3P(Pangeran, Prajurit, dan Penyihir)
Happy Reading><
***
Balges masuk ke dalam portal sihir lebih dahulu dan menapakkan kakinya di atas tanah berdebu. Dia menoleh ke belakang untuk melihat Gasendra yang baru saja keluar dari sana.
"Kita yang pertama," kata Gasendra dengan setengah berbisik memberikan kode.
Mereka berdua merangsek masuk ke salah satu pintu yang terbuka. Dibuatnya wajah setenang mungkin dan penguncian sihir agar penyamaran mereka tidak ketahuan.
Saat masuk ke dalam ruangan yang sangat ramai, mereka terdiam di depan pintu untuk sejenak. Suara kendang dan sitar yang berisik, suara para pemberontak yang berdiskusi, racauan pria yang mabuk, dan beberapa wanita yang menggoda para pria di sana, terdengar di telinga mereka.
Ini bukan pertama kalinya mereka datang ke sana. Namun tetap saja mereka merasa aneh dengan tempat ini. Tempat yang lebih terlihat seperti bar malam daripada tempat berdiskusi para pemberontak.
Balges menunjuk meja kosong yang posisinya tak terlalu di pojok, namun terlihat remang-remang karena minimnya pencahayaan.
"Pilihan yang tepat," gumam Gasendra, lalu berjalan bersama Balges menuju meja itu.
Beberapa wanita nakal yang melihat kedatangan mereka pun segera menghampiri, bagai kupu-kupu yang mengitari nektar bunga mekar.
Salah satu wanita langsung duduk di pangkuan Balges dan membuat sang empu terbujur kaku di tempat. Seperti yang sudah diketahui, Balges adalah pria lajang yang tentu saja merasa risih dan beku jika diduduki secara spontan.
"Hei, tolong turun. Saya tidak suka jika anda seperti ini." Balges mendorong pelan pundak wanita itu. Namun sang wanita malah mengeratkan pelukannya pada leher Balges.
"Lalu kau mau posisi seperti apa, Tuan? Dia mendekatkan tubuh bagian atasnya pada wajah Balges, lalu bertanah, "seperti ini?". Seketika Balges langsung memundurkan wajahnya dengan gugup, sedangkan di tempatnya, Gasendra hanya tertawa kecil di balik sorban.
'Kenapa hanya aku yang didekati? Kenapa pangeran tidak?'
Balges berusaha untuk berlaku sopan pada wanita-wanita yang mendekati dan mulai menggerayangi tubuh gagahnya.
"Hei, tolong pergi dengan baik. Saya sedang ada urusan dengan teman." Lagi-lagi Balges mendorong wanita-wanita tersebut. Ada yang didorong di kepala, pundak, dan wajahnya. Balges sangat risih jika tubuhnya digerayangi oleh banyak tangan.
Tidak-tidak! Mau satu atau dua tangan sekali pun, Balges akan tetap risih dibuatnya.
Salah satu wanita menunjuk Gasendra dengan tatapan meremehkan. "Yang kau maksud teman itu, pria jelek di seberangmu?"
"Apa?!" Mata Balges membola mendengar celaan itu.
'Pangeran Gasendra jelek? Dia katarak permanen?'
Balges menatap pria yang duduk dengan santai di depannya. Sedetik kemudian dia langsung terhenyak dengan apa yang diperbuat oleh Gasendra tanpa sadar.
'Ah, pangeran mengelabuhi mereka dengan sihirnya.'
'Hah? Sihir?'
"Pangeran, kita sedang–"
Brak!
Sebuah batang pohon langsung mencuat dari bawah meja Gasendra dan Balges. Sontak wanita-wanita yang menggerayangi Balges langsung berteriak riuh dan pergi menjauh dari sana.
Terdengar suara tawa yang membahana di ruangan tersebut.
"Ketemu kau penyusup!" Batang pohon tersebut terus memanjang ke atas dan mengeluarkan akar-akarnya yang menjalar mengejar Gasendra dan Balges ke mana pun mereka pergi.
Psshh
Gasendra terbang menggunakan sihir untuk menghindari akar-akar pohon yang hendak menggapainya. Sementara Balges mengeluarkan pedang sihir dari saku celana dan mulai menebas akar-akar pohon tersebut.
"Kekekeke, apa yang kalian lakukan? Itu tidak akan berhasil," ujar salah satu penyihir hitam yang berdiri di tengah-tengah ruangan. Tangannya tak henti mengeluarkan mantra-mantra sihir guna mengarahkan akar-akar pohon tersebut untuk menyerang keduanya.
Brak
Batang pohon yang menjulang tinggi itu tiba-tiba berbelok dan mengenai pundak Balges yang lengah karena fokus menebas akar pohonnya saja.
"Wah! Harusnya aku potong saja tanganmu itu," hardik Gasendra yang masih terbang ke sana ke mari untuk menghindari akar-akar pohon tersebut.
Pyaash
Sraatt
"Aaarghh!" jerit penyihir hitam tersebut diiringi dengan akar serta batang pohon yang mulai menghilang. Gasendra segera melompat mendekati Balges yang bertarung dengan satu tangan karena tangan yang satunya lagi mati rasa sebab tersenggol tadi.
"Kau tidak apa-apa?"
Balges menggeleng dengan tangan kanan yang masih memegang pedang sihir untuk berjaga-jaga jika penyihir yang lain menyerang mereka lagi. "Tidak apa-apa, Pangeran. Hanya mati rasa saja, ini bisa disembuhkan."
Cahaya putih keluar dari tangan Gasendra menuju pundak kiri Balges dan seketika mati rasa itupun menghilang. Balges menundukkan kepala berterima kasih pada Gasendra yang telah memberikannya sihir penyembuhan.
"Siapa yang menebas tanganku?!" geram sang penyihir.
Tiba-tiba, dia bersimpuh di tempat sembari memegangi tangan kanannya yang tiba-tiba makin bertambah sakit, seperti terkena racun mematikan. Dia menoleh pada salah satu penyihir hitam yang diyakini Gasendra sebagai penyihir terkuat di sana.
"Tuan, tolong obati aku ...."
Namun, penyihir hitam yang diminta pertolongan itu hanya tersenyum miring sambil menggelengkan kepala.
"Untuk apa aku menolongmu? Melindungi diri sendiri saja tidak bisa, apalagi melindungi seluruh anggota kita."
Manik penyihir itu membola tak percaya dengan apa yang keluar dari mulut pimpinannya.
"T–tu–tuan?"
Gasendra tersenyum penuh arti saat mendengar percakapan mereka. Dia teringat dengan nasehat Jahankara saat dahulu.
'Sebagai seorang pemimpin, kau harus menolong dan melindungi semua anggotamu. Jangan biarkan mereka untuk menanggung rasa sakitnya sendiri.'
"Ada untungnya juga orang tua itu menasehatiku," gumam Gasendra sambil tersenyum kecil.
"Wah, wah, wah ... apa yang sedang terjadi di sini?" Salah satu dari tiga orang yang baru saja masuk ke ruangan tersebut langsung membuka suara sambil tertawa. Dia menoleh pada Gasendra dan Balges yang berada di pojok ruangan, lalu bertanya, "Apa yang kalian lakukan? Salah satu dari kalian yang menebas tangannya, kan?"
Seketika Balges langsung ternganga mendengar fitnahan dari prajurit yang sedang menyamar alias Nenek Eros.
"Seorang nenek yang kejam sudah menebas tangan penyihir itu," timpal Gasendra dengan nada dan raut wajah yang menyindir.
"HAHAHAHAHAHA!" Suara tawa Eros menggema di segala penjuru ruangan. Dia menutup wajah yang memang sudah tertutup kain dengan tangan kirinya. "Khuhuhuhuhu!" Eros menatap Gasendra, lalu membuka kain penutup wajahnya.
Eros tersenyum menampakkan deretan giginya yang sedikit menguning, lalu berkata, "Terima kasih, Cucuku. Kau ini memang baik sekali sampai mengingatkanku. Ah, haruskah aku memeriksa gigi-gigimu?"
Gasendra merotasikan matanya, kemudian menghela napas pelan. "Urus saja gigi-gigimu!"
Brak!
Ssshh
Penyihir hitam yang lainnya mengeluarkan kekuatan dari tangan kiri untuk menyerang Eros dan dua prajurit di sampingnya.
"Berani-beraninya kau bicara dengan santai di depan kami!" sungut penyihir tersebut.
Debu-debu menghalangi pandangan mereka dan tiba-tiba saja–
Sraat! Bledum bledum bledum!
"Khhh, aaarghh!"
Dengan mudahnya tangan Eros mengeluarkan sihir untuk menahan tiga penyihir di depannya dengan akar-akar pohon yang terlihat persis seperti awal, namun juga terasa berbeda. Memang tampilan akar-akar pohon tersebut sangat lah mirip dengan yang dikeluarkan penyihir pertama tadi. Tapi, daya serangnya jauh lebih kuat sepuluh kali lipat daripada yang pertama.
Gasendra menggeleng sambil tersenyum miring mendengar suara tulang yang patah dan dinding yang terlihat hancur di ujung sana. Dia bertepuk tangan memberikan penghargaan singkat pada Nenek Eros yang memanfaatkan debu untuk mengeluarkan sihirnya.
"Justru aku yang harusnya marah pada kalian! Berani-beraninya penyihir gelap seperti kalian santai begitu saat berhadapan denganku!"
'Dasar nenek-nenek itu ...!'
Kretak kretak kretak
"AAAARGHHHH!"
Ruangan tersembunyi di ujung pasar itu dipenuhi dengan suara tiga penyihir yang terlilit kuat oleh akar-akar pohon. Jeritan-jeritan kesakitan yang terdengar sukses membuat siapapun lemas seketika dan gemetar ketakutan. Para pengikut penyihir dan pemberontak pun mengaga dan bersimpuh di tempat, karena kejadian yang dilihat oleh mata kepala mereka.
"Tunggu!"
———
To be continue ....