Selamat pagi and Happy Reading^^
***
"Apa?!"
Mata Yasawirya terbelalak dengan rahang yang hampir jatuh. Sementara ekspresi Arunika tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Hanya saja ... Arunika menutup mulut sebagai rasa keterkejutannya.
"Jangan coba-coba untuk membohongiku," ujar Yasawirya dengan pelan, namun punya makna yang dalam.
Gasendra menghela napas, lalu merogoh saku celananya dan memberikan sebuah tanda pengenal anggota kerajaan.
"Kalau begini, apakah kalian percaya?"
Kedua orang itu melongok melihat liontin tanda pengenal kerajaan yang benar-benar ada di tangan Gasendra. Tidak mungkin liontin kerajaan dipalsukan, jika ada pun ... mereka pasti akan dihukum pancung dan kepalanya digantung di gerbang istana saat mendapatkannya.
Yasawirya dan Arunika melirik sekitarnya. Mereka ingin memberi hormat pada sang pangeran, namun keadaan sekeliling tidak memungkinkan dan lagi, pria di hadapan mereka sepertinya sedang mengerjakan tugas kerajaan.
Arunika menatap Gasendra seraya menganggukkan kepala. Pria yang diberi kode seperti itupun langsung mengerti dan berkata, "Jangan! Tidak usah memberikan salam. Aku sedang ada tugas di sini."
Akhirnya, mereka memutuskan untuk tetap menunduk hormat walaupun tanpa memberi salam penghormatan.
"Sudah, tidak usah lama-lama menunduknya."
Mendengar itu, Yasawirya dan Arunika mengangkat kepala, lalu menatap pria di hadapan mereka.
Yasawirya menyampirkan salah satu lengannya di depan dada. "Maafkan saya karena sudah berbuat lancang, Pangeran."
Gasendra mengangkat tangan kanannya seraya dikibas-kibaskan.
"Tidak apa-apa, wajar kalau kau berperilaku seperti itu," Gasendra melirik Arunika sekilas, "kau punya anak secantik ini, juga ... dia putri satu-satunya Bangsawan Arya."
Netra Gasendra melihat pergerakan mencurigakan yang berasal dari belakang dua anggota Bangsawan Arya. Dia menoleh sebentar pada dua orang di hadapannya.
"Maaf, tapi aku harus pergi sekarang," pamit Gasendra dengan terburu-buru. Dia memberikan kotak perhiasan pada Arunika dengan cepat, "Tolong jaga lagi."
Tangan Yasawirya terulur untuk menghentikan Gasendra yang hendak berjalan cepat. "Saya ingin mengundang anda untuk makan malam di rumah Bangsawan Arya. Bisakah anda datang ke sana?"
"Akan ku usahakan. Maaf, aku pergi dulu, Paman," pamit Gasendra, lalu segera berlari karena tidak ingin kehilangan jejak dari para pemberontak.
Yasawirya tersenyum sekilas. "Ya, semoga tugas anda segera selesai," ucapnya saat Gasendra sudah berlalu.
Kedua orang itu terus memperhatikan pergerakan Gasendra sampai pria itu berbelok dan menghilang dari pengawasan mata mereka.
Arunika menggenggam tangan sang ayah dengan tangan bebasnya, lalu berkata, "Ayah, kita juga harus kembali ke toko."
"Hm?" Yasawirya menoleh menatap Arunika dengan bingung, "toko?"
Arunika mengangguk pelan seraya mengangkat kedua ujung alisnya.
"Iya, toko perhiasan yang kita tinggal."
Pupil mata Yasawirya membesar, menatap kaget pada putrinya.
"Ya, toko kita! Ya Dewa ... bisa-bisanya aku lupa kalau sedang menjaga toko!" pekik Yasawirya, lalu berjalan cepat untuk kembali ke toko mereka.
Arunika langsung mengikuti Yasawirya dari belakang. Dia cukup kesulitan mengejar langkah besar milik Yasawirya.
"Ayah, tunggu aku dong!" ujar Arunika dengan sedikit berteriak.
Yasawirya segera berbalik dengan wajah paniknya dan mengulurkan tangan pada Arunika.
"Ayo, Ayah tarik."
Arunika tersenyum lebar, lalu menerima uluran tangan sang ayah.
Yey, sudah lama sekali dia tidak main tarik-tarikkan dengan sang ayah, semenjak umurnya menyentuh angka empat belas tahun.
"Ini gara-gara pria licik itu!" kesal Yasawirya saat mengingat kenapa dia meninggalkan tokonya.
Arunika menghela napas seraya tersenyum kecil. "Ayah, yang kau bilang pria licik itu adalah seorang pangeran," ujar Arunika mengingatkan, "Dan kau juga mengundang pria licik itu untuk makan malam di rumah kita," sambungnya menyindir sang ayah.
Yasawirya menoleh pada Arunika. "Yah, tetap saja dia pria licik," Matanya melirik kotak perhiasan yang kembali berada di tangan putrinya lagi, "buktinya dia memberikan itu padamu lagi."
Gadis itu melirik tangan kiri yang memegang kotak tersebut, lalu tersenyum.
"Dia hanya menyuruhku untuk menjaganya lagi, Ayah ...."
Yasawirya terkekeh miris sambil geleng-geleng kepala. Dia tidak menyangka ajarannya selama lima tahun ini sangat berhasil membuat sang putri menjadi bodoh soal urusan percintaan dan tipu muslihat seorang lelaki.
***
Pria itu mengeluarkan sebuah kain berwarna hitam dari saku celana dan melilitkannya pada bagian wajah.
Dia berjalan dengan hati-hati dengan mata yang tetap mengawasi dua orang di depannya. Dua orang yang terlihat mencurigakan dengan seragam hitam lengkap dengan sorban dan pedang yang tersampir.
"Mau ke mana mereka?"
Aneh sekali! Kenapa mereka berbelok ke jalan buntu?
Gasendra terus membuntut sampai di mulut jalan buntu, kemudian menyembunyikan tubuh besarnya di balik papan kayu seraya mengintip pergerakan di depan sana.
Salah satu pria melihat keadaan sekeliling, kemudian memberi kode pada temannya bahwa kondisi sekitar sudah aman.
Untungnya mereka tidak mengetahui keberadaan Gasendra yang bersembunyi di balik kayu.
Gasendra menyipitkan mata saat melihat sebuah cahaya biru menghalau pandangannya. Namun, dia masih melihat sedikit peristiwa yang terjadi di depan sana.
"Pintu tersembunyi?"
Perlahan, cahaya biru itu menghilang meninggalkan sebuah dinding kayu yang kosong. Segera saja Gasendra keluar dari tempat persembunyian dan menuju ke sana.
Aliran sihir masih dapat dirasakannya tatkala Gasendra mendekat.
"Pantas saja misi kali ini lama sekali untuk dipecahkan. Ternyata para pemberontak itu sudah ada yang bisa menggunakan sihir," ujar Gasendra meraba dinding kayu tersebut.
Dia terdiam seraya memikirkan apa yang harus dilakukannya saat ini. Apakah dia harus menyusul masuk ke pintu tersembunyi ataukah kembali untuk melaporkan pada divisinya dulu?
Bukan perkara sulit bagi Gasendra untuk menyusul mereka, mengingat dia memiliki mana yang besar dan dapat meniru sihir milik orang lain asalkan ada jejak yang tertinggal. Namun, dia belum memberi tahu divisinya tentang penyelidikan terbaru. Itu akan berbahaya sebab Gasendra belum mengetahui kondisi di balik pintu yang disembunyikan dengan sihir.
Gasendra berjalan mendekati sisa aliran mana yang berada di sana, lalu menyerap sedikit untuk kunci penyelidikan yang selanjutnya. Dia memutuskan untuk melapor lebih dulu pada divisi, baru kemudian dia selidiki lebih lanjut.
Dia tersenyum kecil, setidaknya penyelidikan selama tujuh belas hari ini membuahkan hasil walaupun hanya sedikit.
Pria itu mengeluarkan sihir berwarna putih untuk mengunci pergerakan mana yang tertinggal, sebelum kembali ke markas.
Tidak boleh ada yang mengetahui ataupun meninggalkan jejak kalau dia berhasil masuk ke kandang para pemberontak, selain divisi serta kerajaannya.
***
Gasendra sedikit menunduk saat membuka tenda berwarna putih yang berada tak jauh dari Kuil Suci Urdapalay.
Dia menghampiri salah satu rekannya, Balges, yang sedang meneliti dokumen berisi laporan pemberontakan.
"Balges," panggil Gasendra.
Pria berumur dua puluh enam tahun itu langsung mendongak, lalu berdiri menyampirkan tangan.
"Semoga Para Dewa dan Dewi memberikan keselamatan dan keberkahan pada anda, Pangeran Gasendra."
Gasendra menganggukkan kepala, lalu duduk di depan Balges.
Pria itu pun menghentikan salam penghormatannya, kemudian ikut duduk di kursi.
"Apa apa, Pangeran?"
Tanpa banyak bicara, Gasendra mengeluarkan aliran mana yang diserapnya tadi dari dalam tubuh, kemudian dia arahkan pada Balges.
"Ini aliran mana siapa, Pangeran?" Balges menangkapnya dengan jari telunjuk, sebelum dia simpan di kotak terisolasi.
"Para pemberontak itu. Pantas saja kita membutuhkan waktu lama, ternyata mereka sudah bisa memakai sihir. Ah, apa keanggotaan mereka yang bertambah bisa menggunakan sihir?" jelas Gasendra yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan.
Balges menyerap mana tersebut ke dalam tubuhnya lebih dulu sebelum dipindahkan ke kotak terisolasi. Tidak sopan jika dia meninggalkan seseorang yang sedang mengajaknya bicara, apalagi itu seorang pangeran.
"Menurut laporan yang saya baca, memang ada beberapa anggota tambahan, tapi saya tidak tau kalau di antara mereka ada yang bisa sihir," ujar Balges sedikit terkejut.
"Itu artinya kita kecolongan. Penyelidikan kita lanjutkan nanti, aku ada urusan malam ini." Gasendra berdiri seraya merapihkan pakaiannya.
Melihat sang pangeran yang berdiri, Balges pun mengikutinya.
"Baik, Pangeran."
"Oh, tolong siapkan kuda untukku. Malam ini aku akan pergi ke rumah Bangsawan Arya," ucap Gasendra memberikan perintah.
"Oh?" Balges menaikkan kedua alisnya.
Untuk apa Pangeran Gasendra ke rumah Bangsawan Arya? Mereka kan sudah melapor ke rumah pimpinan Bangsawan Serei. Namun, Balges tak mengindahkan lebih lanjut dan memilih untuk mengikuti perintah tersebut.
"Baik, Pangeran, akan saya persiapkan. Semoga Para Dewa dan Dewi memberikan keberkahan serta keselamatan untuk anda, Pangeran Gasendra," ucap Balges memberikan salam penghormatan ketika Gasendra berjalan keluar dari tenda utama markas dengan senyum kecil yang terpatri.
Sang pangeran tersenyum? tanya Balges dalam hati.
Ah, betapa beruntungnya dia bisa melihat senyum pangeran yang cukup cuek itu.