Hujan turun deras saat Valdy hendak pulang. Ia dan Angela berdiri di emperan bangunan gudang alat olahraga, terjebak hujan, tak bisa berlari ke tempat parkir kecuali menerobos hujan. Ia melirik gadis di sampingnya yang sedari tadi manyun dengan rambut acak-acakan dan pakaian bernoda tanah. Ia sudah menyuruh Angela berganti baju agar tak membawa serta semua kotoran itu ke mobilnya. Namun gadis tengil itu menolak dan hanya mengganti celana olahraganya dengan rok.
"Biar mobilmu kotor." Jawabannya membuat Valdy gemas dan ingin menjitaknya. Baru kali ini ia menghadapi gadis dengan kelakuan ajaib macam Angela. Melelahkan sekali.
Mengingat perjodohan mereka, sepertinya ia akan menghadapinya seumur hidupnya. Ia jadi bergidik sendiri. Mending kalau cinta, tapi ini…
"Duh, Moon-Moon gimana ya?" Angela berdiri gelisah, mengulurkan satu tangan untuk menangkap kucuran air hujan yang jatuh dari sela genteng. "Val, aku duluan aja ya. Ngapain juga kita pulang bareng?"
"Jangan banyak protes, La."
"Aku cuma nanya."
"Hei, bisa diam sebentar? Kupingku ini sedari pagi panas, capek mendengar suaramu!" Valdy berkata sambil menahan kejengkelannya kuat-kuat. Angela langsung menutup mulutnya dan melengos.
Tak ada tanda-tanda hujan akan reda, sementara gelap mulai menyelubungi mereka. Valdy tengah sibuk dengan ponselnya, mengecek laporan harian pegawainya di beberapa resto, saat ia mendengar suara langkah kaki dari sebelahnya. Angela telah berlari menembus hujan, memeluk ranselnya di depan dada. Ia berlari ke arah gerbang depan. Valdy menyimpan kembali ponsel di saku celana, lalu memanggil sosoknya yang makin menjauh.
"Angela!"
Ia memanggil gadis itu berkali-kali, namun Angela tak menggubrisnya. Ia melayangkan makian, lalu berlari menyusulnya. Angela telah berbelok ke sudut bangunan kelas 12, dan sampai di halaman depan. Valdy memilih berlari ke tempat parkir dan segera masuk ke mobilnya yang terparkir sendirian.
"Sialan! Merepotkan banget tuh bocah!" Ia memaki sambil menghidupkan mesin mobil, berusaha mengabaikan pakaiannya yang basah kuyup dan meninggalkan jejak air di furniture mobil kesayangannya.
Valdy mengemudikan mobilnya keluar gerbang, lalu mencoba menemukan jejak Angela di trotoar sepanjang jalan. Gadis itu tengah berteduh di halte, menunggu kedatangan bis sambil memeluk tas ranselnya. Valdy menghentikan mobilnya di depan halte, lalu menurunkan kaca penumpang. Angela melirik ke arahnya, lalu berpaling. Tubuhnya menggigil dan sudah basah kuyup sama sepertinya.
"ANGELA! MASUK SINI!"
Angela tak memedulikan seruannya, masih tak mau memandangnya sama sekali. Valdy makin habis sabar.
"ANGELA!" Angela malah menutup satu telinganya dengan telapak tangan.
Sambil berteriak jengkel, Valdy keluar dari mobil dan menghampirinya.
"La, ayo masuk!"
"Pergi sana!"
"Hei, kenapa ini? Ngambek?"
"Sudah kubilang pergi aja! Aku bisa pulang sendiri!"
"Hujan-hujan begini nggak akan ada bis! Mau sampai malam disini?" Valdy mengusap wajahnya yang basah. "Angelaaaaaa…"
"Pergi aja, Valdy!"
Valdy mengepalkan tangan dengan geram. Ia lalu melakukan satu tindakan drastis mengingat situasi darurat. Dihampirinya Angela, lalu satu lengannya melingkar di pinggang gadis itu, sementara yang satu lagi diselipkan di bawah lututnya. Dengan mudah ia mengangkat Angela dalam gendongannya.
"Turunin! Mau apa sih?" Angela memekik, meronta untuk membebaskan diri. Namun Valdy merengkuh tubuhnya dengan kuat, membuatnya tak mampu berkutik.
Valdy baru menurunkannya di depan pintu mobilnya, lalu membuka pintu depan dengan cepat dan mendorong Angela masuk. Ia menguncinya sambil berlari ke pintu pengemudi, membuka kuncinya kembali dan masuk. Ia terkaget-kaget mendapati pemandangan di dalam. Angela tengah menyelinap ke kursi belakang, membuat satu sisi roknya tersingkap, menampilkan celana pendek cokelat ketat di dalamnya yang kontras dengan kulitnya yang terang.
"La, tetap disini!"
Valdy menariknya kembali ke kursi depan, namun Angela menepis tangannya dengan satu kibasan tangan yang telak mengenai wajah Valdy dengan keras.
"HEI!"
Angela berhasil menjatuhkan diri di kursi belakang. Satu kakinya melayang, telak menonjok dahi Valdy, membuat lelaki itu tersentak ke belakang hingga sikunya menyentuh klakson. Suara TIIIIIIIINNNNNNNNNNN panjang terdengar membelah keheningan.
"ANGELA!"
Angela menepis rambutnya yang basah dari wajahnya, pura-pura tuli dan menyandarkan kepala di kaca jendela.
"Aku ngomong sama kamu, ANGELA!"
Angela mengetik dengan cepat di ponselnya, lalu menunjukkannya pada Valdy dengan mata berkilat penuh amarah.
BUKANNYA LO GA MAU DENGAR SUARA GUE?? NGOMONG AJA SENDIRI SAMPAI SERAK, OM!
Valdy marah luar biasa. Sekuat tenaga ia berupaya mengendalikan amarahnya di depan Angela agar tak sampai menghancurkan sesuatu dengan kepalan tangannya. Luar biasa sekali gadis ini, luar biasa menjengkelkan dan merepotkan!
Angela menampar lengannya dan menunjukkan pesan lain yang diketik di ponselnya.
GUE MAU PULANG! SEKARANG!
Tanpa banyak bicara, Valdy melajukan mobil di jalan raya yang sepi, menembus hujan dan kabut tebal yang menyelimuti kota Jenggala.
***
Sampai di depan gerbang, Angela langsung melompat turun tanpa bicara. Ia membuka kunci pintu gerbang dengan susah payah, lalu menggesernya membuka. Valdy berjalan mengikutinya masuk dan mendengar lolongan merdu yang sudah akrab di telinganya.
"Biarin aku masuk, La."
Angela mendorong dadanya sekuat tenaga, mengusirnya dari rumahnya, namun Valdy bergeming.
"Mau apa? Aku lagi males nerima tamu, apalagi kamu orangnya!"
"Aku mau nengokin anjingku. Boleh?"
"EH??"
Angela melempar pandang ke arah Moon-Moon di kejauhan yang melolong antusias, lalu menatap Valdy.
"Itu anjing punyaku, dibeli oleh Adrian. Aku mau cek kondisinya. Setelah itu aku pulang. Oke?" Valdy mengusap wajahnya yang basah. Hujan masih turun deras. Sial, sok romantis banget mereka kelihatannya, dengan hujan dan pertengkaran menjengkelkan tadi, pikirnya muak.
"Shit." Angela melepaskan tangannya lalu berbalik. "Terserah kamu deh! Ingat kasih makan. Aku ganti baju dulu."
Valdy menutup gerbang di belakangnya, lalu berlari ke arah garasi dimana Moon-Moon menggaruk jeruji kandangnya dengan sangat antusias dibarengi lolongan panjang. Valdy mengeluarkannya dari kandang dan membiarkan anjing itu menyerbunya, mengendus sekujur wajahnya dengan moncongnya yang berbulu.
"Hei, Jackson. Let me check you, Buddy." Ia lalu memeriksa sela-sela bulu, cakar, telinga, lalu mulut anjing itu. Bersih, dan harum, saat ia mengendus bagian kepalanya. Ia menoleh ke arah ruang depan yang pintunya terbuka lebar. Pintar juga si judes itu memelihara anjing, pikirnya.
Valdy lalu mengajak Moon-Moon bermain selama beberapa saat, mengisi mangkoknya dengan makanan dan air. Moon-Moon lalu makan dengan rakus dan Valdy menutup rapat pintu kandang, tak lupa menguncinya. Ia hendak pergi saat Angela muncul dari dalam rumah, membawa handuk yang terlipat di tangannya.
"Val!" Ia melempar handuk ke arah Valdy. Valdy menangkapnya dengan sigap. Dengan pakaian rumahan berupa celana pendek dan kaos ketat, Angela tampak sangat berbeda. Rambutnya yang basah tergerai di punggung, meninggalkan jejak gelap di kaosnya. "Sekalian ganti bajumu. Pakai punya Adrian."
"La, aku pulang aja."
"Nanti, setelah ganti baju." Angela berbalik. "Buruan, Val. Nanti masuk angin."
Valdy membuka handuk lebar itu dan menggosok rambutnya yang basah. Dilangkahkannya kakinya ke ruang depan, dan Angela mengulurkan setumpuk pakaian padanya. Ekspresinya datar.
"Ini aja cukup, La."
"Aku memaksa." Angela menyodorkan pakaian padanya, dan Valdy mau tak mau menerimanya. "Kamu adalah tamu, dan aku, tuan rumah yang baik." Angela mendongak untuk memandangnya. "Thanks sudah nganterin pulang."
Valdy mengedikkan bahu.
"You're welcome."
"Kamu bisa pakai toilet di dekat dapur. Ayo." Angela berjalan lebih dulu. "Mau makan? Aku cuma punya mie instan. Belum sempat belanja. Harusnya sore ini tapi…" Suaranya menghilang begitu saja. Valdy mengamati lekat-lekat sosoknya dari belakang, dalam hati menyesali pendapatnya sendiri soal gadis itu. Jika disandingkan dengan Karina, dari segi fisik, Angela jauh lebih sempurna.
"Jadi, kamu bakal makan mie instan hari ini?" tanya Valdy.
"Ya gitu deh. Maunya pesan online tapi dompetku hilang. Aku belum sempat telpon Mama minta transferan. Kartu ATM, semua ilang. Jatuh dimana lagi? Nggak ingat deh! Terpaksa pake e-money nanti, tanpa uang cash."
Valdy teringat pada dompet pink milik Angela yang disimpannya di dasbor mobil. Ia lalu masuk ke toilet, menerima sehelai tas goodie bag untuk wadah pakaian basahnya dari Angela, dan menutup pintu. Beberapa menit kemudian saat ia keluar, Angela tengah sibuk di dapur, memasak mie instan.
"Mau mie? Suka yang kuah atau yang goreng?"
Valdy yang lebih suka makanan western, tak enak menolak kebaikan gadis itu. Ia juga sedikit penasaran, kemana perginya kemarahannya tadi? Dalam sekejap, Angela seolah bertransformasi dari induk naga yang supergalak menjadi kelinci imut tanpa dosa.
Mengerikan.
"Samain dengan punyamu, La. Boleh pinjam payung?"
"Ambil aja di garasi, dekat kandangnya Moon-Moon."
Valdy mengambil payung dan dengan cepat berlari ke arah mobilnya di depan gerbang. Hari sudah gelap, dan hujan makin deras mengguyur bumi. Ia meletakkan tas di kursi penumpang lalu mengambil dompet milik Angela. Dengan awas ia mengamati sekitarnya. Jalan depan rumah Angela yang cenderung sepi, lalu rumah para tetangga yang semuanya tertutup rapat dengan tembok dan gerbang tinggi. Ia masuk kembali dan menutup pintu gerbang, memeriksa kuncinya baik-baik.
Tunggu, kenapa dia sepeduli ini pada Angela? Apa karena permintaan Adrian untuk menjaga adiknya selama dia tak ada di dekatnya?
Sejujurnya, lebih pantas rasanya menganggap Angela sebagai adik ketimbang tunangan, apalagi calon istri. Ia sama sekali belum siap ke jenjang itu. Ia masih ingin bebas dan meraih cita-citanya.
Angela tengah menata mangkok berisi mie di meja makan dan menuang air saat Valdy masuk kembali. Valdy meletakkan dompet miliknya di atas meja, membuat sepasang mata Angela membelalak.
"Tadi pagi jatuh di mobilku."
"Kenapa baru bilang, Val?"
"Lupa."
Angela mendesah kesal sekaligus lega.
"Oke. Thanks. Kupikir bakal hilang selamanya." Matanya terlihat berkaca-kaca, membuat Valdy heran sendiri. "Ayo, silakan dimakan. Cuma ini yang kupunya."
Mereka makan dalam diam. Sesekali Valdy mencuri pandang ke arah Angela yang terlihat muram, dan memilih mengabaikan suara denting-denting dari ponselnya sendiri di atas meja, chat dari para fans di sekolah. Angela hanya menunduk di atas makanannya, tak bicara apapun, tak seperti biasanya yang galak dan tukang ngomel.
"Kenapa, La?" tanya Valdy akhirnya. Tangannya memegang gelas berisi air, lalu ia minum sambil menunggu jawaban Angela.
"Kenapa?" Angela balik bertanya. "Oh, lagi mikirin sesuatu. Nggak penting."
"Kalau nggak penting kenapa sampai semurung itu?"
Angela menghela napas panjang, lalu meletakkan sendoknya. Makanannya masih tersisa banyak. Ia lalu meminum airnya hingga habis.
"Tadi Moon-Moon sudah dikasih makan?" tanya Angela, menaruh kembali gelas di atas meja. Valdy mengangguk. "Thanks." Angela bangkit dan membawa peralatan makannya ke wastafel.
Valdy berdecak, tak paham sama sekali pada kelakuan gadis itu. Ia mengikutinya ke dapur, membawa peralatan makannya bersamanya dan meletakkannya di wastafel. Ia lalu mencekal lengan Angela, membuat gadis itu terkesiap.
"Kalau soal yang tadi, kata-kataku di sekolah, aku minta maaf."
"Udah lewat juga, Val."
"Tapi ini benar gara-gara yang tadi?" Valdy mencekal kedua lengannya, memaksanya menatap matanya. Angela meliriknya sekilas, lalu mengangguk singkat.
"Aku minta maaf, La."
"Yah, aku juga sih. Kelakuanku memang kurang ajar sama kamu. Maaf, Val."
"Oke. Berarti sudah beres? Urusan kita berdua sudah beres?"
"Ya belumlah!" Angela berseru jengkel. "Aku masih harus remedial minggu depan! Belum lagi… pertunangan itu…" Angela menyentak lengannya dari pegangan Valdy. "Val, kamu nggak mau kan aku jatuh cinta sama kamu? Lepas!"
Valdy mendengus geli dan melepaskannya.
"Oke. Terima kasih, La. Aku pulang dulu. Besok kujemput seperti biasa."
"Thanks juga."
Angela mengantarnya sampai ke depan gerbang, dengan susah payah memegangi payung di tangannya karena hembusan angin yang kencang. Saat mobilnya makin menjauh dari rumah Angela, Valdy mengutuk dirinya karena telah meninggalkan gadis itu seorang diri di rumahnya.
Sepertinya ia harus membicarakan hal ini dengan Mirna.
***