Chereads / 365 Days Angela / Chapter 21 - Janji

Chapter 21 - Janji

Setelah kepergian Valdy, Angela mengunci semua pintu dan naik ke kamarnya di lantai 2. Udara terasa dingin. Berkali-kali ia bersin dan menggigil. Ia meraih kardigan rajut hijau-rumput-laut yang digantung di belakang pintu kamarnya dan memakainya, masih saja terasa dingin dan tubuhnya masih menggigil. Ia lalu duduk di meja belajar untuk mempelajari materi Kimia untuk ulangan di jam pertama besok. Satu jam, ia lalu meraih jurnal orchid dan membaca isinya, menambah beberapa keterangan yang merupakan pencapaiannya hari ini.

- Berhasil sit up 24x dalam 60 detik (walaupun diomeli Valdy si mulut cabe sebaskom itu!)

- Bisa tetap dekat dengan Roni (dan nggak terang-terangan grogi di depannya)

- Bisa mengabaikan Andrei dan Agatha yang suka pacaran dalam jarak pandang gue! (sengaja biar bikin gue jealous. Sorry, udah basi kali!)

- Dapat 100 untuk ulangan Fisika Pak Tamam. Yeayyy!!

Kepalanya terasa berat dan kantuk makin menyerang. Angela lalu memasukkan buku-buku untuk hari Jumat esoknya, dan mengunci pintu kamar. Sambil berbaring dalam suasana kamar yang temaram ia memeriksa ponsel, mendapati pesan dari Valdy.

Valdy : Jangan begadang, La.

Angela mendengus kesal dan tak menanggapinya.

***

Bumi memang berputar pada porosnya, tapi pagi ini, begitu membuka mata, Angela merasa kamarnya ikut berotasi juga dengan kecepatan yang memualkan. Ia melontarkan keluhan saat dirasakannya kepalanya sakit dan mual menyerang. Napas yang berhembus dari kedua lubang hidungnya terasa panas. Saat ia menempelkan telapak tangan di leher, ia mengerang makin keras.

Sial! Demam ini datangnya nggak kenal waktu! Mana ulangan Kimia, ia memaki dalam hati.

Ia memakai kardigan rajut biru navy di atas seragam khusus hari Jumat, rok lipit tartan dengan warna gradasi abu-abu dan kemeja biru navy. Beberapa kali ia menabrak-nabrak barang di dalam kamar, lalu hampir jatuh terjungkal di anak tangga. Ia harus sarapan pagi sebelum minum obat penurun panas.

Hanya ada roti pizza dan susu full cream di kulkas. Ia memakannya sambil meringis saking mualnya. Habis setengah porsi, ia lalu meminum sebutir paracetamol, lalu duduk di teras sambil menyandarkan kepala di pilar. Moon-Moon berlarian di sekitarnya, dengan mangkok makanan dan air sudah diisi penuh untuk pagi hingga sore nanti. Angela merasakan ponselnya bergetar, lalu melihat nama Valdy di layar.

"Sebentar. Masukin Moon-Moon dulu." Ia berkata lesu dan bangkit, menangkap Moon-Moon dan memasukkannya ke kandang. Saat ia mengunci gerbang, kepalanya kembali terasa berputar dan selama beberapa detik ia menyandarkan tubuh di pintu hingga sensasinya hilang.

"Kenapa?" tanya Valdy saat Angela menghempaskan tubuh di kursi belakang. Angela memejamkan mata dan menggeleng.

"Kalo sudah sampai sekolah, bangunin ya." Angela berkata, lalu berbaring menyamping sambil meringis. Ia membuka mata saat merasakan sentuhan di dahi dan lehernya. Valdy memeriksanya dan raut jengkel tercetak jelas di wajahnya.

"Demam, Angela. Absen saja satu hari. Kita ke dokter nanti."

"Ulangan Kimia, Val. Aku nggak mau ikut susulan, nanti soal-soalnya lebih susah." Angela menyingkirkan tangan Valdy dari lehernya. "Nanti aku ke ruang kesehatan aja."

"Nanti ijin sakit aja. Aku antar pulang."

"Nggak. Aku ada janji nanti sore."

"Janji? Janji apa? Sama siapa?"

"Ada deh."

Valdy berdecak.

"Kamu nggak akan bertahan sampai siang, La. Taruhan." Valdy memakai kembali sabuk pengamannya. "Tadi sudah sarapan? Minum obat?"

"Sudah, keduanya sudah." Angela mendesah. "Jangan diajakin ngobrol dong! Aku mau tidur sebentar. Pusing banget!" Ia meringis lagi dan membenamkan wajah di lipatan lengannya.

Valdy tak berkata apa-apa lagi, hanya mengawasi sosok Angela melalui spion.

***

Angela berhasil melalui ulangan Kimia-nya sebaik yang mampu dilakukannya dengan kepala yang pusing. Saat hari makin beranjak siang, demamnya juga ikut meningkat. Ia mengabaikan bujukan Roni yang memaksanya ke ruang kesehatan, sampai akhirnya di jam istirahat pertama Roni meledak marah padanya.

"I'm fine! Nanti juga baikan!" Angela berseru padanya. Sementara, menegakkan kepala saja ia sudah tak sanggup lagi, dan memilih menyangga kepala dengan lengan di sisa pelajaran Sejarah di jam ketiga tadi.

"Bisa nggak sih lo nggak keras kepala begini?" Roni menatapnya cemas, menempelkan satu tangan di dahi Angela. Wajah gadis itu sudah merah dan lesu. Angela meraih tangannya dan menggenggamnya, tak peduli pada beberapa orang selain mereka yang masih ada di kelas.

"Stay, please." Angela berbisik.

Sejenak, Roni seperti hendak mengatakan sesuatu namun diurungkannya. Ia mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Angela, membiarkan gadis itu menggenggam tangan satunya. Angela memejamkan mata, terlelap dalam sekejap, tak menyadari ponselnya di kolong meja bergetar.

Roni meraih ponsel Angela yang tak henti-hentinya bergetar, mengerutkan alis saat melihat nama Valdy menghubungi Angela berkali-kali. Satu pop up pesan muncul di layarnya, seketika membuatnya berang.

Valdy : Angkat telponku, La!

Valdy : La, kenapa nggak jadi ke ruang kesehatan? Gimana demammu?

Valdy : Kuantar pulang saja, La. Oke?

Roni meletakkan ponsel Angela yang kembali bergetar di atas meja, lalu memandang gadis itu. Ada apa diantara Angela dan gurunya itu? Kata-kata di pesannya terasa sangat akrab, padahal sepengamatannya, Angela selalu membenci jam olahraga.

Valdy : Aku ke kelasmu, La. Angkat telponku, hei!

Roni mengambil ponsel Angela dan meletakkannya kembali di kolong meja. Sosok Valdy mendadak muncul di ambang pintu, membuat emosi Roni seketika menggelegak.

"Roni. Tolong panggil Angela." Valdy berkata dari ambang pintu.

"Ada apa, Pak? Dia lagi sakit." Roni berkata keras.

"Bangunkan!"

Roni melempar pandang sengit, namun memilih tak berkomentar. Ia mengguncang bahu Angela untuk membangunkannya. Setelah beberapa saat barulah Angela tersentak dan membuka mata.

"Kenapa? Ini dimana?"

Angela menegakkan tubuhnya, lalu membelalak saat menyadari ia masih menggenggam tangan Roni.

"Sorry, Ron." Ia melepasnya, lalu mengusap wajahnya sambil meringis. "Ada apa?"

"Dicari sama Pak Valdy." Roni menjawab dengan ketus.

Angela melirik Valdy dengan sengit, yang dibalas pelototan oleh Valdy. Valdy melambai menyuruhnya mendekat. Masih sempoyongan, Angela bangkit dari kursinya dan berjalan terhuyung ke depan kelas. Ia melirik Roni sekilas yang terlihat jengkel, yang ikut keluar kelas bersamanya. Roni melewatinya begitu saja tanpa menyapa Valdy dan pergi ke arah lapangan.

Valdy mengamati sosoknya yang menjauh, merasa sikap dingin siswanya itu pastilah gara-gara dirinya.

"First of all, bilang saja ke Roni kalau aku teman kakakmu, La."

"Hah? Apa?" Angela berdiri bersandar di dinding untuk menopang tubuhnya yang terasa limbung.

"Dia cemburu. Jelas sekali kelihatan."

"Duhhh… Kamu merusak usaha pedekate-ku, Val!" Angela berdecak gusar. "Mana pusing…"

"Ke ruang kesehatan saja, La. Buruan. Semasih sepi, aku antar."

"Nggak usah!"

"Hei, lihat tampangmu sudah lesu begitu!"

"Biarin aja!" Angela melirik sekitarnya yang sepi. "Pergi aja! Please, aku nggak mau kena masalah lagi."

Valdy tak memaksanya lagi, tak ingin berkonfrontasi di sekolah dengan Angela terlalu sering. Nanti kebiasaan, pikirnya.

"Oke. Terserah. Pulangnya?"

"Sudah kubilang ada janji sama Roni!"

"Oh."

Angela menekap mulutnya, sadar baru saja keceplosan.

"Aku mau tiduran lagi, Val. Eh…" Angela menghela napas sambil menekankan satu telapak tangan di lehernya. "Thanks sudah peduli, Val."

Valdy berdecak dan menoyor dahinya.

"Sana balik ke bangkumu!" Dan Valdy berlalu dari hadapannya dengan langkah-langkah panjang.

***

"La, lo benar-benar…"

Roni tak sampai hati melanjutkan ucapannya, dan lebih memilih merangkul bahu Angela dan membiarkannya menyandarkan kepala di bahunya. Bel pulang sekolah sudah berdering sepuluh menit lalu, dan kini hanya tinggal mereka berdua di kelas dalam suasana yang berubah makin senyap.

"Kan gue sudah janji." Angela membalas ucapannya. "Mmm… Mau kemana dulu?"

"Pulang, La! Lihat diri lo! Kenapa harus maksain untuk menepati janji yang kemarin? Kapan-kapan juga bisa pulang bareng." Roni mengacak rambut Angela dengan gemas. "Gue jadi merasa bersalah banget."

"Jangan." Angela memperbaiki posisi kepalanya di bahu Roni. "Gue juga mau. Gue… ehm… Memang ingin pulang bareng lo, Ron."

"Kenapa nggak pulang sama Pak Valdy?" tanya Roni, tak bisa menahan rasa penasarannya yang makin menjadi sejak membaca pesan Valdy. "Gue nggak sengaja lihat pesannya tadi di ponsel lo, La."

"Oh." Angela berubah muram, lalu mendongak memandang Roni. "Jangan salah paham. Valdy itu teman kakak gue. Gue juga baru tahu kalo selama ini dia diminta kakak gue mengawasi gue di sekolah. Ya begitulah. Menyebalkan. Sebelas dua belas deh mereka berdua, cerewetnya dan ngeselinnya."

"Tapi kalian…"

"Dia itu lagi pedekate sama Karina. Kayak lo nggak tahu aja."

"Oh, gue pikir Karina cuma membual soal itu, kayak biasanya."

"Kali ini enggak. Emang beneran. Valdy ngaku sendiri kok."

Roni memandang gadis dalam rangkulannya, merasakan satu dorongan kuat untuk tak melepasnya sama sekali. Napas Angela terdengar memburu. Demamnya masih separah tadi pagi, mau tak mau membuat Roni terkejut karena gadis itu bertahan di sekolah hanya karena ingin pulang bersamanya. Rasa hangat membuncah di dadanya, selalu begitu tiap kali ia bersama Angela kapanpun. Jika dia sebelumnya hanya bisa memandang gadis itu dari jauh, tak punya harapan mendekatinya karena keposesifan Andrei dan Karina yang di luar batas, kini semuanya sudah berubah setelah Angela membebaskan dirinya sendiri.

"La, ayo pulang." Roni mengecup dahi Angela, membuat gadis itu tercekat dan berubah gugup. "Terima kasih, La."

***