Chereads / 365 Days Angela / Chapter 25 - One Step To HELL

Chapter 25 - One Step To HELL

Angela memandangi kamar yang ditempatinya, yang ukurannya dua kali kamarnya di rumah dan berlipat-lipat kali lebih keren dengan interior ala Eropa-nya. Sepulangnya dari resto, Mirna mengantarnya ke kamar yang kata wanita itu akan menjadi kamarnya tiap kali Angela datang menginap. Angela, yang telah sepakat dengan Valdy soal aktingnya, tersenyum malu, walaupun dalam hati ingin rasanya menjerit keras-keras.

Jam di atas nakas menunjukkan pukul 9 malam. Angela lalu membuka lemari yang tadi ditunjukkan Mirna dan mendapati setumpuk pakaian untuknya, khusus dibelikan calon mertuanya untuknya agar Angela tak bersusah payah berkemas tiap kali datang. Ia mengambil satu gaun tidur, yang dari aromanya bisa ditebak bahwa benda ini baru saja datang dari butik, sama seperti sisa pakaian lainnya. Ia memilih satu yang berwarna putih dengan tali spageti, lalu masuk ke kamar mandi untuk mandi dan selanjutnya bersiap tidur.

Saat ia bersiap tidur dan menyibak bedcover, ia mendengar suara ketukan di pintu. Angela berjalan ke pintu dan membukanya, mendapati Mirna berdiri di luar. Wanita itu menatap Angela dengan mata berbinar, mengamatinya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Cantik sekali." Ia memuji Angela dengan satu desahan napas. "Nah, Angela, tak usah sungkan kalau memerlukan sesuatu di tengah malam. Di sebelah ranjangmu ada telepon yang langsung terhubung ke ruang pembantu, tinggal telepon saja. Kodenya ada disana, di laci paling atas. Jangan sungkan ya. Anggap saja di rumah sendiri."

"Iya, Tante. Terima kasih banyak."

"Nah, selamat beristirahat, Sayang. Tante juga mau istirahat. Harus bangun pagi, besok ada acara seharian. Angela, nggak apa-apa kalau bangun siang. Santai saja." Mirna memeluk Angela sekilas, lalu pergi ke arah kamarnya di bagian lain rumah yang luas itu.

Angela memandangi kepergiannya dengan perasaan campur aduk, antara berterima kasih karena telah menerimanya dengan tangan terbuka, dan marah karena masa depannya tengah dimainkan sesukanya oleh orangtuanya dan orangtua Valdy. Mirna lalu membelok di ujung koridor yang mengarah ke tangga lantai satu dan sosoknya menghilang. Angela menghela napas, siap menutup pintu saat melihat sosok Valdy keluar dari kamarnya yang terletak di sebelah kamar Angela.

Tatapan mereka bersirobok. Valdy hanya mengenakan celana piama hitam dan kaos tanpa lengan. Rambut lurusnya yang biasanya rapi kini berantakan hingga menutupi sebagian dahi. Ia berjalan mendekat, dan saat sepasang matanya menelusuri tubuh Angela, barulah Angela tersadar pada pakaian yang sedang dikenakannya. Ia spontan menutupi bagian dadanya dengan kedua tangan lalu mendelik pada Valdy.

"Jangan mulai halu, Angela. Aku nggak berminat." Valdy berkata dengan ketus. "Besok, bangun pagi. Kita latihan."

"Latihan? Latihan apa?"

"Sit up."

"APA??"

"Mau remedial lagi?"

"Besok libur, Val!"

"Ya sudah, siap-siap saja remedial. Oh, harusnya kamu berlatih basket juga. Minggu depan dan seterusnya akan intens latihan basket di jam olahraga."

"Kenapa basket?"

"Itu alasan kenapa aku mau mengajar kalian di semester ini. Sudah berapa lama Jenggala Pride tak pernah memenangkan kejuaraan apapun?"

Angela merengut.

"Yah, setahuku sudah lama."

"Makanya, siap-siap." Valdy melanjutkan langkah, berhenti hanya untuk menoyor dahi Angela. "Tidur sana!"

"Hei!"

"Ingat, akting." Ia menoyor kembali dahi Angela dan berlalu.

***

Angela menikmati tidurnya yang nyenyak dalam gulungan bedcover tebal yang lembut dan hembusan angin sejuk dari pendingin ruangan. Mimpinya menyenangkan, dipenuhi sosok Roni yang tampan, senyumnya, sentuhan hangatnya, lalu ciuman lembutnya di bibir Angela…

"….bangun…."

"….Angela…"

Angela berguling di ranjang meraih tangan Roni yang terjulur ke arah wajahnya, menariknya ke arahnya. Kakinya menendang bedcover yang membelit dan menyulitkannya bergerak untuk meraih lelaki itu.

"Ya, Tuhan…"

Angela merasakan sesuatu menimpa tubuhnya, berat dan hangat. Kepalanya masih terasa melayang oleh kantuk hebat yang menguasai. Kelopak matanya berat, namun sosok Roni sangat nyata di hadapannya, memandangnya penuh cinta dari jarak yang sangat dekat.

"Angela…"

Suara-suara itu datangnya dari jauh. Benar-benar mengganggu dan merusak suasana!

"Please…" Angela berbisik saat Roni makin dekat dan makin dekat.

Suara seruan keras membuat sosok Roni membuyar seketika dari hadapan Angela. Masih memeluk tubuh lelaki itu, perlahan-lahan Angela membuka mata. Hal pertama yang dilihatnya adalah bibir yang sangat dekat di depan wajahnya, lalu saat matanya menelusuri si pemilik bibir yang sangat menggoda itu, serta merta ia memekik keras.

"AAAAAAAAA…."

Ia tambah kaget lagi saat menyadari kedua lengannya merengkuh tubuh Valdy erat-erat yang tengah menindihnya. Valdy menekap mulutnya dengan satu tangan untuk meredam jeritannya yang memekakkan telinga, terlihat gusar luar biasa.

"Kok bisa? Kenapa…" Angela berseru panik saat ia berhasil melepaskan wajahnya dari tangan Valdy.

"Lepas dulu, La! Aku nggak bisa bergerak!"

Angela melepas pelukannya, lalu dengan panik menjauhkan diri dari Valdy yang dengan sigap berdiri. Napas mereka memburu seolah baru habis berlari dua putaran di lapangan sepak bola. Suara kikik dari arah pintu membuat Angela menoleh, dan ia membelalak menyaksikan Devon sibuk dengan ponselnya, tengah merekam mereka berdua.

"Dev, hapus!" Valdy berseru padanya.

"Nggak dong! Ini hal paling seru yang pernah terjadi di rumah ini!" Devon memeletkan lidah pada kakaknya. "Sudah gue kirim ke ponsel lo, Kak! Happy watching! Ahahahaha…." Ia lalu berlari keluar kamar dan membanting pintu hingga menutup. Suara tawanya terdengar jelas di koridor di luar kamar mereka.

"Sialan!"

"Yang barusan itu apa, Val??" Angela memekik padanya, membuat Valdy sontak menoleh dan balas menatapnya dengan garang.

"Aku harusnya yang nanya, La! Kamu ngapain tiba-tiba narik tanganku dan memaksaku tidur denganmu?" Valdy berseru padanya.

"Aku nggak mungkin kayak gitu!"

"Aku nggak mungkin mencari kesempatan menggrepe kamu. Tolong!" Valdy mendesah gusar, mengambil ponsel dari saku celana trainingnya dan dengan geram mencoba menemukan video yang dikirimkan Devon padanya. Dengan durasi 1 menit, video itu sukses menggambarkan kebobrokan mereka berdua yang tak disengaja.

"Devon sialan!"

"Lihat!"

Angela merebut ponsel dari tangannya dan dengan cepat memutar ulang video mereka. Ekspresi Angela berubah pucat, dan ia meringis melihat bagaimana agresifnya dirinya beberapa saat yang lalu.

"Val, sumpah! Aku tadi kebawa mimpi, mengira kamu orang lain. Ini bukan aku yang sebenarnya." Angela menggeleng panik. "Jangan salah paham! Aku nggak sedang mencoba merayumu. Please!"

"Ah! Sudahlah! Sudah telanjur juga!" Valdy merampas ponselnya dari tangan Angela dan mematikan layarnya. Wajahnya berubah merah.

"Ngapain masuk kamarku, ngomong-ngomong?"

"Bangunin kamu, Angela! Ini sudah jam 7! Sudah kubilang kemarin, kita latihan! Ingat?" Valdy meliriknya jengkel. "Kamu susah banget dibangunin, nggak mempan dengan suara saja. Makanya… Harusnya kubawakan air untuk menyiram kepalamu barusan!"

"Hei!"

"Ayo, bangun!" Valdy membentaknya, membuat Angela jengkel dan melayangkan tendangan ke arahnya. Valdy berkelit sebelum tendangan itu mengenainya. "Lihat pakaianmu!"

Angela tersentak, lalu menunduk, dan seketika meraih bedcover di dekatnya dan menutupkannya di sekujur tubuh hingga menutupi kepala. Pipinya terasa panas saking malunya. Gaun tidurnya sudah tersingkap dan menampilkan dengan jelas apa yang ada di baliknya, sementara satu tali spagetinya telah melorot hingga ke lengan. Dengan bodohnya, ia mengekspos tubuhnya sendiri di hadapan lelaki menyebalkan ini.

"Telat, La! Sudah kulihat juga dari tadi!"

Angela memekik saking malunya dan menendang-nendangkan kakinya yang terbungkus bedcover dengan gusar ke arah Valdy.

"Sepuluh menit lagi, La. Kutunggu di bawah. Sarapan, lalu latihan. Nggak usah mandi dulu!"

Angela memejamkan mata dan menghempaskan tubuh kembali ke atas ranjang, masih terbungkus bedcover. Bagaimana cara melenyapkan rasa malu ini, pikirnya putus asa.

Valdy sialan!

***

Masih merona dan kikuk, Angela ikut sarapan bersama Devon dan Valdy. Ia telah mengganti gaun terkutuk itu dengan yoga pants selutut dan kaos berlengan panjang. Rambutnya dikuncir kuda, tinggi di atas kepala. Ia mendelik pada Devon yang masih terkikik-kikik geli tiap kali memandangnya.

"Dev." Angela memanggilnya. Roti gandum di tangannya sudah tak karuan bentuknya karena diremas dengan emosi sedari tadi. "Gue belum akrab sama lo. Tapi sekali lagi lo nyebelin, awas lo ya!"

Devon malah tertawa ngakak. Duh, kakak dan adik sama aja ngeselinnya, geram Angela.

"Angela, lo cocok banget buat kakak gue." Devon mengerling Valdy, yang sontak siaga dan menyipitkan mata padanya. "Nanti kalo lo udah resmi jadi ipar gue, jangan galak-galak lagi ya."

"Diem lo ah!" Angela berdesis jengkel, malas bicara lagi. Dengan murung ia menghabiskan roti gandum lalu meminum susu full creamnya.

"Sudah? Ayo, La!" Valdy bangkit dari kursinya saat melihat Angela telah mengelap bibir dengan tisu, menyelesaikan sarapan. Ia mendahului berjalan ke arah halaman belakang. "Dev, ikut!"

"Ogah!"

"Ikut!"

"Titah mama, Kak! Gue nggak boleh gangguin chemistry lo berdua." Devon bangkit dari kursinya, meminum susu cokelatnya dengan cepat. "Gue main game dulu!" Tanpa basa-basi ia langsung melesat kembali ke arah tangga menuju kamarnya, masih terkikik geli. Valdy memijat keningnya dan mendesah kesal.

"Ayo, La!"

"Iya!" Angela berdiri dan berjalan ke arahnya. "Nggak usah galak-galak, Om!"

"Masih saja…" Valdy lalu bungkam saat Bik Noni muncul untuk merapikan peralatan makan dan sisa sarapan mereka. Wanita itu memandang mereka berdua dengan tatapan menggoda dan senyum simpul. "Akting. Now!" Ia berbisik sengit, membuat Angela mengerjap paham.

"Ayo." Angela menggenggam tangannya, meremasnya kuat-kuat, membuat Valdy mengertakkan gigi. Ia melepaskan tangan Angela, dan balas mendekap kepala gadis itu ke arah dadanya, lalu menyeretnya menjauh. Angela mengaduh pelan.

"Nih, balasannya, fiancé!" Ia menggeram jengkel.

***

"Sudah 25 kali!"

"Coba sampai 30!"

"Nggak mau!"

Valdy mendelik pada Angela, yang balas menendangkan satu kakinya pada Valdy. Valdy mengeratkan pegangannya di kedua betis Angela, tak memberinya kesempatan bertindak kurang ajar lagi seperti sebelum-sebelumnya.

"Oke. Terserah. Coba satu kali lagi." Valdy akhirnya menyerah. Ia mengawasi Angela yang menurunkan tubuhnya untuk berbaring di lantai lapangan basket mini di halaman samping rumahnya, lalu menyetel stopwatch di tangannya. "Mulai."

Angela memeletkan lidah padanya dan mulai sit up, dengan kemajuan yang lebih bagus dibanding di sekolah. Valdy tergoda untuk mengerjainya namun menahan diri, malas kena sial bertubi tiap kali menjahili gadis itu. Seperti tadi pagi.

Ingatannya kembali pada kelakuan bodohnya dan keagresifan Angela yang tak pernah disangkanya, walaupun semua itu murni ketidaksengajaan. Dan nyaris saja, ia kehilangan kendali dan membalas apa yang dilakukan gadis itu dalam kondisi separuh nyawanya masih bergentayangan. Bagaimanapun, ia lelaki normal yang gampang tergoda, tak peduli soal perasaannya saat ini pada Angela yang hanya sebatas kakak adik untuknya.

Sial, membayangkannya saja, ia sudah menjadi seresah ini.

"Dua tujuh…"

Valdy tersentak dan melirik stop watch, buru-buru mematikannya, tepat satu menit.

"27 kali, Val! YES!"

"Oke, bisa diterima." Valdy melepaskan betis Angela dan menghela napas.

"Jadi nanti nggak perlu remedial lagi kan?"

"Memangnya kamu sudah remedial?" tukas Valdy. "Yang ini cuma latihan, La!"

"Kaku amat sih! Kayak kanebo kering!"

"Heh! Apa?"

"Kamuuu…kaku! Kasih aku lolos sekali aja, Val! Please. Malu tahu sama teman-teman, remedial berkali-kali sendirian!"

"Nanti jadi kebiasaan." Valdy bangkit, mengulurkan tangan pada Angela yang masih kusut. Angela menerima uluran tangannya dan ikut berdiri dengan susah payah karena punggungnya sakit. "Sekarang, basket."

"Moon-Moon?"

"Sudah kukasih makan tadi. Dia lagi di kandang sama emaknya."

"Oh, oke." Angela meregangkan badan untuk mengurangi nyeri di pinggangnya. "Istirahat dulu boleh?"

"Nggak!" Valdy telah mengambil bola basket di dekatnya dan melemparnya pada Angela yang menangkapnya dengan gelagapan. "Ayo, coba lawan aku."

"Harusnya kamu main lawan Roni, biar tahu rasa!" Angela mendribel bola dengan muram, ingin sekali menelpon Roni. Menerima telponnya di toilet resto dalam waktu yang singkat kemarin malam masih belum cukup. Belum 24 jam berpisah, ia sudah kangen berat pada pacarnya itu.

"Sudah jadian?"

"Ngapain nanya?"

"Poin 2, La." Valdy mengingatkannya soal perjanjian mereka.

"Sudah. Kemarin."

"Aku tunggu traktiran kalian. Eh, congrats ya."

Angela tersenyum simpul, yang sedetik kemudian langsung lenyap saat Valdy merebut bola dari tangannya.

"Jangan bengong! Main yang benar!"

Hih!

***