"Mau kutemenin, La?" tanya Roni saat mereka telah sampai di rumah Angela.
"Nggak usah. Udah malem ini, Ron." Angela melepas sabuk pengaman, lalu menjangkau ke kursi belakang untuk mengambil tas ranselnya. "Makasih ya."
Roni tak menjawab, hanya mengulurkan tangan dan mengusap pipi Angela dengan lembut. Angela membalas tatapannya dengan gugup, memilih memejamkan mata saat bibir mereka bertemu, entah untuk keberapa kalinya dalam satu hari ini.
"La." Roni berbisik lembut saat akhirnya mereka melepaskan diri, "Jangan pedulikan apapun kata-kata hujatan untukmu di grup chat. Kamu nggak seperti yang mereka bilang atau tuduhkan."
Angela mengangguk, mulai resah kembali, namun sebisa mungkin tak ditunjukkannya pada Roni.
"Oke." Ia mengecup pipi kekasihnya. "Nanti hati-hati di jalan, Ron."
"Ingat kunci semua pintu dan jendela, La. Nanti aku telepon sebelum tidur." Roni mengacak rambutnya dengan gemas.
Angela melambai saat mobil Roni melaju pergi dan mengawasinya hingga lenyap di tikungan, lalu masuk dan mengunci gerbang. Lolongan merdu Moon-Moon menyambutnya. Angela mengeluarkannya dari kandang, membiarkannya bermain di halaman sementara ia membersihkan kandang dan mengisi ulang mangkok makanan dan air. Setelah anjing itu akhirnya berbaring di atas rumput dengan lidah terjulur, Angela memanggilnya untuk masuk kembali lalu menutup pintu kandang baik-baik.
Suara bel dari arah gerbang mengejutkan Angela yang baru saja selesai mandi. Ia melirik jam dinding, sedikit ragu untuk melihat siapa orang yang bertamu malam-malam. Ia mengambil ponsel, sambil berjalan ke lantai bawah mengecek pesan yang masuk. Satu pesan membuatnya mendesah kesal.
Andrei : Gue di depan rumah lo, La. Gue ingin bicara.
"Apaan sih?" Angela merasa tak karuan, malas sekali berkonfrontasi malam-malam, padahal baru saja ia merasa suasana hatinya lebih baik.
Angela : Besok aja, Rei. Gue nggak enak badan.
Andrei : Jangan menghindar terus, La.
Angela : Jangan nethink sama gue! Apa ini menyangkut hidup dan mati gue? Besok juga bisa kita bicarain, Rei. Oke? Gue nggak bisa terima tamu malam2.
Angela berdiri bersandar di sebelah pintu ruang tamu, mengintip gerbang depan dari celah gorden. Balasan Andrei muncul beberapa menit kemudian.
Andrei : Oke, gue nggak maksa. Tapi nanti gue telpon, dan tolong bicara sama gue.
Angela : Oke, satu jam lagi.
Angela mengintip lagi, melihat kilatan lampu di celah antara pintu gerbang dengan lantai berpaving di bawahnya, lalu derum suara motor yang makin menjauh. Andrei yang sengotot ini masih saja membuat emosinya campur aduk, antara masih memendam rasa sekaligus muak mengingat segala sesuatu tentangnya. Roni merupakan pengalih perhatian yang sempurna, yang dalam sekejap mampu membuat Angela seperti tersihir oleh daya pikatnya yang selama ini tak pernah mampu menyentuh hatinya.
Andrei 20%, Roni 80%. Kurang lebih sebesar itu persentasenya.
***
Andrei benar-benar menelepon satu jam kemudian, setelah Angela selesai makan malam dan mengunci diri di kamarnya. Tanpa basa-basi, Andrei mencecarnya dengan pertanyaan seputar jadiannya dengan Roni yang dijawab dengan nada jemu oleh Angela.
"Lo cuma mau balas dendam kan, La? Karena gue jadian dengan Agatha?"
"Apa gue cewek yang semurah itu? Gue memang sayang sama Roni."
"Lo nggak mungkin berpaling begitu saja dalam waktu singkat!"
"Tunggu. Jadi selama ini sebenarnya lo menyiksa gue dengan jadian sama Agatha? Begitu?"
"Gue nggak bermaksud…"
"LALU APA? Tujuan lo sebenarnya mengekang gue begini apa, Rei? Lo sebenarnya cinta sama gue?" Angela berseru kesal padanya.
"YA!"
"Lalu kenapa lo milih jadian sama cewek brengsek sok imut itu??"
"Karena lo nggak pernah peka sama perasaan gue, La! Berapa kali gue bilang sayang sama lo? Reaksi lo? Ingat reaksi lo?"
Angela merasa seperti baru saja ditampar keras-keras. Ia hanya bisa ternganga sementara ingatannya kembali pada dirinya dan Andrei berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun silam. Bibirnya bergetar, tak ada satu katapun yang mampu diucapkannya untuk membalas ucapan Andrei.
"Kenapa lo diam, Angela? Lo sudah ingat lagi?"
"Ya…" Angela akhirnya mampu membalas ucapannya. Sebutir air mata meluncur di pipinya, disusul butir-butir lainnya yang makin deras.
"Lo selalu bilang, nggak mau merusak persahabatan kita dengan cinta kan? Efek apa yang lo tonton soal persahabatan jadi cinta yang nggak happy ending, dan lo takut duluan. Nah, gue bisa apa?"
"Rein…"
"Dan gue, biarpun bersama Agatha, masih sayang sama lo, masih seperti dulu, sama sekali nggak berubah. Apa lo nggak sadar sama sekali soal itu? Gue menunggu lo sadar selama bertahun-tahun, dan gue menyerah. Tapi lihat, saat gue menyerah, lo dengan gampangnya jadian dengan orang lain! Roni! Bahkan lo nggak pernah dekat sama sekali dengannya selama ini! Apa yang sedang lo mainkan?"
Andrei benar-benar murka di seberang sana. Angela duduk di lantai dengan punggung tersandar di pinggir ranjangnya, menangis pelan. Benar kata Karina, bahwa ia sama sekali cuek dengan yang namanya cinta. Andrei yang memilih orang lain memberinya satu pukulan telak, mengguncangkan kesadarannya bahwa selama ini ia mencintai lelaki itu, bahwa mereka saling mencintai, namun tak mendeklarasikannya. Semua karena kebodohannya.
"Apa lo sakit hati melihat gue dengan Agatha?" tanya Andrei dengan nada lebih lembut.
"Ya."
"Begitu pula dengan gue! Melihat lo bersama Roni. Sakit sekali, La."
Angela tersedu sekarang. Dua orang terbodoh di dunia, seperti kata Roni. Tapi semua sudah terlambat.
"Jangan nangis, La."
Kata-kata Andrei malah membuat tangisnya makin menjadi. Angela menjatuhkan ponselnya ke karpet, lalu menangis sambil memeluk lututnya. Setelah berhari-hari mengabaikan Andrei, kini ingatan tentang kebersamaan mereka tergambar jelas di ingatannya, mengirimkan pedih yang sudah akrab dengannya.
Ia tak menghitung berapa lama ia menangis saat didengarnya suara bel dari gerbang, berbarengan dengan layar ponselnya yang menyala dan menampilkan nama Andrei. Angela mengangkatnya dan mendengar suara Andrei yang terengah.
"La, aku di depan."
Bimbang sejenak, Angela lalu berlari cepat melintasi kamar, membuka kunci semua pintu yang dilewatinya. Saat berlari di halaman depan, ia kembali bimbang. Ia menghela napas dalam, menenangkan pikirannya. Apapun yang akan terjadi nanti, ia telah memilih, sejak memutuskan bersama Roni ia telah memilih.
Andrei berdiri dengan cemas di balik pintu gerbang. Sepasang matanya melebar saat melihat wajah Angela yang masih basah. Ia merangsek masuk dan mendekap gadis itu erat-erat, membiarkan Angela menangis lagi di bahunya.
"Maaf, Rein, maaf banget…"
"Sssttt…"
"Gue memang bodoh banget!"
"Sudah, La." Andrei menepuk punggungnya lembut. "Jangan nangis lagi."
Angela melepaskan diri dan buru-buru mengusap wajahnya yang basah. Andrei mengusap rambutnya, menatapnya dengan sedih.
"Maaf karena ketidakpekaan gue, semua jadi begini, telanjur terjadi, Rein."
Andrei menghela napas dan tersenyum getir.
"Mungkin jalan kita memang harus begini saat ini. Di masa depan, siapa yang tahu?"
Masa depan gue, pikir Angela, mungkin akan berakhir dengan Valdy. Ruwet sekali!
"Maaf jika sikap gue nggak menyenangkan selama ini, Rein. Gue hanya ingin melindungi hati gue. Dan, gue benci sama cewek lo. Hal itu nggak akan pernah berubah sampai kapanpun, Rein. Jadi maaf jika gue tetap menjauh dari lo."
"Gue sangat kehilangan lo, La."
"Yah, gue juga kehilangan lo, Rein."
"Nggak apa-apa lo memilih menjauh, La. Tapi jangan benar-benar pergi dari hidup gue. Rasanya seperti kita dari dunia yang berbeda. Satunya manusia, satunya bukan."
Mereka berdua mendengus geli.
"Akan gue coba, Rein." Angela tersenyum sebisanya.
"Kalo Roni menyakiti lo, jangan sungkan bilang ke gue, La." Andrei terlihat ragu melanjutkan ucapannya, membuat Angela sontak penasaran. "Mungkin, saat lo nanti melihat sikap Roni yang membuat lo nggak nyaman, lo bisa bicara ke gue."
"Ada yang salah sama Roni? Apa dia tipe playboy terselubung?" tanya Angela dengan nada kalut.
"Enggak, setahu gue dia bukan tipe seperti itu." Andrei lalu berdecak, sontak jengkel. "Kenapa gue malah memihak dia?" Ia berdeham. "Lo selama ini belum pernah dekat sama dia, La. Jadi mungkin aja lo akan perlu beradaptasi dan membuat lo nggak nyaman. Itu maksud gue."
"Oh, oke."
"Lalu, yang tadi di lapangan, gue nggak suka melihatnya. Harusnya gue yang melakukan itu ke elo sejak dulu." Andrei menatapnya tajam dan membuat Angela merengut. "Setelah ini lo akan jadi objek bully di sekolah, La. Tapi ingat, ada gue dan teman-teman lain yang peduli sama lo."
"Rein, makasih banyak. Gue…"
"Jangan panggil gue 'Rein' lagi." Andrei menepuk puncak kepalanya, tersenyum sedih. "Gue jadi tahu lo sedang sedih, dan gue jadi ikut sedih, La. Tambah sedih lagi karena gue nggak bisa membantu lo, karena gue nggak akan bisa mendekat lagi pada lo seperti dulu."
Angela menghembuskan napas panjang.
"Makanya jangan murung-murung tiap kali hujan, Rei. Jadi kebiasaan kan gue manggil lo 'Rein' kalo ujan, dan kalo mood gue lagi mendung."
"Gimana nggak murung? Gue jadi nggak bisa latihan renang dong kalo hujan! Terlalu dingin."
Angela menepis rambut panjangnya yang menjuntai ke pipi, lalu mendongak ke arah langit yang gelap. Tak ada bintang atau bulan. Mendung tebal menggayut di langit.
"Bakal hujan, Rei." Ia berkata pelan.
"Ya, besok dan besoknya lagi, menurut ramalan cuaca." Andrei mendesah, lalu meregangkan badannya. "Lo nggak apa-apa sendirian? Apa gue minta Alana nginep disini nemenin lo?"
"Duh, nggak usah. Adik lo itu suka ngelindur. Ngeri ah!"
"Kalo ada apa-apa telepon gue, La."
"Iya, Rei. Makasih banyak."
"Gue pergi ya."
Normalnya, jika mereka masih seakrab dulu, Andrei tak akan pulang sampai matahari terbit. Mereka berdua akan betah menonton film di ruang keluarga sambil makan camilan. Tapi semua itu tak akan pernah terulang lagi. Selamanya, untuk Angela.
"Hati-hati di jalan."
Angela membelalak saat Andrei mencondongkan tubuh dan mengecup dahinya. Lelaki itu lalu tersenyum sambil menepuk bahu Angela dan berbalik pergi.
"Tutup dulu pintunya, La. Kunci. Setelah itu aku pergi."
"Oke." Angela berseru. "See you, Rei."
Angela mendengarkan dengan seksama suara-suara kepergiannya, lalu berjalan kembali ke arah rumah dalam renungan yang menyesakkan. Bagaimana jika seandainya mereka berdua pacaran? Mungkin, emosinya tak sekacau ini. Mungkin, mereka bakal bertahan dalam hubungan manis berjangka panjang, dengan prospek yang jelas. Dan entah mengapa, saat Andrei terlepas dari genggamannya, hidup Angela terjungkirbalik dalam sekejap, cukup banyak untuk diceritakan dalam jurnal orchid-nya.
Bukan, pikirnya jengkel. Gara-gara Adrian dan 365 harinya, menuai petaka satu demi satu. Besok, entah petaka apa lagi yang akan menghampiri.
***