Hm, baru pertama kali update malem. Maaf ya telat gini ....
***
Dua manusia berbeda jenis kelamin itu berjalan berdampingan dari ruang utama menuju halaman utama. Gasendra hanya diam dalam perjalanannya, dia juga menatap lurus tanpa melirik apalagi menoleh pada pujaan hatinya.
Pria itu sedang memutar otak guna menyusun rencana untuk tiga misi besarnya, memerangi para pemberontak, membuat Arunika jatuh cinta padanya, dan juga perizinan dari Yasawirya.
"Em ... Pangeran?" panggil Arunika dengan hati-hati.
Gasendra melirik sekilas dan menjawab, "Kenapa?"
"Kotak perhiasan anda masih ada pada saya. Apa anda mau mengambilnya sekarang?"
Gasendra menghentikan langkah tepat di bawah lampu gantung.
'Dia benar-benar tidak tau maksudku, ya?' Gasendra melirik Arunika dalam diam.
Sedangkan Arunika yang dilirik dengan ekor mata tentu merasakannya. Dia jadi gugup dan takut kalau salah-salah bicara dengan pria di sampingnya.
"Ah, kalau anda tidak mau mengambilnya, tidak apa-apa, Pangeran. Aku akan menjaganya sampai anda akan mengambil itu," kata Arunika dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Padahal kenyataannya dia sedang gugup setengah mati di tempat.
Sebersit senyum terukir di bibir tebal Gasendra. Dia memposisikan tubuh menghadap gadis yang kini berhadap-hadapan dengannya.
"Kalau begitu jagalah dengan baik," tutur Gasendra dengan senyum tersirat di dalamnya.
Arunika menundukkan kepala dengan hormat saat diberi perintah yang dianggapnya sebagai tugas. "Baik, Pangeran."
Setelah itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju halaman utama.
Selama perjalanan, beberapa kali Arunika melirik pria di sampingnya. Namun, ketika dilirik balik, dia malah mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Akhirnya, Gasendra pun buka suara.
"Ada yang mau kau tanyakan?"
"Ah ...." Arunika segera membungkam rapat mulutnya yang terkejut. Matanya juga berlarian ke sana ke mari menghindari tatapan pangeran yang sangat intens.
"Katakan saja," ucap Gasendra dengan santai. Memangnya apa yang harus ditakutkan dari dirinya? Dia orang yang baik dan lembut kok ....
"Ah, sebenarnya ...." Arunika menggantung penjelasan dan membuat Gasendra menaikkan salah satu alisnya.
'Sebenarnya kau jatuh cinta padaku juga? Kalau begitu, aku akan mendesak ayahmu sekarang juga.'
"Sebenarnya apa?" tanya Gasendra yang penasaran.
"Itu ... em ...." Lagi-lagi Arunika menggantungkan ucapannya, lalu menunduk, "aduh, apa boleh aku bertanya tentang ini?" gumam Arunika.
Gasendra mendengus kecil mendengar gumaman gadis di sampingnya. Dia pun berkata, "Tanyakan saja. Kalau bisa dijawab, akan kujawab."
Arunika langsung mendongak, kemudian menghela napas pelan.
"Sebenarnya saya penasaran soal urusan penting anda dengan ayah. Saya sempat bertanya pada mama, tapi katanya membicarakan saya. Ah, kalau tidak bisa dijawab tidak apa-apa, saya juga ti–"
"Yang Nyonya Arya katakan benar," jawab Gasendra singkat.
Arunika memajukan kepala seraya menekuk-nekuk alisnya karena kaget serta kebingungan.
"Y–ya? Apa saya tidak salah dengar?" tanya Arunika setelah menetralkan ekspresi.
"Tidak, aku memang membicarakanmu dengan Tuan Arya."
Gadis itu hanya manggut-manggut saja dengan mata yang melirik ke bagian kiri.
'Aduh, kenapa jantungku bedebar-debar begini? Sadarlah, Arunika .... Dia adalah seorang pangeran' Arunika melirik Gasendra sekilas, lalu sedikit menunduk lagi. 'Apalagi dia sudah punya istri dan anak ....'
Pupil mata Arunika membola, kemudian dia memukul keras kepalanya sambil bergumam, "Bodoh kau, Arunika." Gumaman itu terus diulang-ulang sampai sang pangeran menyadari hal tersebut, lalu menghentikan pergerakannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Gasendra menahan tangan kanan Arunika yang memukul-mukul kepala.
Sedangkan sang empu membeku di tempat karena kontak langsung yang terjadi padanya.
"Arunika?" Gasendra memicing curiga. Dia jadi khawatir, takut-takut Arunika malah pingsan dengan mata terbuka.
"Arunika?" panggil Gasendra lagi. Sesekali sang pangeran menggoyangkan tubuh gadis di hadapannya.
'Astaga .... Jangan-jangan dia benar-benar pingsan dengan mata terbuka.'
"Arunika!" Suara menggelegar Gasendra terdengar di ruangan tersebut. Sampai-sampai para pelayan dan dayang yang sejak tadi mencoba untuk tak menghiraukan keberadaan mereka juga menoleh kaget.
"Astaga!" Arunika berteriak karena terkejut namanya dipanggil dengan keras. Dia langsung berjongkok dan memegangi jantungnya yang berdegup kencang, bagai dipukul oleh alu milik koki dapurnya. Dia bahkan tak mempedulikan para pelayan dan dayang yang melihatnya dengan pandangan khawatir.
Gasendra yang melihat Arunika berjongkok pun ikut berjongkok dibuatnya.
"Kau tidak apa-apa? Maafkan aku kalau mengagetkanmu," sesal Gasendra.
Arunika menggeleng kecil, lalu menjawab, "Saya tidak apa-apa, Pangeran. Hanya sedikit terkejut dengan panggilan anda tadi."
"Ah, maaf .... Aku sudah mencoba memanggilmu dengan santai, tapi kau tidak menyahut. Aku kira kau pingsan dengan mata terbuka," sahut Gasendra menjelaskan apa yang dipikirkannya tadi.
"Tidak apa-apa, Pangeran. Justru aku yang harusnya minta maaf karena sudah mengabaikan panggilan anda," kata Arunika. Dia menundukkan kepalanya dan berkata, "Mohon maafkan saya, Pangeran."
Gasendra tidak menjawab, tapi dia mengulurkan tangan untuk membantu Arunika yang masih berjongkok agar berdiri.
Arunika yang melihat itu awalnya ragu untuk mengulurkan tangannya juga. Tapi, sang pangeran mengangguk kecil dan membuatnya menjawab uluran tangan Gasendra dan berdiri dengan cepat.
"Tidak apa-apa. Apa kau masih kuat untuk mengantarku? Kalau tidak kuat, lebih baik kembali saja. Aku mulai khawatir padamu, Arunika."
Gasendra menatap wanita di depannya dengan tatapan khawatir karena Arunika masih memegangi tempat di mana jantungnya berada.
"Kau punya jantung yang lemah?" selidik Gasendra.
Arunika langsung menggeleng kuat. "Tidak," sanggahnya dengan mata yang sedikit melebar, "tidak, Pangeran. Saya sangat-sangat sehat kok."
Gasendra masih menatap lamat-lamat pada Arunika. Bola matanya mengamati tubuh Arunika dari atas sampai bawah, lalu dia bertanya lagi.
"Benar tidak apa-apa?"
Arunika menanggapinya dengan anggukan semangat. "Mari saya antar lagi, Pangeran."
'Aduh, jadi tidak enak dengan pangeran. Ah, aku malu ....'
Arunika menggelengkan kepala seraya menutup wajah dengan kedua tangannya. Gasendra yang melihat hal yang dilakukan Arunika, hanya bisa tertawa dalam hati.
Ada apa dengan gadis di sampingnya? Kenapa dia menggeleng-geleng kan kepala seperti itu?
'Lucu sekali ...."
Perjalanan ke halaman utama selanjutnya dihiasi dengan keheningan yang melanda keduanya. Padahal beberapa pelayan yang lewat, memberi salam kepada mereka. Namun, tetap saja yang disapa merasa hening.
Sampailah mereka di halaman utama. Di mana sudah ada kuda putih milik Gasendra yang disiapkan oleh pelayan yang menjaga kudanya tadi.
"Maaf, Pangeran, kalau saya lancang. Tapi, ada satu hal yang ingin saya tanyakan lagi," ujar Arunika menyampaikan niatnya dan mencegah Gasendra yang hendak naik ke atas kuda.
Gasendra melepas tangannya pada tali kekang kuda, lalu menoleh lagi pada Arunika.
"Apa?"
Arunika menjilat bibir tipis nan merah muda dengan salivanya, lalu bertanya, "Kalau boleh tau, kapan anda akan kembali ke sini untuk mengambil perhiasan?"
Gasendra melemaskan lehernya yang ditegakkan, kemudian menatap Arunika sambil tersenyum tipis.
"Setelah aku menyelesaikan misi dari kerajaan," jawab dengan singkat.
"Maksud saya ... kapan waktunya, Pangeran? Arunika memainkan jari jemarinya karena rasa gugup yang melanda.
'Aduh, tahanlah kakiku .... Jangan lemas sekarang.'
"Ya ... setelah aku menyelesaikan misi dari kerajaan. Bahkan aku pun tak tau kapan selesainya, semoga saja lebih cepat," kata Gasendra memandang ke langit dengan menerawang.
Manik cokelat Arunika berlarian ke sana ke mari. Dia menelan salivanya dengan berat. Hah ... menunggu seorang pria tanpa kepastian adalah hal yang sulit dan membosankan bagi Arunika.
"Baiklah. Semoga misi kerajaan anda cepat selesai, Pangeran."
Gasendra mengangguk, lalu berbalik dan memegang tali kekangnya. Namun, dia berbalik lagi pada Arunika dan berjalan beberapa langkah untuk mendekatkan diri pada gadis itu.
Arunika memiringkan kepala dengan maksud menanyakan apa yang akan diperbuat pangeran yang hanya berdiri dua langkah dari hadapannya.
Gasendra meraih tangan lentik milik Arunika, kemudian dikecup pelan punggung tangannya.
"Ah!" pekik Arunika seraya memegangi dada yang bergemuruh kencang dengan tangan kirinya yang bebas. Napasnya memburu dengan cepat karena Gasendra belum kunjung melepaskan kecupan tangannya.
Para pelayan dan dayang melihat kejadian itupun langsung berbalik membelakangi dua insan di sana. Mereka mengulum senyum malu-malu saat melihat dengan sekilas adegan tadi.
'Ya Dewi ... tolong jagalah jantungku ....'
Kecupan itu pun terlepas. Namun, sang pangeran masih enggan melepaskan genggaman tangannya sambil tersenyum sangat-sangat manis.
Gadis itu merasakan matanya yang sayup-sayup sayu dengan kedua kaki yang terasa lemas seperti akan terjatuh.
'Apa sekarang aku akan pingsan?'
"Kalau begitu tunggulah aku sampai kembali dan jangan lupa untuk mendoakanku," pinta Gasendra, lalu berbalik dan melompat naik ke kuda putihnya.
Gasendra menatap Arunika yang berada di bawah sana dengan senyuman terukir untuk terakhir kali sebelum dia pergi. Arunika pun membalas senyum itu dengan sedikit canggung. Dia menunduk dan menyampirkan salah satu tangannya.
"Semoga anda selalu diberi keberkahan dan keselamatan oleh Para Dewa dan Dewi, Pangeran Gasendra."
Gasendra mengangguk dalam tatapan teduhnya, kemudian mengalihkan tatapan lurus ke depan. Dia segera memacu kuda putihnya dengan cepat.
Para pelayan dan dayang yang mendengar pacuan kuda tersebut segera berbalik dan menghela napas panjang karena menghentikan pekerjaan dan berbalik dalam waktu yang cukup lama. Mereka juga memandang kepergian pangeran dengan pandangan penasaran.
Ya, penasaran akan apa yang dilakukan pangeran dan nona muda tadi.
"Hiyak!"
Debu dan pasir halus berterbangan bersamaan dengan kepergian sekilasnya karena takut jika berlama-lama, dia akan merindukan Arunika dan akan melalaikan tugas dari kerajaan.
"Tunggu aku, Arunika," gumam Gasendra yang merunduk di atas kuda putihnya.
Sedangkan Nona Muda Bangsawan Arya itu, menatap kepergian Gasendra dengan rasa yang tak bisa dideskripsikan. Ada sebuah rasa yang mengganjal di hatinya, tapi dia tak tahu apa rasa itu.
Arunika memegangi dada kirinya, tempat di mana jantungnya berada. Dia mengulum senyum saat mengingat kejadian manis tadi.
"Hah ... kenapa dia jadi mirip Bangsawan Caledonia?" tanya Arunika pada diri sendiri saat mengingat adegan tangan kanannya yang dikecup dengan gentleman itu.
Blush
Rona merah muncul di pipi tembam Arunika. Dia segera menutupi wajahnya dengan kain yang tersampir di pundak. Hal yang dilakukannya itu membuat para dayang yang melihat langsung menghampiri karena khawatir.
"Ada apa, Nona?" tanya salah satu dayang dengan tatapan khawatir.
Arunika menarik napas pelan, lalu membuangnya untuk menetralkan ekspresi. Dia masih menutupi wajah merahnya itu dengan kain yang lumayan berbayang, kemudian dia menggeleng.
"Tidak apa-apa, hanya sedikit kedinginan. Aku kembali dulu ke ruang utama," pamit Arunika, lalu melangkahkan kaki jenjangnya menuju ruang yang dimaksud.
———
Jadi inget lirik lagu John Legend written in the stars yang bunyinya "Don't tell me, you don't feel like i feel right now. Oh ... it's written all over you."
Okey, cukup. Sampai bertemu besok!