Chereads / The Eternal Love : Raja Chandra / Chapter 27 - Cold War(Jahankara POV)

Chapter 27 - Cold War(Jahankara POV)

Masih dengan Jahankara POV. Ternyata memanjang ceritanya dan harus aku bagi-bagi jadi beberapa bab lagi. Aku harap kalian nggak bosan ya^^

Happy Reading!

***

Seluruh Istana Mahaphraya gempar dengan rumor yang mengatakan bahwa raja dan ratu mereka sedang bertengkar hebat sampai pisah ranjang selama hampir dua minggu.

Dan aku tahu dengan rumor, ah bukan, itu kenyataan. Faktanya, aku dan Anindya sudah pisah ranjang hampir dua minggu setelah pertengkaran kami di taman. Selama itu pula aku jarang melihat wajahnya jika bukan pertemuan kerajaan. Bahkan saat makan saja, dia tak hadir di ruang makan dan itu membuat suasana hatiku menjadi semakin buruk kian harinya.

Dan hari ini puncaknya. Puncak dari keburukan suasana hatiku. Setelah memecahkan berpuluh-puluh cangkir dan piring serta mendobrak meja sampai terbelah menjadi dua, aku memutuskan untuk bertemu lagi dengan Anindya selepas pekerjaanku selesai.

Langkah kakiku percepat untuk sampai ke kamar tidur sementaranya selama dua minggu ini.

Ada dua penjaga di pintu masuk kamar Anindya. Mereka menunduk dan memberikan salam penghormatan padaku.

"Anindya di dalam?"

"Ratu ada di dalam, Yang Mulia."

Tanpa basa-basi lagi, mereka langsung membukakan pintu untukku. Mataku langsung menangkap keberadaan Anindya yang duduk di kursi dengan tumpukan buku di hadapannya.

"Anindya," panggilku. Dia menengadah dan mata kami bertemu. Aku meringis melihat kondisinya yang sama kacaunya denganku, tidak, dia lebih kacau daripada aku. Jika aku hanya kacau secara emosional, dia lebih kacau secara fisik dan emosional.

Dia menutup buku, lalu berdiri menyambutku dengan senyum terpaksa.

Ugh, aku benci itu.

"Ada apa, Yang Mulia?"

"Aku ingin bicara padamu."

Dia melirik beberapa dayang yang menemaninya di dalam sana. Seolah mengerti, para dayang tersebut perlahan keluar meninggalkan kamar Anindya dan menyisakan kami berdua.

"Silakan duduk, Yang Mulia. Oh, perlukah saya menyediakan secangkir teh untuk anda?"

Aku menggeram kecil sambil berjalan ke kursi. Yang Mulia dan cara bicara formal Anindya membuatku gila setengah mati. Aku menggeleng menolak tawaran untuk minum teh favorit bersamanya.

"Apa yang ingin anda bicarakan, Yang Mulia?"

"Bisakah kau berhenti bersikap defensif terhadapku?" Akhirnya permintaan itu keluar juga dari bibirku.

Dia mengernyitkan dahi, lalu meremas ujung jarinya. "Bukankah anda yang lebih dulu bersikap defensif terhadap saya?"

"Tidak, hanya pada anak yang kau kandung saja."

"Ini anak anda juga, Yang Mulia." Dia mengelus perutnya yang masih rata sambil tersenyum tulus.

Aku menggeleng kasar. "Dia bukan anakku karena akan membunuhmu."

Anindya mengubah senyumnya menjadi masam mendengar penolakan yang masih sama dariku. Susana di sekitar kami menjadi amat canggung karena pertengkaran yang belum sirna.

"Anindya, ku mohon ...."

Dia menggeleng pelan, lalu tertunduk. "Tidak ada Ibu yang tega untuk membunuh anaknya, Yang Mulia."

"Aku mengizinkanmu untuk egois, Anindya. Sangat mengizinkanmu untuk itu," pintaku meyakinkan Anindya. Aku menghela napas kasar dan menambahkan, "Dia akan membahayakan nyawamu di kisaran empat bulan sampai nanti."

"Saya tidak peduli, Yang Mulia. Dia adalah titipan dari Dewa dan Dewi, mana mungkin saya membunuhnya?" Anindya menggeleng, menolak permintaanku.

"Aku tau, aku tau. Tapi dia berbahaya dan aku tak ingin kehilanganmu."

"Dia darah daging kita, Yang Mulia."

"Dan kau adalah istriku. Kenapa kau keras kepala sekali, sih?" Aku melengos, menolak untuk bertatapan dengannya. "Apa aku harus berlutut agar kau memenuhi permintaanku?"

"Bahkan jika anda berlutut pun, saya tidak akan menerima permintaan anda," tolak Anindya dengan tegas dan membuat aku langsung menoleh padanya.

"Lalu kau mau apa, Anindya? Apa yang harus aku lakukan?" Aku menaikkan satu oktaf padanya. Aku kalut dan takut akan kehilangan belahan jiwaku untuk selama-lamanya.

Dia tersenyum.

"Anindya!" Aku berteriak untuk menegurnya karena dia tersenyum. Aku benci senyuman itu!

"Terima anak kita," pinta Anindya dan membuat hatiku mencelos.

Aku tak pernah menginginkannya dan dia memintaku untuk menerima anak yang akan membunuhnya secara perlahan? Yang benar saja.

"Aku tak bisa," tolakku dengan wajah masam.

Dia tersenyum kecut, lalu beranjak ke ranjang dengan kesunyian, meninggalkanku yang terdiam dan merasa kesepian dengan amarah dan kekecewaannya.

Aku tertunduk di kursi dengan wajah sedih. Terkadang saat-saat seperti ini aku selalu berpikir, apakah ini karma untukku yang sering mempermainkan hati para wanita?

"Pergilah, Yang Mulia. Tidak ada yang bisa saya bicarakan lagi pada anda sebelum menerima anak kita," kata Anindya mengusirku. Ya, dia mengusirku agar menjauh darinya.

Aku berdiri, melangkah mendekat padanya. Namun, dia memperingati dengan suara yang menahan isak tangis.

"Ku mohon, pergilah."

"Bisakah aku berada di sana, Anindya? Aku ingin bersamamu," ungkapku memandangnya dengan hati yang berdenyut. Aku tahu perbuatan defensif pada jabang bayi membuatnya kecewa dan marah, tapi harusnya dia juga tahu jika terus dipertahankan, aku lah yang akan kehilangan belahan jiwa untuk selama-lamanya.

"Tidak, keluar." Dia mengeratkan selimut pada tubuhnya yang terlihat lemah. "Aku hanya ingin berdua dengan anak kita."

Anak kita. Apakah pantas dia disebut dengan anak kita kalau dia membunuhmu secara perlahan?

Baik aku dan Anindya sama-sama kecewa dan marah pada diri masing-masing maupun satu sama lain.

Aku menjentikkan jari dan lima tangkai bunga tulip muncul di atas meja kecil tempat tidurnya.

Aku memandangnya lagi untuk terakhir kali di hari ini. Sungguh hatiku terasa sangat sakit saat melihat tubuh Anindya yang bergetar menahan tangis. Tapi, aku hanya ingin egois, aku ingin kau ada di sisiku, Anindya.

Kau mengerti, kan?

"Selamat beristirahat," ucapku sebelum melangkah keluar dari kamar pelariannya.

Dapat dipastikan saat aku keluar, tangis Anindya akan kembali pecah.

***

Aku dan Anindya sama-sama keras kepala dengan keputusan kami. Anindya yang ingin mempertahankan dan aku yang ingin menggugurkan, membuat hubungan kami menjadi jauh, retak, dan dingin. Bahkan sampai kandungan Anindya berumur empat bulan lebih pun hubungan kami masih sama.

Aku tahu kondisi fisik Anindya mulai memburuk saat kandungannya berumur empat bulan. Dia sering terkena demam dan tubuhnya menjadi ringkih.

Aku selalu pergi ke kamarnya setiap malam saat seluruh orang sudah terlelap. Dan aku juga mendapat laporan dari para dayang yang menjaganya kalau Anindya mulai tidak nafsu makan semenjak satu minggu terakhir dan itu memperburuk kondisinya sehingga dia harus mengambil cuti sebagai ratu kerajaan.

"Hei, Jahankara!"

Aku tersentak kecil dengan panggilan yang mengejutkan itu. Semenjak aku naik jabatan sebagai raja, aku hanya dikenal sebagai Yang Mulia Raja saja.

"Kau ingin membunuh istrimu?"

Ck, aku tau siapa dia!

"Diamlah, Eros! Kau tidak tau apa-apa!" Aku mengabaikannya dan fokus membaca laporan dengan cermat.

"Oya? Kurasa aku lah yang lebih tau tentang kondisi istrimu."

Aku mengerutkan alis dan menatap dingin pada Eros yang berdiri sambil bersedekap di tengah ruangan. Dagunya terangkat, menggambarkan sikap berani dan sombong saat berhadapan dengan seorang raja.

Dia berdecak kesal melihat respon dinginku.

"Istrimu pingsan tuh."

———