Selama di rumah sakit Kaiho bersikap tak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam dan menuruti apa yang Rena butuhkan.
Rena menganggap ini hanya sakit pinggang biasa. Gadis itu berharap bahwa ia lebih baik dirawat di rumah. Tapi Kaiho bersikeras bahwa dirinya harus tetap di rumah sakit.
"Aku sudah tidak merasakan sakit lagi,tuan."
Kaiho menyuruh Rena untuk diam lewat instruksi tangannya. Kaiho tengah menimbang-nimbang apakah ia akan mengangkat sebuah panggilan di ponselnya atau tidak. Kaiho bahkan menghela napas kasar.
"Apapun yang terjadi kau harus tetap dirawat di sini," perintahnya yang tampak tak bisa dibantah lagi oleh Rena.
Kaiho akhirnya memutuskan untuk mengangkat panggilan setelah berdering sebanyak dua kali, "Halo."
Rena mencoba mencuri dengar. Tapi ternyata itu tak perlu lagi. Karena lewat 'bakatnya' ia bisa tahu siapa orang yang Kaiho keluhkan panggilannya bahkan terbawa hingga ke dalam hatinya. Rena ingin terkekeh namun kata hatinya mengatakan jangan. Karena dilihat dari ekspresi tuannya itu, dia sudah tampak sangat pusing tujuh keliling.
"Ya. Tidak masalah. Hem."
Kaiho selesai berbicara dan langsung mendekati Rena yang pura-pura sibuk membaca majalah. Pria itu mengusap kening lalu menatap Rena penuh pengibaan.
"Sepertinya lebih baik kita pulang."
Rena mengeryit, "Wae? Apa ada masalah?"
Kaiho mengelus tengkuk lehernya, frustasi.
"Ya. Orang tuaku akan kembali dari Paris dan —"
Kini Rena yang memijit kening, "Dan?"
"Kita akan membahas tanggal pertunanganku."
"Jadi kau setuju untuk bertunangan? Wah! Ini berita bagus kan?"
Rena gembira hingga terdengar sangat histeris. Tapi yang merasakan itu semua malah terlihat murung dan tertekan.
"Bersiaplah," ujar Kaiho yang langsung keluar kamar sambil membanting pintu dengan sedikit keras.
#
Pak Lee menyambut kepulangan mereka. Beliau tak terkejut lagi jika tuannya akan protes dengan ulahnya yang melebih-lebihkan cerita tentang sakit yang didera oleh Rena. Tapi dibalik omelan itu, Kaiho lebih fokus ke masalah lain. Hingga menyampaikannya pun, Kaiho terasa berat untuk melakukannya.
"Rena, kau urus saja semuanya. Aku mau ke kamar dulu."
Rena mengangguk saja melihat tuannya itu terlihat kebingungan dan tak bersemangat. Padahal kabar yang akan disampaikan begitu bagus. Namun sepertinya Kaiho tak menyukai hal tersebut.
"Pak Lee, tuan besar besok akan pulang."
Seperti dugaan Rena, Pak Lee pun gembira mendengarnya. Walaupun Pak Lee hanya tersenyum tipis saja.
"Dan sepertinya kepulangan mereka membahas tentang pertunangan tuan Kai."
Pak Lee terdiam. Ia langsung bertanya-tanya hingga Rena pun tak bisa menjawab pertanyaan tersebut.
"Dengan nona Je? Atau dengan nona Ky?"
Rena menggeleng bingung, "Oh. Jadi ini sebabnya tuan Kaiho tampak murung?"
Pak Lee mengedikkan bahu. Beliaupun tampak tak bisa menjawab soalannya sendiri. Beliau pamit kembali untuk melanjutkan pekerjaannya, meninggalkan Rena yang dibantu pelayan lain untuk membawanya kembali ke kamar. Namun belum sempat Rena masuk ke kamar, ia berinisiatif untuk mampir terlebih dahulu ke kamar tuannya yang letaknya tidaklah terlalu jauh dari kamarnya.
Meski agak membungkuk, Rena memaksakan diri untuk sampai ke tempat tujuannya. Ia mengetuk pintu dua kali hingga mendapati Kaiho yang tengah bertelanjang dada.
Rena menelan ludah. Pemandangan tak sopan ini lagi-lagi menjeratnya. Rena berniat untuk tak mengganggu kegiatan yang tengah dilakukan tuannya tersebut namun tangannya malah lebih dulu ditarik oleh Kaiho hingga mau tak mau ia tetap masuk ke dalam kamar.
Sejatinya selama sepuluh tahun ia bekerja di sini, Rena akan terbiasa dengan pemandangan seperti ini. Tapi entah mengapa sensasinya selalu berbeda. Aliran darahnya bisa begitu deras naik turun dari otak hingga ke ujung kakinya. Sensasinya seperti kesetrum dan biasanya selalu terjadi bila dirinya dulu berdua dengan Chae, kekasihnya.
Namun hal ini? Sungguh, Rena tak mengerti kenapa. Karena tak mungkin jika Kaiho menggantikan Chae dipikirannya. Lagi pula, Chae tetaplah suaminya walaupun mereka kini tengah berpisah.
"Ada apa?" tanya Kaiho menghancurkan suasana yang agak canggung tadi.
Rena menggeleng cepat, "Tidak terlalu penting. Aku hanya...hanya —"
Rena lagi-lagi menelan ludah. Melihat keringat yang menetes dikepala dan tulang selangka Kaiho tersebut, cukup mengganggu pikirannya.
"Hanya apa?" Kaiho mulai selidik.
Rena mencoba fokus. Tapi sepertinya ia tetap tak bisa melakukannya. Sehingga yang Rena lakukan malah balik badan dan berpamitan untuk kembali ke kamarnya.
Belum sempat Rena menekan tuas pintu, pergerakannya telah lebih dulu dihalau oleh Kaihi dengan sebelah tangannya yang terjulur menekan garis pintu keluar. Rena tak berkutik karena seperti tengah dikurung dari belakang.
Maju kena, mundur salah.
"Katakan dulu sebelum pergi. Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
Rena malah mengetuk kepalanya sendiri ke pintu yang tentu saja dilihat aneh oleh Kaiho. Pria itu berulah lagi dan kini malah membalikkan tubuh Rena untuk saling berhadapan dengannya.
Napas mereka saling memburu. Terlebih Rena yang kian terpojok dan nyaris kehilangan akal karena godaan yang begitu menggiurkan berada tepat di hadapannya.
"Apa?" ancam Kaiho yang membuat Rena semakin gelagapan.
Rena menunduk, "A..ku butuh persiapan. Tu—tuan akan bertunangan dengan siapa?"
Kaiho mengeryit, "Kenapa kau ingin tahu soal itu?"
Rena terperenyak. Ia tak bermaksud untuk ikut campur.
"Bu—bukan itu. Maksudnya ka—mi ehm tuan kenapa terlihat tak bahagia?"
Untuk mengucapkan kalimat tak bahagia itu, Rena sengaja merendahkan suaranya. Ia takut Kaiho malah meneriakinya atau memarahinya karena telah berasumsi yang bukan-bukan.
Tapi seperti keanehan yang memang tengah melanda tuan juteknya itu, Kaiho malah terlihat tenang dan santai saja mendengar pertanyaannya itu.
Rena menghela napas lega setelah Kaiho benar-benar melepas kungkungannya.
"Entahlah. Aku merasa belum siap."
"Belum siap memilih?" tebak Rena yang kali ini mendapatkan delikan tajam dari empunya masalah.
"Bukan itu!"
"Ma—maaf. Sepertinya sudah terlewat batas jika menanyakan hal itu. Baiklah, aku akan turun dulu untuk —"
"Tetap di sini!" pinta Kaiho yang lagi-lagi menahan Rena untuk beranjak.
Gadis itu mengeryit bingung dan kembali tubuhnya terhenti untuk menerima perintah tersebut. Rena merasa, ucapan Kaiho masih menggantung. Seperti ada yang lain yang ingin ia katakan. Rena diam mematung. Menunggu dengan sabar kata perkata yang akan terkeluar dari mulut tuannya tersebut.
"Aku masih ingin bicara."
Rena mengangguk. Ia menunggu.
"Kau — apa yang akan kau lakukan jika kekasihmu itu datang padamu?"
Rena terbelalak. "Aku —"
"Apa kau akan pergi dari sini dan kembali ke negeri asalmu itu?" lanjut Kaiho yang napasnya masih terdengar memburu.
Ada gejolak dalam hati Rena mendengar pertanyaan itu. Jujur, ia tak tahu harus mengatakan apa. Padahal seharusnya, ia bisa begitu lantang mengatakan 'Ya' karena bukankah itulah yang harus ia lakukan jika Chae menjemputnya?
Tapi bibir Rena kelu. Ia seperti begitu bimbang untuk menjawab.
Kaiho tertawa. Tawa yang terdengar dibuat-buat untuk menertawakan dirinya sendiri.
"Apa yang aku tanyakan? Bodoh sekali! Tentu saja kau akan pergi dengannya kan? Aku mana mungkin mencegahmu."
"Tu—tuan. Apa kau baik-baik saja?" tanya Rena akhirnya. Setelah beberapa saat yang lalu lidahnya terasa kaku sekali.
Ini seperti bukan dirinya.
Kaiho menggeleng. Dengan langkah sedikit gontai, pria bertubuh atletis itu membuka pintu mengijinkan Rena untuk kembali ke kamarnya.
Rena memahami perintah tak bersuara itu dan perlahan melangkah terlalu pelan untuk keluar dari kamar tuannya. Namun belum sempat ia sampai ke pintu, langkahnya terhenti karena kakinya yang tergelincir. Menyebabkan dirinya harus tertahan oleh dua tangan yang menangkapnya erat.
Kulit dengan kulit. Mata bertemu mata. Terasa intim dan canggung. Rena hanya bisa termenung.
Kaihi mencoba untuk melawan pikirannya untuk segera melepaskan gadis itu dari pelukannya. Namun tubuhnya tak bereaksi sesuai perintah otaknya.
Kaiho malah semakin erat memeluk Rose yang jelas tak berdaya.
"Kau tidak boleh pergi!"
Kaiho semakin menekan Rena ke tubuhnya, "Apapun yang terjadi, kau tidak boleh meninggalkanku sendiri."
.
.
Bersambung