Angela menutup resleting tas olahraganya, lalu menyampirkannya di bahu. Hari masih pagi, belum menginjak jam 8 pagi, dengan cuaca yang masih sesuram hari-hari sebelumnya. Ia melongok ke arah dapur saat telah sampai di lantai 1, mendapati Tantri tengah memasak. Orangtuanya baru saja datang beberapa jam yang lalu, membuatnya sangat lega dan tambah enggan berangkat ke sekolah hanya untuk DETENSI.
"Sarapan dulu, La. Mau makan apa?"
"Roti aja deh, Ma."
Sarapan berat bisa membuatnya tambah mual nanti, mengingat detensinya yang menyebalkan. Ia melirik ponselnya yang bergetar, melihat pesan dari Valdy yang mengatakan sebentar lagi sampai. Angela hanya mengiyakan dan lanjut memakan sarapannya yang berupa roti gandum dan telur dadar dengan mentega. Ia meneguk susu full cream kesukaannya dan mengakhiri sarapannya dengan cepat.
"Papa mana?" tanya Angela pada Tantri yang tengah memotong sayuran di depan wastafel.
"Lagi jalan-jalan sama anjingmu, La." Tantri menghentikan gerakan pisaunya saat mendengar suara bel. "Itu Valdy?" tanyanya.
"Iya." Angela bangkit dan menyambar tasnya. Ia berjalan ke arah Tantri dan memeluk wanita itu. "Berangkat dulu ya, Ma."
Tantri tersenyum menggoda.
"Baik-baik ya sama Valdy." Ia menepuk pipi Angela. "Hati-hati di jalan."
Angela melambai lalu berlari-lari ke arah gerbang, mendapati mobil Valdy telah menunggu. Ia masuk ke kursi belakang sambil melempar tasnya yang berat.
"Untuk apa bawa tas besar?" tanya Valdy sambil menoleh, mengamati tas olahraga Angela, lalu tatapannya turun ke arah pakaian Angela. "Sudah kubilang pakai pakaian identitas sekolah, La."
"Ini identitas sekolah." Angela menarik satu lengan bajunya. "Baju kelas IPA2." Ia menunjuk kaos biru lautnya yang ketat. "Celana olahraga." Ia menepuk pahanya yang terbungkus celana training hitam bergaris. "Ini celana waktu kelas 10, sekarang jadi sependek ini." Ia menarik ujung pipa celana yang hanya sampai di betisnya. "Nanti kamu akan tahu tas ini isinya apa. Buruan jalan!"
Valdy menggelengkan kepala mendengar penjelasannya dan melajukan mobil dengan cepat. Dalam sekejap mereka telah sampai di jalan raya utama. Lalu lintas di Sabtu pagi cenderung sepi dibanding hari-hari lainnya.
"Nanti sebelum pulang, kamu harus bersih-bersih, La. Jangan sampai kamu bawa-bawa bau toilet ke dalam mobilku." Valdy tiba-tiba berkata.
"Iyaaa…" Angela berdecak. "Atau gini aja deh! Aku pulang sendiri aja nanti. Biar kamu nggak cerewet lagi soal bau. Aku bisa naik bis." Angela membuka tasnya. "Duh, untung ingat bawa dompet." Ia lalu mengaduk-aduk isi tasnya dan menemukan sisir. Dengan cepat ia menyisir rambut panjangnya, menggulungnya hingga menjadi cepol di puncak kepala. Ia mengambil beberapa jepit rambut dan menjepit anak-anak rambut yang berjatuhan ke wajahnya.
"Waktumu dua jam, La." Valdy berkata sambil mengawasinya dari spion.
"Siap, Pak!" Angela berkata dengan nada sinis. "Setelah ini jangan kasih aku detensi macam ini lagi, please! Lama-lama jadi muak!"
"Salahmu sendiri sampai kena detensi."
"Bukan salahku kalo si Luna itu ternyata gila beneran dan halu!"
Valdy menghembuskan napas panjang, tak menanggapi. Masih pagi, malas terlibat perdebatan lain lagi dengan Angela. Jika dipikir-pikir, sebagian besar waktu yang dihabiskannya bersama gadis ini hanya berupa pertengkaran.
Tunangan apanya?
Karena sekolah sepi, Valdy tak membiarkan Angela turun di luar sekolah. Ia memarkirkan mobil di tempat biasa, dan setelah celingukan dengan resah, Angela buru-buru turun dari mobil. Tak ada orang yang tampak di sekitar mereka. Hanya ada satpam di posnya, yang menjaga gerbang. Angela mengikuti Valdy berjalan ke arah auditorium yang cukup jauh dari tempat parkir mobil, berkali-kali melirik ke kanan kirinya. Beberapa petugas kebersihan terlihat membersihkan koridor dan halaman. Makin dekat ke TKP, kejengkelan makin menguasai Angela.
"Oke. Silakan siap-siap."
Angela mendengar ucapan Valdy saat mereka sampai. Ia menjatuhkan tas olahraga di pelataran samping auditorium dan membukanya.
"Sebentar, Val."
Di bawah tatapan Valdy yang keheranan, Angela mengeluarkan peralatannya : baju hazmat, kacamata google, haircap, sepasang sepatu bot anti air, sarung tangan karet, banyak masker, beberapa botol pembersih lantai dan porselen. Terakhir ia mengeluarkan setumpuk nota yang distaples jadi satu dan mengacungkannya di depan wajah Valdy.
"Tolong di-reimburse, Pak." Angela tersenyum manis padanya. Valdy menyambar nota itu dan membelalak melihat angka yang tertera di dalamnya.
"Ini berlebihan, Angela!"
"Aku masih ingat insiden kecoak terbang itu, Val. Oke? Dan dua toilet itu? Udah kayak lubang neraka jahanam. Semua ini adalah perlengkapan yang pantas untuk memproteksi tubuhku yang suci ini."
Valdy menatapnya tajam, mengawasi dengan penuh minat saat Angela dengan cepat memakai semua perlengkapannya. Ia mengeluarkan ponsel dan merekamnya. Tak lebih dari lima menit, Angela telah terbungkus dalam pakaian pelindung super lengkap layaknya petugas medis di masa pandemi dulu. Ia lalu menyambar dua botol besar berisi cairan pembersih porselen dan membawanya ke arah dua bilik toilet.
"Hihhhh…"
Angela bergidik melihat kondisi toilet yang lembab dan penuh lumut. Keramiknya yang aslinya entah berwarna apa, tidak bisa terdeteksi lagi di bawah timbunan tebal lumut. Apa saja sih kerjaan semua petugas cleaning service di sekolah, sambil membatin ia menyemprotkan isi botol di tangan dengan jengkel. Semua sudut tak luput dari semprotan. Bak airnya kosong dan berwarna cokelat pekat. Ia menyemprotnya banyak-banyak. Selesai di satu bilik, ia beralih ke bilik lainnya yang tak kalah mengenaskannya.
"Ingat rekam, Val." Angela berseru pada Valdy yang berdiri agak jauh, dengan suara teredam.
"Oke, La. Ingat dua jam."
Angela mendelik kesal melihat Valdy yang sengaja berdiri jauh-jauh, jelas tak mau menghirup aroma neraka dari toilet. Kemarahan Angela kontan menggelegak.
"Kapanpun gue nikah sama elo," Angela menyambar sikat WC dengan muak, "dan lo nyuruh gue menggosok toilet kayak gini, gue hajar lo sampai habis, trus minta cerai, trus…"
"Jangan mulai halu lagi, Angela!" Valdy berseru dari luar toilet. "Kamu pikir aku nggak dengar ucapanmu barusan?"
"Oke, fiancé! Awas lo ya!"
Walaupun sudah berpakaian selengkap itu, Angela masih bergidik geli saat menemukan binatang-binatang kecil melata di pojokan bilik. Dengan segenap tenaga ia menggosok, membilas, gosok, bilas, sampai akhirnya warna asli keramik terlihat, kuning muda. Ia menuangkan cairan pembersih yang beraroma jeruk di lantai dan menggosoknya, sedikit menghilangkan mualnya.
Ia tak pernah memprediksikan betapa gerahnya bekerja menggunakan atribut selengkap itu. Angela sudah kepanasan dengan keringat membanjiri punggungnya. Setidaknya ia membawa baju ganti, untuk berjaga-jaga. Masker yang melapisi wajahnya membuatnya sedikit kesulitan bernapas. Saat aroma neraka di bilik pertama akhirnya berganti menjadi aroma surga tropis, ia melepas masker untuk menghirup oksigen banyak-banyak.
"Oke. Cukup untuk yang ini." Valdy mendadak muncul entah dari mana. Angela mengayunkan sikat WC ke arahnya dengan kesal. "HEI!" Ia berkelit menghindar. "Mau detensi tambahan?"
"Dasar arogan!"
"Bahasa, Angela." Valdy menyunggingkan senyum miring. "Ayo, lanjut yang di sebelah. Yang ini biar kudokumentasikan dulu."
Bilik berikutnya lebih mudah. Cairan pembersih porselen yang didiamkan cukup lama telah mengikis lumut dan kotoran yang menempel rapat di semua permukaan. Tenaga yang dikeluarkan untuk menggosok tak seekstrim sebelumnya. Gosok, bilas, gosok, bilas lagi. Angela baru sekali ini melakukan pekerjaan mengerikan ini, dan ia muak sekali!
Ia menuangkan cairan beraroma jeruk banyak-banyak dan menggosok lagi. Keringatnya makin membanjir. Ia melepas kembali masker dan melakukan bilasan terakhir untuk menyelesaikan detensinya.
"Sekalian lantai di sebelah sini, La."
Angela menoleh, melihat Valdy menunjuk pelataran sempit di depan toilet.
"Ogah! Jelas-jelas dua bilik doang, yang ini nggak masuk hitungan!"
"Sekalian, La."
"Kamu aja deh! Sekali-sekali turun tangan, jangan cuma bisa main perintah aja!"
"Aku gurumu!"
"Iya, tapi nggak usah arogan gitu kali!" Angela menyodorkan sisa pembersih lantai padanya. "Silakan, Pak Valdy. Sepuluh menit juga selesai kok!"
Valdy menggeleng dengan angkuh.
"Nanti kusuruh petugas cleaning service." Ia menepukkan tangan dengan puas. "Oke, aku dokumentasikan dulu bilik satunya. Silakan ganti baju."
Dasar curang! Angela ingin sekali melemparinya dengan botol di tangannya. Ia lalu membereskan sisa botol-botol pembersih dan membuangnya ke tong sampah yang tak jauh. Ia kembali ke tasnya di pelataran auditorium. Dengan cepat ia membuka semua pakaian pelindungnya, memasukkannya ke dalam satu polybag hitam yang dibawanya dari rumah, lalu mengikatnya kuat-kuat.
"Aduhhh… Lengket!"
Angela melompat-lompat kecil di tempat saat menyadari kaosnya basah dan menempel di punggung. Sambil meringis ia membaui tubuhnya sendiri, untunglah tak begitu menyengat. Ia menggosok keringat dengan handuk, mengeringkannya sebelum nanti membasuhnya dengan air. Lalu diambilnya kaos pengganti dan berjalan ke arah toilet, berpapasan dengan Valdy yang baru saja keluar.
"Ya, sebaiknya kamu pulang sendiri saja, La. Keringatmu nanti mencemari mobilku." Valdy berkata tanpa basa-basi. Angela ternganga heran mendengarnya, dan secepat kilat melayangkan cubitan ke lengannya yang berotot. Valdy mencekal pergelangan tangannya kuat-kuat. "Mau apa?" tanyanya dengan nada rendah berbahaya, yang entah kenapa mengirimkan sensasi aneh pada Angela.
"Kamu ngeselin!"
Valdy mendengus geli, melepas tangan Angela, lalu mengamati keringat yang masih mengalir turun dari pelipis hingga leher gadis itu, lalu wajahnya yang polos tanpa make up dan tampak lelah. Rambutnya yang berantakan dan basah oleh keringat membuat sosoknya menjadi jauh lebih memikat dibanding biasanya. Valdy mengerjap, lalu sedetik kemudian tersadar, apa yang barusan dipikirkannya?
"Sana, ganti baju!" Valdy kembali dengan nada arogannya.
Angela melengos angkuh dan masuk ke salah satu bilik yang tadi dibersihkannya. Saat ia akhirnya keluar, Valdy makin heran melihat kaos yang dipakainya.
"Kamu bawa jaket?" tanyanya pada Angela, mengamati kaos merah gelap yang membalut tubuh Angela dengan pas dan kerah lebarnya yang menunjukkan lebih dari yang seharusnya.
"Enggak. Kenapa?" Angela balik bertanya sambil berjalan melewatinya, lalu merapikan kembali barang-barangnya. Ia melirik Valdy yang masih mengamatinya, lalu membawa polybag tadi ke tong sampah, tanpa banyak bicara membuangnya begitu saja. "Val, ingat. Uangku harus diganti. Terserah mau pakai uangmu atau uang punya sekolah."
"Pulang denganku saja, La." Valdy akhirnya berkata saat Angela menyampirkan tas olahraganya ke bahu. Angela menelengkan kepala dan menjatuhkan rambut panjangnya yang tergerai ke bahu lainnya.
"Nggak usah." Angela berlalu dengan angkuh dan melenggang dari hadapan Valdy. "Aku nggak mau merepotkanmu. Aku bisa naik bis."
Valdy tak bisa membayangkan gadis itu naik bis dengan pakaian semacam itu tanpa mengundang perhatian. Sambil mengikuti Angela, ia memancangkan matanya pada tubuhnya yang menggoda dari belakang. Sial, pikirnya, kenapa pikiran ini tak mau pergi juga. Sejak kapan ia mulai memandang Angela dari sudut yang berbeda? Dari sudut mesumnya saja? Padahal ia sama sekali tak menyimpan perasaan pada gadis tukang ngomel itu!
Valdy lalu meraih tangan Angela, menariknya ke arah parkiran mobil. Ia mengabaikan protesnya dan terus berjalan.
"Vaaalll… Lepas!"
"Jangan naik bis, La. Aku antar pulang."
"Gimana sih? Nggak konsisten banget!"
"Jangan protes!"
"Awas kamu mengeluh lagi soal mobil kesayanganmu!"
"Itu urusan nanti! Masuk."
"Di belakang!" protes Angela saat Valdy membukakan pintu penumpang di depan. Valdy menyerah dan menutupnya kembali. Ia lalu berdiri di hadapan Angela. Kedua tangannya memerangkap tubuh gadis itu yang bersandar di pintu belakang mobil. Jarak mereka sangat dekat dan mau tak mau membuat Angela gugup saat mengawasi wajah menawan Valdy yang begitu dekat dengan wajahnya.
"Suatu saat, La." Valdy berkata pelan. "Kamu harus menurut dan mau duduk di depan."
"Ini hanya soal…"
"Ini bukan perkara kursi penumpang, lebih dari itu, kalau kamu mau tahu."
Angela tak bisa menjawab ucapannya, tak memahami maksudnya. Ia balas menatap Valdy yang masih menatapnya tajam, merasakan kehangatan yang menguar dari tubuh lelaki itu yang nyaris menempel dengan tubuhnya.
"Ayo, kita pulang."
***