Seorang pria sedang berlari-lari di lorong sekolah. Ia adalah Giorgio Thomas. Ia bangun kesiangan, jadi Gio lari dari gerbang sekolah sampai kelas dengan kekuatan penuh. Tiba-tiba muncul Alona dari kamar kecil dan mereka bertabrakan.
"Aduh! Anjir! Sape sih?!" Gio langsung menatap wanita yang menabraknya. Padahal dia, lah, yang menabrak. "Oalah! Alona, toh." Gio bangun dan mengulurkan tangannya untuk membantu Alona berdiri.
"Ah, maaf!" Alona membungkukkan dirinya sambil mengucapkan permintaan maaf.
"Elah! Santuy! Gue ngg-AAAAA BENTAR!! NA, KELAS UDAH MASUK BELUM?!" Memang Gio dan Farel tidak beda jauh. Mereka sama-sama berisik.
"Belum. Guru belum datang." Mendengar itu, Gio langsung menghela nafas lega.
"Onggghey." Gio jalan menuju kelas. Alona hanya mengikutinya dari belakang karena Alona merasa malu.
Gio yang sadar Alona membelakanginya langsung menghentikan langkahnya. "Lu napa jalan di belakang gua? Malu?" Kalimat terakhir benar-benar menohok Alona.
Alona tidak menjawab pertanyaan Gio karena malu. Bahkan, kalau bisa, Alona ingin menyembunyikan diri dari Gio. "Oh iya, gue lupa kalo lu itu rada pendiem." Gio merangkul Alona agar berjalan beriringan. Alona membelalakkan matanya melihat rangkulan Gio. "Yosh!" Saking kagetnya, Alona tidak bersuara dan mematung.
Jeffry muncul dengan membawa tumpukan buku dari arah yang berlawanan dengan Alona. Ia melihat Alona dirangkul oleh seorang pria. Alona tidak melihat Jeffry karena ia masih shock dengan rangkulan Gio. Rasa kesal Jeffry semakin kuat, apalagi setelah melihat ini. Ia menganggap Alona wanita yang suka menggoda lelaki. Mereka melewati Jeffry tanpa menoleh. Gio memang mengabaikan Jeffry, walaupun ia melihatnya, Gio tidak peduli.
Sedangkan Alona, ia berkeringat dan tidak bisa berbicara apa-apa. "Kenapa dia merangkul?" "Kenapa dia seperti ini?" "Apa dia mau sesuatu?" "Apa aku mengganggunya?" "Apa kejadian tadi menggangunya?" Seperti itulah pemikiran Alona saat ini.
Gio merasa ada yang tidak beres. Ia melihat ke arah Alona. "Astaga!" Gio kaget melihat ekspresi Alona sekarang. Alona benar-benar terlihat seperti patung. "Lu napa kek gitu?" tanya Gio tanpa dosa.
"I-itu." Alona menunjuk tangan Gio yang merangkulnya. Gio menaikkan alisnya heran. Yah, Gio tidak mengerti dengan maksud Alona.
"Rangkulan lu mengganggu Alona goblok!" Tiba-tiba Dea muncul dari belakang mereka.
"Eh, setan!" kaget Gio.
"Kagetan banget lu," ledek Dea.
"Gimana kagak kaget, njir! Lu tiba-tiba muncul dari belakang kek setan!" Dea hanya tertawa puas saja melihat Gio.
"Ayo, Alona! Kita ke kelas secara bersama." Dea menarik tangan Alona.
"Gayanya secara-secara. Btw, lu dari mana?" tanya Gio pada Dea setelah meledeknya.
"Habis nemenin Wenda ke kantor," ucap Dea pada Gio yang ikut jalan beriringan dengannya.
"Pandu mana?" Gio heran, kenapa harus Dea yang menemani.
"Dia lagi melabur emas," jawab Dea.
"Ha? Di mana?" Gio heran dengan jawaban Dea.
"Kamar mandi." Gio sudah mengerti maksud Dea jadi dia diam.
***
Pelajaran Pak Haris pun dimulai. Semua langsung duduk dengan rapi. "Halo, guys!" sapa Pak Haris.
"Gaul amat Bapak," saut Farel.
"Bapak, kan, mau jadi guru yang bisa menjadi guru sekaligus teman buat kalian." Semua langsung bertepuk tangan mendengar pernyataan Pak Haris.
"Guru seperti ini harus dilestarikan," ucap kagum Noval.
"Kali ini gue sependapat ama lu, Val." Revha menyetujui pendapat Noval. Alona tersenyum melihat mereka.
"Bisa akur juga lu bedua," ucap Sendi, teman sebangku Noval. Revha dan Noval tidak menanggapi omongan Sendi. Revha memilih melihat ke depan lagi.
"Anak-anak, apakah kalian tau Bapak mengajar mapel apa?" tanya Pak Haris memastikan mereka.
"Kimia," jawab satu kelas.
"Good." Pak Haris menunjukkan ibu jarinya.
"Dah, kayak belajar bahasa Inggris, aja," ucap Beni asal.
"Gaul, Bro." Yah, Pak Haris orangnya memang seperti itu.
"Oke, Bro," balas Beni pada respon Pak Haris.
"Nah, karena mapel Bapak kimia, jadi kita nanti bakal berurusan dengan laboratorium, ooonghey?"
"Ooonghey," jawab satu kelas.
Pembelajaran Pak Haris terus berlangsung. Pak Haris membahas materi tentang bab pertama dari mapel kimia. "Oh iya. Bapak mau tau, dong. Dari kalian, siapa yang ada keinginan untuk ikut Organisasi Siswa Intra Sekolah atau OSIS?" tanya Pak Haris pada X IPA 3.
Hampir semua mengangkat tangannya. "Wah, bagus, 75% dari kalian sudah mengangkat tangan. Untuk 25% yang lain, kalau memang kalian tidak mau, yah, jangan, tapi akan lebih bagus bila kalian ikut. Ikut OSIS bukan hanya untuk ada jabatan, tetapi untuk menambah pengalaman dan pengetahuan kalian dalam mengatur dan mengurus organisasi agar bisa berkembang. Jadi kalian tau tanggung jawab yang akan kalian emban bila menjadi sesuatu di hari nanti dan juga kalian jadi tau, bahwa tanggung jawab itu tidak bisa diremehkan." Pak Haris memberikan pandangan kepada mereka yang tidak mengangkat tangan. "Bapak, tidak memaksa, kok. Bapak cuma ingin memberikan pandangan kepada kalian." Mereka mengangguk.
"Karena waktu Bapak sudah habis, Bapak pamit, ya. Bye." Pak Haris melambaikan tangannya pada anak muridnya. Satu kelas pun membalas lambaian tangan Pak Haris.
"Agak gaje, ya," gumam Revha.
Pelajaran Pak Haris pun berganti menjadi jam pelajaran Pak Jojo.
"Halo, anak-anak," sapa Pak Jojo.
"Halo juga, Pak," sapa balik X IPA 3.
"Karena ini pertama kali Bapak masuk ke kelas ini, jadi Bapak akan memperkenalkan diri. Nama Bapak Jonathan, kalian bisa memanggil saya Pak Jojo. Untuk mengenal kalian, Bapak akan mengabsen dan nanti kalian tunjuk tangan dan bilang 'saya', oke." Satu kelas langsung mengangguk.
Pak Jojo pun mengabsen mereka dari absen pertama sampai terakhir untuk mengenal nama dan orangnya.
***
XI IPA 1 sedang melaksanakan jam pelajaran mapel Bu Linda. Guru yang terkenal galak dan ketat dalam mengawasi tugas anak muridnya.
Luki menghela nafas lega. "Kamu kenapa?" tanya Bu Linda yang ingin mengoreksi tugas Luki.
"Saya lega udah mengerjakan tugas dari Ibu," jujur Luki.
"Bagus juga kamu. Mengerjakan di mapel saya, tapi di mapel yang lain tidak." Luki tertohok mendengar perkataan Bu Linda. Luki memang sudah dikenal anak pemalas di kalangan guru. Tetapi guru juga lumayan salut melihatnya, karena ia bisa menduduki peringkat yang tinggi dalam nilai walaupun ia jarang mengerjakan tugas.
Bu Linda tidak terlalu memikirkan bila Luki tidak mengerjakan tugas di mapel lain. Yang terpenting untuknya, Luki bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Berbeda lagi bila ia yang menjadi wali kelasnya. Luki pasti akan menerima api-api yang keluar dari Bu Linda.
"Jeffry, kamu bisa tolong ambilkan tumpukan buku yang sudah Ibu taruh di atas meja Ibu?" pinta Bu Linda.
"Bisa, Bu." Jeffry langsung bangun dari duduknya dan jalan ke kantor untuk mengambil buku yang dimaksud Bu Linda.
Tenang. Bu Linda tidak pernah pilih kasih. Ia menyamaratakan mereka maupun mereka cerdas atau tidak. Bu Linda menyuruh Jeffry karena memang ini waktunya Jeffry. Bu Linda suka menyuruh anak muridnya untuk mengambil sesuatu yang tertinggal di mejanya. Bu Linda akan menyuruh mereka secara bergantian dan urut dari baris paling depan sampai paling belakang.
Jeffry jalan melewati lorong dan berhenti di depan kantor guru. Ia masuk dan langsung menuju meja Bu Linda untuk mengambil tumpukan buku yang ada di atas meja Bu Linda. Setelah itu, Jeffry keluar dari kantor guru. Jeffry jalan dengan santai sambil membawa tumpukan buku. Tanpa sengaja Jeffry melihat Alona dari arah berlawanan. Ia melihat Alona dirangkul oleh seorang pria. Semakin kuat alasan kenapa Jeffry tidak suka dengannya. Sebenarnya Jeffry ingin menarik Alona, tetapi karena ia ingat sedang menanggung tugas dari Bu Linda, jadi Jeffry mengabaikannya, walaupun hatinya tidak.