"Terima kasih lho, Nak Valdy, sudah mau repot menjaga Angela setiap hari." Budi berkata, memandang putrinya dan Valdy berganti-ganti. Senyum merekah di wajahnya yang dihiasi kumis tipis dan kacamata. "Om jadi lebih tenang meninggalkan Angela di rumah sendirian."
"Iya, benar." Tantri ikut menimbrung dalam percakapan. "Angela baik sama Nak Valdy kan? Dia kadang-kadang galak soalnya, walaupun aslinya pemalu."
Valdy tersenyum. Kadang-kadang, pikirnya geli sekaligus dongkol. Seingatnya, tunangannya itu selalu bertampang galak tiap bersamanya, tak peduli seberapa tampan sosoknya di mata semua wanita.
"Mama!"
"Baik kok, Tante." Valdy melirik Angela, ingin sekali mencubiti pipinya saking dongkolnya.
"Apa teman-teman kalian di sekolah tak bertanya-tanya soal hubungan kalian?" tanya Budi penasaran.
"Bertanya gimana, Pa?" tanya Angela cepat.
"Soal pertunangan kalian. Kalian guru dan murid kan? Apa tidak ada gosip atau semacamnya?" Budi menjelaskan, membuat Angela dan Valdy tersentak.
"Ehh… Kita…" Angela mulai gelagapan.
"Kita merahasiakannya, Om." Valdy mengambil alih situasi sebelum Angela mengacaukannya karena kegugupannya. "Saya tak mau Angela jadi korban gosip nantinya karena hubungan kami. Jadi, kami berdua memutuskan tak menyebut-nyebut tentang hubungan kami ke siapapun. Sama sekali tak ada yang tahu."
"Iya, Pa." Angela melanjutkan. "Hanya di sekolah, interaksi kita kayak guru dan murid biasa. Di luar sekolah beda lagi."
Angela melempar senyum manis memikat pada Valdy. Sepasang matanya yang kecil menyipit hingga menjadi garis. Senyum yang aneh, pikir Valdy sedikit bergidik, tapi menarik juga untuk dilihat ketimbang tampang galaknya.
"Oh, ya. Bagus juga seperti itu." Budi bertukar pandang dengan Tantri dengan serius.
"Mama nggak pernah kepikiran soal itu." Tantri menambahkan. "Tapi bagus juga keputusan kalian berdua."
"Sesulit apa menjaga rahasia dari teman-temanmu, Angela?" tanya Budi lagi.
"Nggak begitu susah sih, Pa." Angela menjawab dengan tak sabar. "Kenapa nanya-nanya soal ini, Pa? Kita baik-baik aja kok." Angela tersenyum manis lagi pada Valdy. "Ya kan, Val?"
"Iya, La."
Valdy tersenyum singkat, lalu meraih tangan Angela, menggenggamnya. Tangan mungil itu tersentak sesaat, lalu balas menggenggamnya dengan kencang. Valdy mengertakkan gigi. Bocah troublemaker banget lo, pikirnya sambil tersenyum lagi pada Angela.
"Lihat, Pa. Manis banget kan mereka?" Tantri menatap mereka dengan pipi merona dan cepat-cepat meraih ponselnya dari atas meja. "Mama foto sebentar. Senyum dong, Sayang." Ia lalu memicingkan mata dan beberapa kali mengambil gambar mereka. "Eh, coba lihat foto-foto kalian selama kencan tadi."
Angela ternganga, sementara Valdy membelalak.
"Foto apa?" tanya Angela.
"Masa sepanjang kalian kencan nggak selfie sama sekali?" Tantri berdecak. "Remaja jaman sekarang kan sedikit-sedikit selfie. Kamu juga suka banget selfie, Angela."
Angela saling pandang dengan Valdy, panik.
"Kayaknya di ponselmu deh, Val!" tukas Angela. "Ponselku mati. Baterainya habis."
Valdy menyeringai padanya, takjub melihat kelicikannya melempar masalah. Pasti ada foto bersama Roni yang berjubel di galerinya, makanya ia tak mau menunjukkan sama sekali ponselnya. Valdy memutar otak sambil mengeluarkan ponselnya, lalu menyalakan layarnya, sementara Angela di sebelahnya mengawasi tanpa berkedip, makin panik.
"Yah!" Valdy tiba-tiba berseru. "Kenapa hilang ya?" Ia menggaruk kepalanya dengan bingung, membuat Angela mengerjap melihat tingkahnya. "Sebentar." Valdy menyibukkan diri dengan memencet-mencet layarnya. "Maaf, La. Foto yang tadi nggak ada. Memori ponselku kepenuhan, nggak tersimpan jadinya."
Angela mengerang kecewa dan menghentakkan kaki menanggapi ucapannya.
"Gimana sih? Padahal poseku unyu-unyu yang tadi ituuu… Latarnya juga bagus banget. Gimana sih?" Angela menyemburkan protes dengan nada kesal yang sangat meyakinkan.
"Nanti kita ulangi selfie ya. Ini bukan terakhir kalinya kita kencan, Angela. Masih ada kencan berikutnya." Valdy menepuk punggung tangan Angela, lagi-lagi menggenggamnya. Ia lalu berpaling pada Tantri. "Maaf, Tante. Kita belum bisa memperlihatkan fotonya. Lain kali saja."
"Memangnya selama ini nggak pernah foto bareng? Kalian berangkat ke sekolah berengan kan?" Tantri masih mengejar dengan gigih.
"Maaa… Nggak kepikiran deh selfie pagi-pagi. Kayak nggak tahu aja paginya Angela kayak gimana rusuhnya." Angela menghela napas. "Kapan-kapan kalo Angela dan Valdy kencan, Angela kirimin fotonya deh biar percaya."
Angela merasa lega saat mengawasi kedua orangtuanya yang mengangguk-angguk mendengar ucapannya.
"Senin ada ulangan, Sayang?" tanya Tantri tiba-tiba.
"Enggak. Kenapa?"
"Besok jalan aja berdua. Tante Mirna tadi mengajak Mama datang ke butik Donnata, mengambil gaun yang sudah dipesan buat kamu, Sayang."
"Gaun apa? Untuk apa?" tanya Angela panik lagi.
"Buat besok kalian kencan." Tantri berpaling pada Valdy yang membeku di tempat duduknya. "Kami dan juga orangtuamu, Nak Valdy, sepakat jika kalian tiap kali kencan harus melapor dulu ke kami."
"Untuk?" tanya Angela. Valdy mengeratkan genggaman tangannya, mencegahnya histeris dan mengacaukan semuanya.
"Evaluasi. Sejauh mana keakraban kalian berdua. Ini penting."
"Tapi, Tante, menurut saya pribadi, kencan yang diatur itu malah kurang bagus. Feel-nya nanti kurang dapat. Siapa tahu kami tengah sibuk dengan urusan lain, yang menyita perhatian dan konsentrasi. Memaksakan kencan malah membuat mood jadi berantakan." Valdy berupaya mencari alasan. Angela di sebelahnya mengangguk mantap, menyetujui setiap ucapannya.
"Bener, Ma. Apalagi sebentar lagi ultah sekolah. Kita berdua bakal sibuk banget dengan kompetisi dan perayaannya. Kayaknya agak susah mengatur waktu nanti."
"Nanti saya yang bicara dengan Mama soal ini, Tante. Kasihannya di Angela, kalau saya sih nggak apa-apa. Angela harus lebih banyak belajar untuk persiapan ujiannya nanti dan SNMPTN tahun depan."
"Valdy juga sekarang lagi sibuk banget dengan pelatihan atlet basket di sekolah. Pulang malam tiap hari. Belum lagi dia harus ngurusin resto yang jadi tanggung jawabnya. Kasihan lho, Ma. Valdy tiap hari kecapekan."
Angela dan Valdy bertukar senyum saling memahami, membuat dua orang tua di hadapan mereka menatap mereka penuh haru lagi, jelas terkelabui dengan chemistry mereka yang hanya berupa tipuan.
"Jika memang begitu, mungkin kami bisa membicarakannya kembali dengan orang tuamu, Nak Valdy." Budi akhirnya angkat suara. "Siapa tahu nanti ada solusi lain."
"Pa, Angela dan Valdy baik-baik saja. Solusi untuk apa lagi?" tanya Angela heran.
"Untuk mendekatkan kalian, lebih dekat lagi, sejauh yang bisa dilakukan tanpa melanggar aturan agama, Nak."
"Tapi kita masih punya tenggang waktu sepuluh tahun…"
"Sayang," Tantri menatap Angela dengan senyum lembutnya, "Jika bisa lebih cepat, mengapa harus menunda lebih lama lagi?"
Angela dan Valdy hanya bisa melongo.
***
[Pencapaian minggu ini :
1. Jadi trending topic di sekolah (and I HATE IT!)
2. Bisa membersihkan toilet sebusuk lubang neraka dengan efektif dan efisien
3. sukses melewati Detensi jahanam dengan lebih sukses dibanding sebelumnya
4. Tetap romantis dengan Roni
5. Berhasil backstreet dengan diam-diam sejauh ini
6. Bisa melalui minggu ini dengan selamat, at least masih bernapas sampai detik ini (with 100% insecure mode ON)]
Angela menutup keras jurnal orchid-nya, lalu menelungkupkan kepala di atasnya. Kepalanya terasa penuh. Kenapa semua keruwetan ini datangnya berbarengan? Ia meringis dengan suara teredam. Dan kenapa orang tuanya dan orang tua Valdy seribet itu memutuskan agar mereka menikah cepat-cepat? Mengidamkan cucu?
"Duhh… Kenapa nggak Adrian aja sih yang disuruh nikah duluan?" Angela memekik gusar. "Kenapa gue sih yang harus dipilih dijodohkan dengan Vivaldy yang berhati batu itu? Kayak kekurangan stok cewek aja tuh tante Mirna!"
Angela mengangkat wajahnya usai mengucapkannya. Ya! Kenapa dia yang harus dipilih? Apa karena ortu mereka bersahabat dan puluhan tahun saling mengenal dengan baik? Seperti alasan yang dikemukakan di pertemuan keluarga mereka. Ia malas bertanya lebih detil, karena takut nantinya dikira menaruh minat terlalu jauh pada sosok Valdy yang memang tampan memesona. Apa mereka mengira Angela akan mampu membantunya berjalan di jalan kebenaran? Dari kata-kata orang tua Valdy soal masa lalu lelaki itu, sepertinya ia dulunya sosok berandalan dan sumber sakit kepala Mirna dan Jagad.
Angela menyandarkan punggung di sandaran kursinya, mengetuk-ngetuk meja belajarnya dengan jari-jari tangannya. Jika memang Valdy tipe badboy dengan kelakuan liar, walaupun hanya di masa lalu, kenapa orang tua Angela dengan mudahnya memercayakan putri mereka pada seorang Valdy yang bisa saja berubah jadi serigala sewaktu-waktu?
Angela membuka jurnalnya kembali dan dengan cepat menuliskan langkah yang akan diambilnya secepatnya.
[Plans :
1. Ask Adrian EVERY SINGLE THING about Vivaldy!
2. Rencanakan langkah membatalkan pernikahan dengan Vivaldy, gunakan solusi terekstrim jika dirasa perlu!
3. Jika semua solusi tak berdampak apapun, rayu Karina untuk menggaet Vivaldy dan sekalian menentang tante Mirna yang otoriter!
4. Kabur dari Jenggala!]
Angela menghembuskan napas lega setelah menuliskan draft awal rencananya. Ponsel di sebelah jurnal bergetar, menampilkan pesan dari Valdy.
Valdy : Besok, jam 4 sore.
Angela : Val, rasanya kepura-puraan kita nggak akan menolong kita. Swear!
Valdy : Besok bicarakan lagi.
Angela : Ini mulai melelahkan buatku. Kalo kamu?
Valdy : Menurutmu hidupku selama ini baik-baik saja, La?
Angela tertegun membaca balasannya. Selama beberapa saat ia mencoba menafsirkan maksud kalimat Valdy. Memangnya dia nggak baik-baik saja? Angela mengernyit. Dia punya segalanya, kekayaan yang melimpah, masa depan cerah, wajah dan tubuh yang digilai semua wanita. Dia kurang apa lagi?
Valdy : Jangan mulai bertingkah. Kita perlu bekerja sama.
Valdy : Good Night, and see you again, Angela.
Angela : I'm sorry, for everything, Val.
Angela : Good night.
"Ya Tuhan, Semesta, jalan ini aneh untukku." Angela menghela napas dalam, menghembuskannya perlahan. "Kemana jalan ini akan berujung?"
***