hidup yang dijalani oleh seorang nyonya Kim Dae Jo. Dengan kerja kerasnya, sekarang ketiga anaknya sudah sukses dan mandiri. Nyonya kost hanya tinggal menghidupi dirinya sendiri untuk masa tuanya.
Sungguh tak mudah untuk mencapai semua itu, kan?
"Hei Jung Eunha! Apa yang kau lamunkan?"
Eunha lagi-lagi terjatuh. Kali ini dari kursi yang ia duduki. Untungnya hanya tinggal dia seorang di salon itu, sehingga rasa malu tak mengganggu paginya kali ini.
"Anuu..bibi yang memanggilku,kan?"
Nyonya kost memicingkan mata seolah tengah mengintai. Eunha mulai panik sendiri.
"Bi..dengarkan aku dulu. Aku berkata yang sebenarnya. Dia itu —"
"Aku sudah tahu."
Eunha melongok, "Apa bi?"
"Aku tahu semuanya! Anak muda itu mendatangiku pagi-pagi. Dia minta maaf dan memintaku agar memaafkanmu juga. Jadi —"
"Dia bilang begitu?"
Eunha semringah. Kabar ini benar-benar membuatnya begitu bahagia. Sangkin bahagianya, ia bahkan memeluk erat nyonya kost berbadan gempal itu tanpa sungkan.
Eunha seperti melupakan keseganannya pada orang yang sangat ia hormati itu.
"Terima kasih bi! Terima kasih!"
"Ya ya ya! Sekarang lepaskan aku dulu —" pinta nyonya kost yang mulai risih.
Eunha nyengir, "Tapi di mana pria itu sekarang bi?"
Nyonya Kim mengeryit, "Kenapa kau ingin tahu?"
Eunha terperenyak, "Ah bukan bukan bi. A..aku kan juga ingin bilang terima kasih padanya. Karena sudah membantuku menjelaskan semuanya pada bibi."
Nyonya kost masih menatapnya curiga. Tapi kemudian ia berlalu begitu seorang pelanggan lain datang.
"Oh. Entahlah. Dia pergi begitu saja. Hei! Apa kau tidak berangkat kuliah?" usir nyonya Kim yang ditanggapi Eunha dengan cengiran khasnya itu.
Langkah Eunha sebenarnya sangat ringan sekali untuk naik ke kamarnya yang berada di lantai dua. Namun entah bagaimana, perasaannya tak tenang begitu sampai di depan kamarnya yang pintunya tak terkunci lagi seperti tadi pagi.
"Mungkin Umji lupa menutup pintunya," pikirnya.
Eunha membuka pintu dengan perlahan dan tak menemukan apapun yang janggal. Hanya saja begitu ia melewati pintu kamar mandi, ia bisa mendengar jelas suara siulan dan air yang menyala di sana.
Eunha mengambil tongkat baseball lalu perlahan masuk ke kamar mandi. Mengacungkannya dan bertanya,"Siapa di situ?!"
Eunha terperanjat dengan seekor rubah yang tengah membersihkan diri di atas wastafelnya.
Eunha berteriak histeris. Lalu dengan cepat Chae yang tengah berubah wujud menjadi rubah itu melompat ke tubuh Eunha untuk membekap mulut gadis itu dengan tubuhnya.
"Diamlah! Ini aku. Chae!"
Kembali, Eunha berteriak dan kembali pula Chae menutup akses mulut gadis itu dengan kedua tangan mungilnya.
"Oh ya ampun kenapa kau suka sekali berteriak? Diamlah atau kulakukan hal lain jika kau membuatku ketahuan nanti!" ancamnya yang ditanggapi dingin oleh Eunha yang berada di bawahnya itu.
Eunha menggeleng. Sayup-sayup ia mendengar suara langkah kaki yang datang ke arah kamarnya.
"Eunha? Ada apa?"
Panik. Eunha langsung bangkit lalu menutup pintu kamar mandi.
"Umji? Tidak ada. Aku..aku hanya tengah mengusir kecoak terbang! Iya..kecoak!"
Umji histeris, "Apa? Astaga! Kenapa kamarmu tiba-tiba ada kecoak? Cepat bersihkan Eunha! Aku tunggu setengah jam lagi. Astaga!"
Umji pergi, Eunha pun menghela napas lega. Atensinya kini kembali fokus pada seekor rubah yang dengan santai bercolek di depan cerminnya.
Eunha mengangkat Chae yang tengah berubah menjadi binatang itu, lalu mendorongnya hingga ke dinding.
Chae terbelalak. Ia tentu saja tak berdaya dengan wujud lemahnya tersebut.
"Chae! Jelaskan padaku! Kau ini sebenarnya makhluk apa?"
.
.
.
Bersambung.