Chereads / 365 Days Angela / Chapter 22 - Untuk Pertama Kalinya

Chapter 22 - Untuk Pertama Kalinya

Angela menelepon Bik Ami saat ia telah sampai rumah. Roni hanya mengantar sampai di depan gerbang, walaupun sebelumnya mengatakan akan menemani Angela sampai sore. Ia menerima telepon dari adiknya yang meminta dijemput dari tempat les, dan pergi dengan dongkol. Angela mengawasi mobilnya hingga lenyap di tikungan, lalu masuk sambil menelepon.

Bik Ami membuatkannya makan malam, sekaligus berbelanja bahan makanan untuk stok beberapa hari sesuai permintaan Angela. Wanita itu mengomel pelan, mencemaskan Angela yang sakit, dan memaksa menemaninya. Namun Angela menolak, tak ingin Bik Ami meninggalkan dua anaknya yang masih balita hanya untuk menemaninya.

"Kalau ada apa-apa telepon saya ya, Non Ela." Bik Ami membawakannya bubur ke ruang keluarga di lantai 1, dimana Angela berbaring sambil menonton film di TV kabel. "Nanti gerbangnya sekalian saya gembok ya. Anjingnya juga sudah saya kasih makan sama air."

"Makasih banyak, Bik."

"Cepet sembuh ya, Non." Bik Ami memakai sweater dan mengambil kunci motor. "Bibik pulang dulu. Ingat, telepon Bibik kalo ada apa-apa, Non."

"Iya, iya. Makasih, Bik." Angela duduk dan bersiap makan.

"Besok Bibik perlu datang lagi?"

"Nggak usah deh, Bik. Minggu aja." Angela mengaduk buburnya yang masih mengepul. "Ingat gembok gerbangnya, Bik."

Bik Ami mengiyakan, lalu pergi. Angela mendengarkan dengan seksama suara-suara kepergiannya, lalu suara ceklik dari gembok besar di gerbang, dan suara motor Bik Ami yang menjauh. Perasaannya berubah sedikit lega, walaupun rasa kecewa masih menggayutinya karena Roni tak jadi menemaninya.

Baru saja pikiran itu melintas, ponselnya bergetar. Panggilan video call dari Roni. Angela berubah tak karuan, merapikan rambut dan pakaian sebisanya, lalu mengamati wajahnya melalui kamera depan ponselnya. Dengan satu hembusan napas panjang ia lalu menerima panggilan. Wajah tampan Roni dengan mata cokelat kelam dan rambut ikal kecokelatannya muncul, membuat jantung Angela seperti berhenti berdetak.

"Ehm… Hai."

"Angela." Suara berat Roni membuat Angela makin gugup. "Kangen, La."

Angela ingin salto di tempat mendengar kata-katanya.

"Gue juga."

Demi Semesta dan segala isinya, senyum Roni benar-benar membuatnya melayang. Angela sudah melupakan buburnya sama sekali. Kata-kata Roni berikutnya membuatnya makin melayang ke surga.

"Belum pernah gue sayang ke cewek, seperti sayang ke elo, La. Bodohnya, kenapa nggak dari dulu aja gue bilang ini?"

Angela tak mampu menjawab sama sekali, kaget dan bergairah yang bercampur jadi satu dengan pusing di kepalanya membuatnya tak bisa berpikir jernih.

"Besok gue datang kesana. Boleh?"

"Boleh, Ron. Gue tunggu." Angela hampir kehabisan napas saat mengucapkannya.

"Jangan diputus dulu, gue masih ingin memandang lo."

"Apaan sih, Ron?" Angela tersipu dan menepis rambut dari wajahnya, balas menatap mata Roni, menelusuri wajahnya yang digilai banyak kaum hawa di sekolah, senyumnya yang memikat dan membuatnya tak mampu berkedip.

Jadi begini rasanya jatuh cinta dalam sekejap? Memabukkan. Tak sama dengan jatuh cinta pada Andrei yang datangnya perlahan, cinta karena terbiasa. Lalu saat cinta itu terampas oleh orang lain, Angela kehilangan arah. Sakitnya masih terasa, namun sudah banyak memudar seiring hatinya yang mulai berpaling pada sosok Roni yang dalam beberapa hal jauh lebih sempurna dibanding Andrei.

Angela tersenyum padanya. Jika Valdy sudah bersama Karina, dan dia bersama Roni, masih adakah harapan pertunangan mereka akan dibatalkan?

***

Roni datang sesuai janjinya. Sedari pagi Angela sudah panik sendiri, bingung harus berpenampilan bagaimana di depan lelaki itu. Demamnya sudah sedikit membaik, namun pusing dan mualnya masih terasa. Ia tak bersih-bersih lagi, berkat Bik Ami yang datang kemarin dan berbenah hingga malam. Setelah sarapan bubur dan sup ayam, Angela lalu menghabiskan waktu memilih pakaian yang menurutnya cocok untuk dikenakan nanti.

Ya ampun! Ini kan cuma Roni, yang sudah biasa melihat tampang buluknya di sekolah sejak kelas 10! Angela menghempaskan diri di ranjang, berbaring menelentang sambil memandang langit-langit kamarnya yang dihiasi untaian lampu hias. Setelah berpikir beberapa saat, ia bangkit dan memilih memakai gaun terusan ungu muda, lalu melapisinya dengan kardigan. Kepalanya yang masih belum stabil memaksanya menggerai rambutnya. Saat Roni datang dan melihat penampilannya, Angela merasa ia telah memilih pakaian yang tepat.

"Eh, jangan disini. Di teras belakang saja." Angela melirik cepat ke arah CCTV di teras depan, lalu ruang keluarga. CCTV di teras belakang sudah lama rusak dan papanya tak pernah ingat untuk memperbaikinya.

Teras belakang tak seluas teras depan. Sebuah kursi kayu panjang yang berlapis bantalan empuk berdiri di dekat pintu penghubung dengan dapur. Halaman belakang berumput, sepanjang sisi tembok yang tinggi dipenuhi tanaman dapur hidup, dan deretan pohon kamboja aneka warna. Di satu sudut halaman terdapat kolam ikan dengan air terjun mini. Angela membawakan Roni minuman dan camilan, meletakkannya di meja, lalu duduk di sebelahnya.

"Buat lo." Roni mengangsurkan tas kertas yang dibawanya. Angela menerimanya dengan ragu dan membukanya.

"Kok lo tahu kesukaan gue?" Angela terkikik melihat kue yang dibawa Roni untuknya. Sekotak cupcake red velvet dengan hiasan bunga-bunga dari fondant. Cantik sekali.

"Nggak inget dulu kita rebutan cupcake waktu ultahnya Elena di sekolah?" Roni bertanya.

"Dan cupcakenya malah jatuh." Angela menuntaskan ucapannya, memegang kotak berisi 3 buah cupcake itu di depan dadanya. "Thanks, Ron. Manis banget."

Roni tersenyum dan memalingkan wajah, lalu berdeham. Angela tahu ia salah tingkah.

"Ingat nanti dimakan, bukannya dilihatin melulu, terus mengkhayalkan yang enggak-enggak." Roni mengingatkan. Angela menampar lengannya, tersipu.

"Sayang banget kalo dimakan." Angela berdecak saat Roni membelalak. "Hadiah pertama dari lo." Angela berubah gugup melihat sorot tajam di mata cokelat kelam Roni, dan diletakkannya kotak di tangannya sebelum jatuh ke lantai karena kecerobohannya. "Ehm… Diminum dulu, Ron."

"Angela." Roni meraih tangan Angela, menggenggamnya dalam kedua tangannya. "Mulai sekarang, jangan pakai kata 'gue-elo'. Setuju?"

"Em… Oh… Kenapa begitu, Ron?" tanya Angela gelagapan. Tangan Roni terasa sangat hangat dan nyaman di tangan Angela yang dingin.

"Karena aku ingin serius sama kamu mulai sekarang." Angela tercekat mendengar ucapannya. "Aku sayang kamu. Aku ingin kamu jadi pacarku."

Angela ingin meleleh seketika, sekaligus memeluk sosok di hadapannya erat-erat.

"Roni," Angela berubah sesak napas, panik dan gugup. "Ron, kamu yakin? Nggak salah pilih nanti? Maksudku, ehm… Ada banyak cewek cantik dan sempurna di luar sana dibanding aku."

"Kamu, cantik, sempurna, dan aku sudah lama sayang sama kamu."

Angela ternganga.

"Lama? Lalu kenapa baru sekarang…"

"Nggak mudah mendekatimu, La. Kamu selama ini selalu ada di bawah bayang-bayang orang lain, yang jadi bentengmu. Melihatmu melepaskan diri dari Andrei dan Karina benar-benar membuat aku lega. Jadi, baru sekarang kamu sadar bahwa aku sayang kamu? Kamu nggak begitu peka untuk hal-hal seperti ini sejak dulu, La. Padahal, aku sudah cukup terang-terangan mendekatimu selama ini."

"Ya." Angela berbisik dan menunduk.

"Dan jawabanmu?"

Angela menatap sepasang mata cokelat kelam yang menghanyutkan itu, perlahan menganggukkan kepala.

"Aku mau…"

Ya Tuhan, Ya Semesta, TENTU SAJA ANGELA MAU!

Roni tersenyum lebar dengan wajah memerah, lalu ia merengkuh tubuh Angela ke dalam pelukannya, mengecup pipinya berulang-ulang. Angela merasakan tubuhnya berubah ringan, dengan jantung berdebar keras kepayahan akibat emosinya yang meluap-luap. Kedua tangannya mencengkeram kaos Roni, lalu ia memalingkan wajah untuk menatap mata Roni. Tatapan mereka bertaut, sangat dekat. Tanpa diduganya bibir Roni telah menempel lembut di bibirnya, dalam sekejap seolah mengirimkan sengatan ribuan volt ke sekujur tubuhnya, membuatnya lemas seketika. Ciuman pertamanya.

Saat Roni melepasnya beberapa detik kemudian, Angela secara refleks menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Malu luar biasa.

"La, kenapa?" tanya Roni cemas. "Apa aku keterlaluan? Maaf, La."

Angela menggeleng, lalu perlahan menurunkan tangannya sehingga hanya sepasang matanya saja yang tampak di atas ujung-ujung jarinya yang lentik.

"Ronnnn… Aku malu!" Ia menutup lagi wajahnya saat Roni tersenyum padanya. "Aku pasti payah banget ya? Aku belum pernah… Eh, ini baru pertama kalinya." Suaranya teredam oleh tangannya. Dirasakannya tangan Roni mengusap rambutnya.

"Nggak apa, La. Aku sama kok kayak kamu."

"Eh?" Angela melepas tangannya dari wajahnya. "Aku pacar pertamamu?" tanyanya tak percaya.

"Memangnya aku kelihatan kayak playboy?" Roni balas bertanya.

"Yah… Enggak. Tapi kamu kan populer, disukai banyak cewek. Kalo mau, kamu bisa pilih pacaran sama siapa, nggak perlu capek-capek pedekate." Angela mengusap wajah Roni, menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di keningnya.

"Aku nggak suka yang gampangan, sukanya yang seperti kamu, susah didapetin. Trus nggak jaim di depanku." Roni memencet hidung Angela dengan gemas. "Demammu belum turun ya? Masih merah begini wajahmu, La."

"Ini bukan demam! Tapi gara-gara kamu!"

Roni tertawa mendengar jawaban Angela.

"Jalan yuk. Kencan pertama kita. Mau?"

Angela ingin menjerit saking senangnya, tapi ditahannya kuat-kuat. Ia melingkarkan tangan di lengan Roni dan menyandarkan dagu di bahu lelaki itu.

"Kenapa?" tanya Roni, menempelkan dahinya ke dahi Angela.

"Sudah lama ingin begini sama kamu, tapi malu, di kelas rame."

"Nanti nggak usah malu lagi. Cuek aja."

"Fans-mu bakal ngamuk ke aku, seperti kemarin itu. Apalagi kalau mereka tahu kita jadian."

"Nggak usah takut, kan ada aku, Angela." Napas Roni berubah memburu.

"Ya…" Angela lalu memejamkan mata saat Roni kembali mengecupnya singkat.

"Yuk, jalan. Biar pulangnya nggak kesorean." Roni kembali berkata. Angela mengangguk dan melepas pegangannya di lengan Roni.

"Aku ganti baju dulu."

"Hmm…" Roni mengamati penampilannya. "Untuk apa? Udah cantik kok, La."

"Nooo… Not with my bare face, Ron."

Roni berdecak.

"Nggak usah menor-menor, nanti dikira tante-tante, La." Roni menangkap tangan Angela yang hendak menoyor kepalanya dan tertawa. "Terserah deh! Jangan kelamaan."

"Iya iya."

***