"Dia mapan, tampan, dan rupawan. Tapi, sayang ... sulit sekali untuk digapai."
***
Saat diriku yang berjalan di ujung koridor terlihat oleh para penjaga, mereka langsung membukakan pintu ruang kerja.
Aku melangkah masuk dan berhenti hanya beberapa langkah dari meja yang berada di depan sana. Alis tebalku mengerut saat melihat gulungan surat yang dililit dengan benang warna-warni tersusun rapih di atas meja.
"Pelayan!"
Aku berdecak kesal melihat mejaku yang jadi terlihat sempit karena dipenuhi dengan gulungan surat-surat itu. Aku melangkah dan duduk di atas kursi, lalu melirik risih pada surat yang berwarna-warni dan berbau amat wangi.
Saat menciumnya, aku selalu berpikir, sebenarnya berapa banyak botol parfum yang disiramkan para wanita ke atas surat-surat itu?
Ku lihat para pelayan yang berada di luar langsung merangsek masuk dan menunduk padaku.
"Buang surat-surat itu!" Tanganku mengambil sebuah buku sastra di atas meja yang belum selesai dibaca semalam.
"Jangan dibuang!" Sontak mataku yang menatap tulisan di buku langsung memandang ke arah pintu. Di sana sudah ada ibu yang ditemani oleh para dayang di belakangnya.
"Ibu," rengekku pada wanita tua yang masih teguh pendirian untuk menyarikan jodoh bagiku.
"Cukup, Jahankara! Mau berapa lama lagi kau melajang? Kau selalu bermain dengan para wanita, tapi tak pernah menjadikan mereka sebagai istri," tampik ibu dengan kesal.
Ibu duduk di atas kursi yang berada di ruangan. Ku dengar suara helaan napas panjang dan setelah itu dia bergumam tentang kelakuan burukku.
"Ya Dewi ... aku pusing sekali dengan kelakuan brengsekmu itu. Sadarkah kalau kau itu anak raja?"
Aku hanya hanya tersenyum tipis dan menjawab, "Tentu saja aku sadar, Bu."
Ibu menatap tajam padaku. Dia memang selalu begitu kalau sedang kesal. "Lalu apa lagi yang kau tunggu? Mau menjadi bujangan brengsek yang bersinar?"
Alisku terangkat dengan seringai jahil yang terpampang. Menjahili ibu di pagi hari terdengar cukup baik untuk mengusir rasa kesal yang meradang dari sebelum datang ke sini. "Terdengar cukup bagus."
"Jahankara!" Mata ibu melotot mendengar jawaban dariku.
Aku berusaha menahan tawa melihat kegeraman ibu pada kelakuanku, tapi tak bisa. Kekehan samar malah keluar dari mulutku. "Bercanda, Bu." Kemudian aku memfokuskan diri pada buku sastra yang berada di tangan.
Aku bisa mendengar geraman kesal milik ibu yang terdengar samar di telinga. Dalam hati, aku meminta maaf padanya atas kelakuan yang sudah ku perbuat.
Bukannya aku tak sadar dengan kesulitan dan kekhawatiran ibu. Aku sudah berumur dua puluh lima tahun, tapi belum juga mendapatkan istri.
Perjodohan kerajaan yang diatur tujuh tahun lalu, ku batalkan begitu saja. Aku sedang mencari seorang perempuan yang bisa mengetuk dan mendobrak hatiku, membuatku jatuh dan tenggelam dalam pusaran cinta yang menghanyutkan, membuat seluruh tubuhku merespon pergerakannya dan merasa terpuaskan, membuat kami saling menyentuh tanpa penghalang dan meneriakkan nama satu sama lain dengan merdu dan penuh cinta di penghujung malam. Sungguh, aku masih pria normal yang bernafsu.
Tapi, itu hanya keinginan yang belum tersampaikan. Karena sampai saat ini, belum ada yang mampu untuk mengetuk pintu hatiku, apalagi mendobraknya. Para wanita yang tidur setiap malam juga tak mampu untuk membuatku meneriakkan rasa puas karena bercinta dengan mereka.
Di tengah pemikiran bernafsu itu, aku melihat dengan ekor mata kalau ibu sedang menatapku.
"Ada apa, Bu?" tanyaku secara gamblang.
"Aku tidak tau harus bilang apa lagi padamu. Raja sudah mempercayakan hubungan asmaramu padaku, tapi kalau kau begini ...." Ibu menggantung ucapan dan menatap dalam padaku.
Aku menutup buku, kemudian tersenyum pada ibu. Terima kasih karena sudah mau direpotkan dengan urusan asmaraku. Tapi, aku belum menemukan tambatan hati yang pas.
"Kalau aku begini, maka jangan campuri hubungan asmaraku. Mudah, kan? Ah, Ibu ... aku serius belum ingin mencari istri."
"Kau ...!" Ku lihat ibu tersengal-sengal sambil memegangi dadanya. Sontak aku langsung berdiri dan menghampiri ibu dengan rasa khawatir, panik, dan ketakutan menjadi satu.
Ibu ... jangan meninggal dengan alasan karena kau terlalu sibuk mengurus asmaraku.
"Ibu!" Aku memegangi tubuhnya yang limbung dengan jantung yang berpacu cepat.
"Aku bercanda." Ibu berdiri tegak dan menatap datar padaku yang terkunci dengan mulut terbuka. Tak ada tanda-tanda serangan jantung yang menyerangnya tadi. Ibu benar-benar sehat dengan raut wajah yang berubah dan tersenyum puas.
"Bagaimana rasanya dipermainkan? Tidak enak, kan?" Ibu tersenyum, senyuman yang terlihat berkali-kali lipat lebih menyeramkan.
Sedetik kemudian aku berteriak karena daun telingaku menjadi sasaran empuk baginya.
"Argh, sakit, Buu!"
Ibu mendelik dengan senyum puas melihat aku yang kesakitan. Dia baru melepaskan telingaku saat merasa puas dan perasaan kesalnya yang perlahan hilang.
Aku mengusap-usap kedua telinga, lalu bertanya dengan nada lelucon. "Telingaku baik-baik saja kan, Bu?"
"Baik-baik saja. Kalau rusak pun aku bisa menggantinya dengan sihir. Mau telinga yang seperti apa? Kera, Kuda, Siren, atau yang lainnya?"
Ibu ... kau benar-benar terlihat seperti Eros kalau sedang seperti ini!
Aku bergidik ngeri di tempat dengan sudut bibir yang terangkat sebelah karena ngilu. "Tidak semuanya, Bu."
"Baiklah. Kalau kau tidak mau semuanya, maka kau harus menerima sesuatu yang lain dariku," kata Ibu. Dia berjalan menuju mejaku, lalu mengambil acak gulungan surat yang berada di atas sana.
Sebuah surat yang diikat oleh benang merah berada di tangan ibu. Dia berbalik dan melemparkan surat tersebut yang mendarat mulus di tanganku.
"Bu!" Aku membantah dan menatapnya dengan tatapan memohon. Demi Dewa! Aku memang sangat suka dengan pesta, tapi pestanya harus digelar olehku dan dengan caraku, bukan orang lain.
"Telinga monster atau datang ke undangan?"
Tepat sasaran! Tentu saja aku lebih memilih telinga monster! Setelah mendapatkannya, aku akan memulihkan telingaku seperti sedia kala dengan sihir.
Aku hanya tersenyum simpul melihat ibu yang berjalan melewatiku dengan tatapan berkilat amarah. Mataku terus mengikuti punggungnya yang menjauh ditemani oleh para dayang. Tiba-tiba dia berhenti dan membuat jantungku berdenyut.
Apa sihir telinga monster akan terjadi sekarang juga? Aku memegangi kedua telinga walaupun cukup sulit karena ada gulungan surat di tangan.
"Aku mendengar suara hatimu, Jahankara. Dan akan meminta raja untuk mengunci mana milikmu jika tak pergi ke sana."
Peringatan dengan suara menusuk dari ibu, sukses membuat bulu kudukku berdiri. Aku menggeleng pelan mengingat peringatan menyeramkan dari ibu yang berkaitan dengan sihirku. Kemudian menatap sebuah gulungan surat di tangan dan berusaha meyakinkan diri kalau aku akan baik-baik saja selama di pesta itu.
Setidaknya kelakuan brengsek milikku tak akan ketahuan ataupun menjadi buah bibir rakyat Mahaphraya.
Aku mendesah, kemudian berbalik dan menemukan para pelayan yang ku panggil tadi masih berada di sana dengan kepala yang menunduk.
Aku menghela napas dan membuangnya dengan kasar. "Buang sisa suratnya! Aku hanya akan datang ke satu pesta pada malam ini."
Kaki jenjang berototku melangkah ke kursi dan duduk di atas sana. Menatap buku sastra dengan tatapan yang kehilangan minat.
Ibu yang menyeramkan dan ayah yang tegas, sukses membuatku pening dan merasa mual di pagi hari.
Oh! Berapa botol anggur merah yang ku habiskan semalam?
Aku menghentikan para pelayan yang hendak keluar untuk membuang gulungan surat-surat tersebut.
"Tolong buatkan aku obat atau sup pereda mabuk."
Ugh, jujur saja ... ini pagi dan hari yang buruk.
———
Aku yang dulu bukanlah yang sekarang—Jahankara.