Alona sedang mendengarkan penjelasan Bu Eina. Berbeda dengan Revha yang terlihat bosan. Alona melihat ke belakang, dan terlihat tangan Noval yang sedang mencolek-colek rambut Revha. Noval yang sadar dilihatin, langsung tersenyum. Alona bukannya baper tetapi malah merinding.
Bel pun berbunyi. Bu Eina keluar karena jam pelajarannya sudah habis. Revha tiba-tiba bangun. Alona terheran kenapa Revha berdiri. Revha menghampiri Noval dan menggebuk Noval dengan buku.
"Aduh! Anjir! Sakit!" rintih Noval kesakitan.
"Gue diem bukan berarti gue terima kejahilan lu yak!" Noval tertawa tanpa dosa. "Ketawa lagi lu!"
"Mengganggu orang sampe orangnya marah itu adalah hal yang menyenangkan." Noval mengangkat kakinya ke meja. Revha yang sedang kesal pun mencubit kakinya. "AAAA!" Seketika Noval langsung memegang kakinya.
"Alona kita keluar aja, yuk!" Karena tidak ingin membuat amarah singa semakin membara, jadi Alona hanya ikut tanpa menolak.
Revha jalan dengan terburu-buru, sedangkan Alona hanya jalan dengan santai. "Alona, cepet, kek! Entar keburu nggak ada tempat!" Revha langsung menarik Alona dan lari. "Sampe dikejar anjing juga lu tetap bakal lambat." Alona hanya tersenyum saja, karena Alona akui jalannya lambat. Bahkan, saat lari pun Alona berada paling belakang.
Seperti perkiraan Revha. Kantin sudah penuh dengan manusia. "Aduh, penuh," gerutu Revha.
Alona sedang berpikir di mana tempat yang bisa ia dan Revha duduki untuk makan. "Ah, iya!" Tiba-tiba ide masuk ke otaknya. "Aku nggak pernah makan di kantin, aku biasanya makan di taman."
"Oh, oke, kita makan di taman, aja. Tapi, gue beli makanan dulu, ya." Revha langsung lari untuk membeli makanan. Alona ingin buang air kecil, jadi ia ke kamar kecil. Karena sudah tidak tahan, jadi Alona lari. Bruk!
Alona menabrak seseorang. Karena Alona tidak enak, jadi dia mendongakkan wajahnya untuk meminta maaf atas kesalahannya. Tetapi saat melihat wajah orang yang ia tabrak, seketika Alona merinding dan gemetaran. Orang itu menatap sengit Alona. "Ma-MAAF!" Alona langsung lari menghindari orang itu karena ia juga sedang terburu-buru.
"Sabar, Jeff. Cewe tadi kagak sengaja," ucap Luki menenangkan Jeffry. Orang yang ditabrak Alona adalah Jeffry. Kevin menatap Alona heran. Karena setiap wanita yang tidak sengaja menabrak Jeffry, pasti langsung merona dan baper tidak jelas. Tapi Alona tidak. Ia malah takut dan gemetar. Memang terlihat sekali Alona ketakutan.
"Lumayan langka," gumam Kevin. "Eh, iya, Jeff, lu jadi nggak ke ka-eh, lu napa?" Kevin terkejut melihat ekspresi Jeff yang seperti ingin makan orang. "Lu nggak mungkin marah karena ditabrak, kan? Soalnya banyak cewe yang nabrak lu dan lu b aja. Yah, walaupun lu natap mereka tajam."
Jeffry mengabaikan omongan Kevin yang panjang lebar itu. Ia memilih balik ke kelas dengan wajah yang tidak enak untuk dipandang. "Yah, balik dia," ucap Luki sambil menatap kepergian Jeffry.
"Udahlah, kita berdua, aja." Kevin jalan terlebih dahulu meninggalkan Luki.
"Eh, tunggu." Luki mengejar Kevin dan merangkulnya. "Ayo."
"Singkirkan tangan busuk lu dari pundak gue!" ketus Kevin.
"Berisik lu, bro." Luki mengabaikan perkataan Kevin, ia tetap saja jalan, bahkan, menarik Kevin. Kevin memegang tangan Luki yang ada di pundaknya untuk ia lepas, karena Luki merangkulnya dengan erat sampai mencekik Kevin. Luki hanya tertawa saja, karena ia sengaja ingin menjahili sahabatnya itu.
Mereka berdua jalan ke kantin. Untuk masalah tempat duduk yang penuh, itu bukanlah masalah yang besar. Karena Luki bisa mengusir siswi-siswi dengan ketampanannya.
Luki tiba-tiba berhenti. Kevin yang merasa rangkulan Luki melonggar langsung menyingkirkan tangan Luki dengan menghempaskannya. "Revha!"
Revha yang sedang memainkan ponsel miliknya sambil menunggu Alona pun mendongakkan wajahnya. Betapa terkejutnya Revha melihat wajah pria di depannya. Tanpa menyapa balik, Revha langsung pergi dari sana.
"Eh, lu mau ke mana?" tanya Kevin karena tiba-tiba Luki lari mengejar Revha. "Jeffry pergi, Luki juga pergi. Hadehh, miris amat gue ditinggal sendiri." Akhirnya mau tidak mau, Kevin pergi ke kantin sendiri.
***
"Revha! Tunggu!" Luki menggapai tangan Revha agar berhenti. Revha langsung menatap dengan tatapan benci ke arah Kevin. "Jangan lari." Kevin tidak melepas genggamannya.
"Cih! Ngapain sih, lu di sini?!" Revha benar-benar kesal dengan Luki. Kalau bisa, Revha ingin menenggelamkan Luki ke laut.
"Dengerin dulu! Gue ma-"
"Gue nggak mau dengar apapun!" Revha langsung memotong kalimat Luki sebelum ia selesai berbicara.
Sorot mata kecewa Revha, tidak luput dari mata Luki. Entah kenapa rasanya benar-benar sakit melihat sorot mata Revha. "Kenapa lu nggak mau dengar, sih?!"
"Rasa ingin dengar gue udah sirna, dan tergantikan dengan rasa kecewa. Lu kira gue akan percaya setelah melihat kejadian itu? Hah? GA! Gue muak sama lu!" Revha hendak pergi meninggalkan Luki.
"Kenapa lu pindah?...," lirih Luki.
"Karena rasa kecewa gue besar terhadap lu, sampai rasanya gue benci ngelihat muka lu. Oh iya, gue masuk sini karena gue pikir lu nggak akan masuk HWS, dan ternyata pemikiran gue salah." Revha pergi meninggalkan Luki. Luki berharap agar dia bisa memutar ulang waktu dan tidak pergi menemui wanita itu.
Disisi lain, Revha pergi dengan air mata yang tidak terbendung lagi. Sakit yang pernah ia lupakan telah kembali menusuk hatinya. Penyesalan pun memutari benak Revha. Ia menyesal membiarkan lelaki buaya itu masuk ke hatinya. "Seharusnya gue nggak mengabaikan perkataan mereka," sesal Revha.
"Revha," panggil Alona. Saat Alona sudah selesai, ia pergi ke tempat awal ia menunggu Revha dan ternyata Revha tidak ada di sana. Jadi Alona mencari Revha karena ia khawatir. "Kamu nangis?" Kekhawatiran Alona bukan hanya sekedar firasat, tetapi memang benar terjadi sesuatu dengan Revha.
Revha langsung memeluk Alona erat. Ia benar-benar membutuhkan sebuah sandaran untuk menyalurkan rasa sakit yang ia rasakan. Alona tidak bertanya apa-apa dengan Revha, ia hanya membalas pelukan Revha karena Alona tau, Revha butuh seseorang untuk mendengarkannya. Bukan dari suara, tetapi dari hati
***
Kelas XI IPA 1 sedang melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Semua mendengarkan penjelasan yang diberikan guru dengan baik. Berbeda dengan dua lelaki yang sedang terlarut dengan pikirannya. Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah Jeffry dan Luki.
"Anak-anak, Ibu keluar sebentar, ya, kalian jangan berisik." Bu Fani pun keluar.
"Lu bedua napa, sih?" tanya Kevin heran karena dari masuk sampai sekarang Jeffry dan Luki hanya diam seperti patung. Jeffry memang tidak banyak bicara, tetapi ia tidak pernah sediam sekarang. Apalagi Luki, ia hampir sama dengan Kevin, tidak pernah berhenti mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Tetapi sekarang ia malah kalem, seperti bukan Luki yang biasanya.
"Gue tebak, deh. Jeffry pasti gara-gara wanita barbar berkedok kalem yang nabrak lu. Kalo Luki sih, kayaknya karena cewe yang lu kejar kek sinetron India itu, deh." Jeffry dan Luki sedikit tertohok karena penjelasan Kevin yang seperti cenayang. "Hehehe, kayaknya penjelasan gue agak lurus ke lambung, nusuk di jantung, kena di hati, ya."
"Kevin, lu mending diem, aja, deh. Sebelum tangan gue gatel buat iket tu mulut lu." Luki akhirnya bersuara karena tidak tahan dengan Kevin yang seperti bisa menebak isi otaknya.
"Oh, oke." Kevin langsung diam. "Awas entar orang yang dipikir beneran dateng...," bisik Kevin dekat dengan telinga mereka. Tentu Kevin mendapati tatapan tajam dari kedua sahabatnya, tetapi Kevin hanya nyengir saja.