Chereads / SILVER TIME / Chapter 6 - Cerita Cinta

Chapter 6 - Cerita Cinta

Apa aku harus mengatakan yang sesungguhnya?

"Aku ...."

....

Tiba-tiba, "Ayo masuk!"

Dosen kami pak Lukman tiba di belakangku dan melihat kami semua, sebelum aku melanjutkan omonganku ... beliau mengajak kami masuk.

"Iya, pak." Kami serentak menjawabnya dan mengikuti pak Lukman masuk ke ruang kelas B2.

Aku melanjutkan omonganku tadi, "Hehe, dia minta tolong sesuatu aja kok." Celetukku dengan santai sambil masuk ruang kelas. Semoga jawaban itu memuaskan mereka.

"Oh!" ternyata begitu saja responsnya, syukurlah mereka tidak curiga.

Pak Lumkan mengajar logika dan himpunan, dia adalah dosen yang masih baru di sini. Dia berkacamata dan cukup tampan ... mbak Alisa pernah bilang kalau dia suka cara mengajar bapak ini, selain santai dan ramah ... membuat hatinya terpanah. Kalau dibandingkan 11 12 lah sama Raka.

Umur pak Lukman masih 27 tahun, jadi beliau masih satu tahun lebih tua dari Sarah (mbak Sarah).

*Tapi, di mana-mana kalau ada cogan itu selalu saja adem pas liatnya, entah kenapa author sendiri heran orang-orang pada doyan cogan, belum liat isi hatinya, sih.*

Dahlah lanjut!!

Yang lebih disukai lagi, pak Lukman jarang memberikan tugas. Beliau selalu memberikan evaluasi setelah pelajaran selesai atau semacam rangkuman. Tidak seperti dosen lain yang setiap pertemuan selalu memberikan tugas.

Pak Lukman baru pertama kalinya mengajar di kelas ini (Prodi Matematika 2015 A).

Saat hendak menutup pelajaran dan seperti biasa selalu bilang, "Apa ada yang ditanyakan?"

Kurasa tidak ada ...

Tapi, dari bangku yang berjarak 5 bangku ke kiri, Raka mengangkat tangannya.

"Pak, minta nomor WA." Dia mengatakannya tanpa keraguan.

Para wanita yang ada di sebelahku bergumam, "Waaaah~"

*Orang ganteng minta WA nya orang ganteng :"V

"Buat apa?" tanya pak Lukman dengan wajah datar.

Raka menjelaskan, "Anu pak, mau saya masukkan grup kelas biar enak nanti saat bapak memberikan informasi, tugas, dan materi di sini. Fungsinya untuk sharing tentang mata kuliah, pak."

"Oh baiklah." Kata pak Lukman yang memberikannya secara pribadi ke Raka.

Pak Lukman juga melihat kesekitar kami, tampaknya dia tahu ada beberapa teman-teman yang ingin saling save kontaknya.

Pak Lukman tersenyum tipis, "Kalau yang ingin save WA saya silakan, ya." Katanya dengan optimis. Beliau tampaknya tahu kalau beberapa orang di kelas ini tertarik padanya.

Raka segera memasukkannya ke grup, "Sudah pak."

Kemudian, pelajaran ditutup begitu saja.

****

Hari ini hanya satu jam perkuliahan, syukurlah bisa pulang lebih awal dan tidak ada tugas lain. Aku yang tidak bekerja dan hanya kuliah cuma satu jam ini bisa dibilang seperti pengangguran saja karena tidak ada hal lain yang aku kerjakan. Aku juga tidak punya usaha atau bisnis yang aku geluti, aku hanya sering membantu ibuku membuat kue di rumah.

Pikirku bisa pulang lebih awal tapi ... "Beb, ikut aku yuk." Ajak Lidya dari belakangku.

"Hah? Ke mana?" tanyaku heran dengan memasang wajah datar.

"Sudahlah ayo ...!" Lidya tampaknya memaksaku.

"...." Aku sih, punya banyak waktu luang. Ke mana pun aku pergi juga bebas, asal aku sudah pamit baik-baik pada ayah dan ibuku.

Aku bersedia, mengikutinya menuju parkiran.

"Loh kamu sekarang bawa motor?" tanyaku heran dan sedikit terkejut, kukira dia masih diantarkan kuliahnya dengan naik mobil.

"Iya, sudah agak lama sih, sekitar seminggu yang lalu." Jawab Lidya sejujurnya sambil mengambil motornya pelan-pelan dari parkiran. Aku membantunya juga, karena dia tampak sedikit kesusahan. Tapi, apa daya aku tidak bisa naik motor.

"Oh." Walau aku dan dia dekat namun aku tidak saling memperhatikannya.

Dia berhasil mengeluarkan sepeda motornya dari parkiran, kemudian menaikinya dan memanasi mesin motornya.

"Ayo naik." Ajaknya dengan senyum lembut.

"Ke mana ya kira-kira?" pikirku yang masih bertanya-tanya pada diriku sendiri. Walau dekat, aku khawatir dia akan mengajakku ke tempat yang tidak baik. Namun, aku tidak boleh berpikir buruk dan tanpa pikir panjang aku menaikinya saja.

....

****

Dia mengajakku ke sebuah kafe.

"Kamu mau pesan apa?" tanyanya sambil membolak-balikkan menu minuman yang ada di atas meja ....

"Ah, eh, um ... apa ya?" Aku bingung .... "Red Velvet aja deh."

Kemudian pesanan kami di buat.

Lidya memesan Hot Cocoa.

Sementara menunggu pesanan kami diantar, kami duduk di sebuah bangku depan no.3

"Anu, ada apa ke sini ya?" tanyaku heran, sementara dia tengah sibuk memainkan jarinya untuk wifian. Bukankah di kampus juga ada wifi gratis dengan speed kencang? Tapi, untuk login ... WiFi untuk mahasiswa harus menggunakan NPM.

NPM: Nomor Pendaftaran Mahasiswa.

....

Oh ya, nama kafenya kali ini *CHERRY RED*

"Hmm ...." Lidya menggumam cukup lama saat ingin menjawab pertanyaanku tadi, maksudnya apa dia mengajakku kemari? Tapi tidak apa-apa sih, kafenya cukup bagus dan manis-manis.

"Gak ada." Jawabnya singkat, tanpa alasan apa pun

"Hah? Aneh!" Aku meresponsnya heran kemudian menatapnya dengan lekat.

....

"Beb, kamu ga biasanya pasang muka aneh seperti itu." Katanya sambil menatap serius padaku.

"Aneh bagaimana maksudnya?" Aku jelas heran, apa ada sesuatu yang tidak enak dipandang di wajahku?

"Sepertinya kamu orangnya polos, kamu menyembunyikan sesuatu tadi kan?" kata Lidya seakan dia ingin mencibirku tadinya.

"Hu.um," terpaksa kujawab dengan tertunduk malu ... "Itu sepertinya hal yang tidak pantas ku beritahukan pada orang lain." Aku menjawab sejujurnya sesuai kata hatiku.

"Beb, jika kamu punya masalah curhatlah padaku. Akan aku coba membantu mengatasi masalahmu." Katanya dengan optimis.

Aku tidak begitu percaya dengan seseorang, bahkan seseorang yang masih belum jauh kukenal dari seluk beluknya. Tapi dengan ekspresinya yang menatapku serius ini, sepertinya dia tidak akan memperolok-olokku.

"Beb?" tanyanya lagi.

"...." Aku masih menatapnya dengan penuh keraguan.

"Kok diam?" tanyanya lagi menunggu aku bicara.

Aku terlalu malu untuk mengatakannya tapi-

Akhirnya aku mengatakannya ... "Tadinya, aku kan datang dengan Febri...."

"Iya, terus?" Lidya menyimaknya dengan seksama.

"Jangan bilang siapa-siapa loh." Sebelum meneruskan ceritaku, aku memperingatkannya.

"Iya aku janji." Jawabnya dengan santai dan tanpa beban. Tapi, janji itu kan harus ditepati.

"...."

Tak lama kemudian pesanan datang saat kami tengah berikrar janji dengan saling mengikatkan kelingking.

"Begini beb, aku sudah datang duluan di kampus, nah mau chat kamu jadi ada Febri menghampiriku. Dia bilang mau minta waktunya sebentar." Aku mengatakannya sesuai kronologinya ....

"Terus kamu dimintai apa?" tanya Lidya heran merespons perkataanku.

"Dia mengajakku ke bawah tangga ...." Lanjutku dengan wajah datar.

"Terus?" Lidya kali ini bersungguh-sungguh menatapku, dia pikir ada apa antara aku dengan Febri di bawah tangga?

"Kemudian dia memberiku ini." Aku mengambil surat yang ada di Febri yang kusimpan di dalam tasku tadi dan memperlihatkannya pada Lidya. Aku belum membacanya hingga selesai.

Tapi, begitu membukanya ... Lidya membaca isi suratnya dengan santai sambil meminum Hot Cocoa layaknya orang yang sudah berpengalaman menerima surat cinta.

[Kebetulan hari itu bulan April, masih musim hujan. Hot Cocoa paling enak di minum ketika suasana dingin]

"Ooooh, jadi dia menembakmu dengan surat ini?" tanyanya dengan nada datar setelah membaca surat cinta itu.

"Iya, beb. Nah aku bingung mau menerima dia apa tidak. Aku kan ga punya pengalaman pacaran." Aku jujur mengatakan ini padanya, dan kupikir aku bisa bersikap terbuka padanya.

"HAAAAH!!? Serius?" kata Lidya melihatku dengan terkejutnya. Tuh kan, semua orang sama saja pasti bereaksi tidak yakin seperti itu begitu mendengarkanku tidak punya pengalaman pacaran.

"Iya." Aku menjawabnya dengan muka sedatar papan (sedater-datarnya).

"Lalu nasib cintanya ini orang bagaimana? Kamu terima?" tanya Lidya mengonfirmasinya.

"Ya, enggak." Jawabku ragu, padahal aku sudah jelas menolaknya.

"Loh ya? Apa enggak?" Lidya bingung dengan jawabanku.

"Enggak aku terima, aku berkata maaf." Aku mengatakan sejujur ini pada Lidya, aku sendiri juga bingung ... selam ini belum pernah dapat surat cinta. Kalau pun ada yang suka padaku ... pasti cowok itu akan merayuku dengan kata-kata semanis mungkin.

"Kenapa? Tapi, pas awal masuk kuliah dulu kamu bilang di opsi kelompok 2 itu, mau cari pacar." Duh! Kenapa malah diterangin sih? Padahal itu hanya asal-asalanku doang, itu hanya coba-coba.

Aku memang ingin punya pacar seperti orang lain yang nantinya bisa menjadi kekasihku satu-satunya. Tapi, aku sendiri belum siap pacaran, aku ini benar-benar aneh.

"Bagaimana ya, habisnya aku takut nyesel aja kalau pacaran. Nanti ujung-ujungnya juga putus di tengah jalan begitu." Aku membuat alasan yang sekiranya pas untuk diterima.

Dengan sikap polosnya, aku tengah memainkan kedua jari telunjukku dengan menyeruput segelas Red Velvet.

"Ya sudah tidak apa-apa, beb. Habisnya cinta itu datangnya dari hati, kalau kamu belum memantapkan dia di hatimu, kamu tidak bisa saling jatuh cinta meskipun dia sudah mencintaimu." Kata-kata Lidya saat itu ada benarnya ....

"Iya, benar juga." Aku meresponsnya dengan singkat.

....

"Tapi, kamu masih memikirkan Febri, beb?" tanya Lidya sembari mengembalikan surat cintanya Febri padaku.

"Iya, dikit." Itu karena aku tidak enak saat menolaknya, terasa seperti menyakiti hatinya.

"Hmm ... siapa tahu nanti kamu bakal suka dia." Kata Lidya yang menghiburku untuk mendinginkan pikiranku yang sedang gundah ini.

"Huusss! Gak mungkin." Jawabku dengan menggelengkan kepala mengelaknya.

Hahaha ....

Kami berdua tertawa kecil dengan kekonyolan ini.

Aku lupa, harusnya aku berterima kasih pada Febri tadi karena dia sudah menyukaiku.

AAAAARRRRGGGHHHH!! Aku belum sempat berterima kasih! Dasar aku!

Semoga saja masih ada besok ... aku akan mengatakan rasa terima kasihku, deh.

Tapi, apa tidak usah dibalas apa-apa, ya? Hmm ... kue mungkin? Supaya hatinya sedikit lega ....

****

Ketika masih ada waktu untuk berbincang-bincang ....

"Beb, kamu dulu dengan tunanganmu bagaimana?" aku menanyakannya karena penasaran, bagiku memperjuangkan hubungan sampai tunangan itu tidak mudah.

"Oh dengan Hiro ya ...." Nama tunangannya Hirota Matsuda.

Lidya mulai bercerita .... "Dulu ibuku ke China untuk kunjungan bisnis. Terus mereka ketemu dengan keluarganya Hiro, bapaknya Hiro sih, Namanya pak Taka. Lalu menjalin hubungan baik dengan bisnis ibuku. Pas Ibuku mampir ke Indonesia, aku tinggal di Semarang waktu itu ..., ibuku mengenalkan aku dengan Hiro."

"Eh, jadi kenal secara kebetulan ya?"

"Ya begitulah. Hiro saat itu tidak lancar bahasa Indonesia, karena dia memang asli Jepang. Lalu aku dan ayahku mengajarinya." Kata Lidya sambil memasang senyum anggunnya saat bercerita. Tampaknya itu adalah cerita yang dibalut suasana menyenangkan.

"Terus kamu kok bisa bertunangan? Kalian apa pacaran terlebih dahulu?" tanyaku semakin penasaran.

"Hm ..., kalau soal itu sih aku sama sekali tidak berpacaran dengan Hiro. Dia SMA nya di Indonesia, sama denganku dan waktu itu ada kejadian."

"Kejadian apa?" aku sempat berpikir aneh-aneh. Apa kejadian itu menjadikan mereka jadi sepasang kekasih sekarang ini?

"Uji nyali." Kata Lidya yang menatapku dengan tatapan dinginnya.

"Eh!" celetukku dengan agak takut.

"Iya, kami di bagi menjadi 2 regu. Aku kebetulan satu regu dengan Hiro di kegiatan pramuka. Ternyata eh ternyata, Hiro itu penakut banget. Kata dia waktu itu 'hantu Indonesia serem-serem' padahal semua hantu itu seram. Nah pas uji nyali di hutan, Hiro ini takut terus dia menangis memelukku dengan erat. Sampai dikira kami berdua kenapa-napa karena belum muncul ke garis akhir. Tapi, kami berdua malah tiduran di hutan, hahahaha."

"Eh menarik juga ya." Pikirku itu malah cerita yang menarik bukan seseram yang kupikirkan pertama kalinya.

"Iya, lalu sejak saat itu Hiro bilang padaku 'aku menyukaimu,' lalu 'aku tidak akan meninggalkanmu, aku ingin bersama denganmu,' wah puitis banget tapi akhirnya dia malah pergi ke Jepang. Sebelum dia pergi dia bilang begini 'aku tidak bisa hidup tanpamu,' sambil meletakkan cincin ini ke jari manisku dan dia bilang 'setelah aku menyelesaikan studi di Jepang dan kembali, kita akan menikah,' akhirnya begitulah."

"Waaaaah cukup indah sekali, jadi yang Hiro bilang sudah pasti ya kalian akan nikah?" aku semakin penasaran.

"Iya, bahkan sekarang kami chattingan pun pakai bahasa Jepang. Makanya waktu itu pas kita pertama kali bertemu mungkin bahasaku terdengar aneh." Dia masih ingat kalau pertama kalinya kami bertemu, dia menggunakan bahasa Indonesia formal. Bahkan dia menunjukkan isi chatnya padaku yang entah aku tidak tahu tulisannya kayak cacing gitu~

"E-eh, enggak kok. Ya, aku pikir kamu bukan orang asli Indonesia karena mukamu mirip orang China, hehehe." Kataku dengan sejujur-jujurnya ... Ya, setelah kuingat lagi ... dia yang waktu itu teleponan di depan gerbang pasti menggunakan bahasa Jepang.

"Ya begitulah." Jawabnya singkat.

Kemudian kami mengakhiri obrolan panjang ini dengan meminum seteguk minuman terakhir.

"Beb, nanti aku antarkan sampai gang ya?" kata Lidya yang bersedia mengantarku pulang meski tidak sampai ke rumah tidak masalah. Karena, nanti dia pulangnya ke pasirian butuh waktu lama ....

"Iya tidak apa-apa. Terima kasih, beb." Kataku sambil tersenyum lega.

"Nah, akhirnya wajahmu kembali seperti biasanya." Kata Lidya yang juga lega setelah aku curhat padanya.

"Eh-!? Memang wajahku tadi seaneh apa hmph?" Aku menatap dia kesal sambil menggelembungkan pipiku.

"Hehehe ...." Dia menyeringai seolah-olah meledekku.

****

Tapi, walaupun aku belum sepenuhnya dekat dengannya, aku menyadari dia adalah orang yang asyik dan baik hati dan perhatian. Aku bersyukur punya teman baik sepertinya ....

Lidya tampaknya juga orang yang peka.

Kami melambaikan tangan sebagai salam perpisahan di gang dan berharap besok bisa bertemu lagi.

....

Baiklah! Besok aku harus menyampaikan terima kasih pada Febri secara langsung (kalau lewat chat tidak enak karena terkesan tidak sopan atau nanti bisa mengganggu pekerjaannya).

Aku berjalan sekitar 100 meter dari gang menuju rumahku.

Sesampainya di rumah ….

Belum aku membuka pintu, tiba-tiba ....

Ada pesan chat masuk yang membuat ponselku bergetar di saku rokku, aku segera membukanya dan berpikir pasti Lidya ....

Ternyata, "Hai," sapaan singkat dari seorang laki-laki di kelasku.

Eh Febri "...." pikirku heran, dan aku tidak pernah menyimpan kontaknya. Mungkin dia dapat nomorku dari grup kelas.

________

Apa aku harus menanggapinya? dan,

Apakah pantas aku mengucapkan rasa terima kasihku di sini?

*To be Continued.