Chereads / The Eternal Love : Raja Chandra / Chapter 22 - Birthday Party(Jahankara POV)

Chapter 22 - Birthday Party(Jahankara POV)

Selamat membaca^^

***

Bujangan brengsek yang bersinar.

Aku tersenyum ketika mengingat ibu menjulukiku dengan nama itu. Terdengar sangat kontras dengan kelakuan brengsek dan wajah bersinar serta tubuh tinggi nan gagah milikku.

Tanganku mengancingkan bulatan berwarna putih di pakaian, kemudian mengambil jubah berwarna hitam sebagai pelengkap setelan untuk malam ini. Oh, bukan sebagai pelengkap melainkan untuk melindungi diri dari dinginnya malam. Walaupun bisa saja dihangatkan kembali saat pulang oleh para wanita yang melemparkan diri padaku. Tapi sebagai pangeran, aku juga harus menjaga kesehatan, bukan?

Bibirku bergumam bangga saat melihat pantulan diri di cermin besar. Rambut hitam yang hampir menyentuh bahu, rapih namun tetap terlihat liar, garis rahang tegas, alis tebal, mata berwarna hitam, bibir merah penuh yang haus akan kecupan.

Waw, waw, waw, siapa pria tampan dan brengsek yang berdiri di depan cermin ini?Oh, tentu saja Pangeran Jahankara, putra dari Raja dan Ratu Agung Mahaphraya.

Aku tersenyum lebar, kemudian merapihkan rambut dengan sela-sela jari tangan. Namun, rambutku kembali terlihat acak-acakan, kontras sekali dengan kelakuanku yang bebas.

Aku menghela napas panjang. Yah, mungkin rambut ini sudah dibuat untuk orang seperti aku. Aku melirik ke belakang saat pintu kamar diketuk.

"Masuk." Dari pergerakan mananya, aku tahu siapa yang datang ke kamar.

Aku melirik dari pantulan cermin dan mendapatkan ibu yang sudah berganti gaun, beda dengan yang pagi tadi. Ibu tersenyum melihat penampilanku yang terpantul di cermin.

Sekarang kau mau bilang kalau aku tampan juga, kan?

"Ada apa, Bu?" tanyaku pada ibu yang tak kunjung memuji penampilanku. "Bukannya kau ada acara malam ini? Kenapa repot-repot datang ke sini?"

Ibu melangkah dan merapihkan kerah baju sambil tersenyum. "Kebiasaan," katanya dan memukul dada bidangku. Aku hanya terkekeh samar dengan kelakuan ibu. Padahal kerah pakaianku sudah tertutup dengan jubah, tapi dia masih saja bisa melihatnya.

"Oh, ayolah, Bu ... kebiasaan itu sulit untuk dihentikan," ujarku memberi pengertian pada ibu.

Ibu berbalik membelakangi dan menjawab, "Ya, aku tau. Makanya cari istri sana! Ibu tak bisa terus merapihkan kerah untukmu," kata ibu yang berceramah seperti biasa. Tapi saat mendengar ceramah kali ini, hatiku sedikit mencelos.

Aku memeluknya dari belakang sambil tersenyum tipis. "Jangan berkata seperti itu, Bu. Kau harus selalu merapihkan kerah untukku."

"Saat punya istri, kau akan berkata lain," sindir ibu menggenggam tanganku yang memeluknya.

"Ibu ...."

"Lupakan itu, Jahankara. Pesta apa yang akan kau ikuti malam ini?" Ibu berbalik menatap mataku dengan sungguh-sungguh.

Aku bergumam di tempat, mencoba untuk mengingat isi dari surat yang ku baca sekilas. "Sepertinya pesta ulang tahun. Sebentar, aku mau cari suratnya dulu." Aku berjalan mencari gulungan surat tersebut di pelosok kamar.

"Kau ini bagaimana? Mau datang ke pesta, tapi tidak yakin itu pesta apa." Meski ibu memarahiku, tapi dia tetap bantu mencari gulungan surat yang dimaksud. "Jangan suka menyepelekan sesuatu, Jahankara. Kau ini seorang pangeran dan harus memperhatikan sikapmu."

Aku hanya mengangguk menanggapi ibu. Menurut perhitunganku, itu adalah kali ke dua ratus empat puluh tujuh ibu menasehati dengan kalimat yang sama pada bulan ini.

"Ini dia!" seru ibu sambil mengambil gulungan surat di kolong kasurku. "Bagaimana bisa ada di sini?" Ibu bergumam keheranan. Aku hanya tersenyum kikuk, bahkan aku pun tak tahu kenapa bisa ada di bawah sana.

Ibu melangkah menuju arah ku, kemudian memberikan suratnya. "Terima ini."

"Terima kasih, Bu. Kau memang terbaik karena bisa menemukannya. Oh, apa kau memakai sihir pendeteksi?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Itu bisa saja terjadi karena ibu punya kekuatan sihir yang lumayan besar untuk seukuran wanita.

Ibu mencubit pelan perutku sambil memprotes, "Aku tak butuh sihir untuk mencari barang. Itu sudah sifat alami seorang wanita."

Aku tertawa renyah diikuti dengan ibu yang melengkungkan senyum.

"Hadiah apa yang kau siapkan untuk Putri Bangsawan Torez?"

Alisku mengerut menatap ibu penuh tanda tanya. "Bangsawan Torez?" gumamku dengan sedikit terbata-bata. Aku melirik sekilas isi surat itu, lalu tersenyum lebar pada ibu yang menatap curiga padaku. "Ah, iya! Iya, iya, Bangsawan Torez hahahaha," ujarku diiringi tawa garing.

Ibu makin memicing dan membuat mataku berlarian ke sana ke mari. "Kau bahkan belum tau bangsawan mana yang menyelenggarakan pesta?"

"Itu bu–"

"Jahankara!" teriak ibu dengan tatapan membara. Sontak aku langsung berlutut di depannya dengan kepala yang tertunduk. Sungguh, ibuku lebih seram daripada iblis yang tak sengaja ku lihat waktu itu.

"Kau sudah menyiapkan hadiah untuknya?" tanya ibu setelah menghela napas berat penuh dengan tekanan. Aku rasa ibu sengaja tak memarahiku lagi karena mengingat penyakit darah tingginya.

Aku mengangguk di tempat. Tadi sore aku sudah menyiapkannya dan meminta salah satu dayang untuk membungkus hadiah berisi sebuah buku langka yang ku beli dari Jamrauke dengan teleportasi.

"Bangunlah! Kau ku maafkan karena sudah menyiapkan hadiah untuknya." Aku berdiri, tapi masih tak berani untuk menatap wajahnya.

"Jangan seperti itu lagi, Jahankara. Kau ini sudah dewasa dan mengerti mana yang baik dan tidak. Bukankah sedari kecil sudah diajarkan olehku dan guru?"

Aku mengangguk pada ibu. Sumpah Demi Dewa, aku merasa kotor karena selalu membuat ibu marah dan menjadi pria yang brengsek.

"Angkat kepalamu!" titah ibu. Aku mengangkat kepala dan menemukan ibu yang tersenyum tipis sehingga membuat hatiku menghangat.

"Ibu," rengekku dan langsung merangsek masuk ke pelukannya. Ibu mengelus puncak kepalaku dengan agak kasar, tapi aku tak masalah jika rambutku berantakan.

Kemudian ibu melepas pelukan dan menatap lurus ke dalam mataku.

"Dengar, Jahankara! Aku tak tau perempuan seperti apa yang sedang kau cari, tapi bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" tanya ibu yang sarat akan makna. Jantungku berdebar keras saat mendengarnya, ibu seperti ... ah, lupakan saja.

Aku menggenggam tangannya dan ku kecup perlahan. "Apa yang diinginkan wanita tercantik di dunia ini?" Aku tersenyum menggoda.

"Cari dia yang mencintai, menawan hati, dan bisa merubah sikap buruk mu itu," pesan ibu sambil merapihkan rambutku yang tadi diacaknya.

Aku mengangguk patuh padanya. Tentu saja akan ku cari yang seperti itu karena memang itulah yang sedang ku cari.

"Kau sudah tampan. Jadi, pergilah sebelum telat," pinta ibu dengan senyum mengembang.

"Memangnya kapan aku tidak tampan?" tanyaku dengan nada yang sedikit ketus. Aku berjalan mengambil hadiah yang diletakkan di atas nakas, lalu memasukkannya ke dalam saku jubah.

"Kau kan bujangan brengsek yang bersinar. Sudah sana, semangat ya!" Ibu mendorongku keluar dari kamar dengan kekehan kecil. Aku merengut tak percaya dengan hal kekanak-kanakkan yang dilakukan oleh ratu satu ini.

"Ibu kenapa, sih? Berbuat seakan-akan aku sedang mencari jodoh saja."

Ku lihat ibu menggeleng dengan penuh senyuman. "Sudah. Pokoknya semangat saja! Hati-hati ya bujangan brengsek yang bersinar!"

Aku hanya tersenyum malas menatap ibu, kemudian berjalan menyusuri koridor untuk menuju kuda milikku.

***

Kuda hitamku berhenti tepat di depan tangga rumah Bangsawan Torez yang sudah ramai. Beberapa prajurit yang mengawalku langsung berbaris rapih di sisi-sisi tangga dan sukses menarik perhatian tamu yang baru saja datang.

Aku turun dari kuda dan mendarat dengan pose yang kuyakini akan terlihat gagah. Para gadis di sana menatap dengan penuh damba, seakan-akan mereka akan menerkam tubuhku sekarang juga. Tapi, aku tak mempedulikan mereka, lebih tepatnya belum.

Saat melangkah masuk ke rumah Bangsawan Torez, semua orang yang ku lewati membungkuk dan memberi salam penghormatan.

Ku lihat dari ujung pintu sana, ada dua pasangan yang sudah tampak kerutan pada wajahnya menghampiriku dengan tergesa-gesa.

"Selamat datang, Pangeran Jahankara. Semoga anda selalu diberkahi dan diberi keselamatan oleh Para Dewa dan Dewi."

Aku mengangguk pada mereka yang menunduk dan memberi salam penghormatan. "Terima kasih, Tuan dan Nyonya Torez. Di mana yang sedang berulang tahun?" tanyaku langsung pada intinya.

"Mohon maaf, Pangeran, putri saya sedang berada di kamar untuk beberapa hal yang harus diurus."

Alisku berkedut mendengar jawaban Tuan Torez. "Ah, begitu ... ya sudah. Aku akan menunggu saja untuk memberikan hadiahnya."

Mereka menawarkanku untuk duduk, tapi aku menolak. Sudah ku bilang kan kalau aku ini jiwa yang bebas? Tentu saja jika ada pesta seperti ini, aku akan berkeliaran mencari gadis-gadis cantik nan seksi yang tersesat.

***

Tak butuh waktu untuk seorang casanova sepertiku menemukan wanita yang biasa melemparkan diri padaku di pesta ini.

Aku mendorong dan mengunci pergerakan seorang wanita yang ku kenal ke dinding. Bibir kami menyatu dan saling membelit dengan napas memburu. Aku mendekap pinggangnya dan dirapatkan pada tubuhku. Kami saling mengecup dengan penuh nafsu. Sesekali wanita itu mengerang karena ciuman panas yang menggairahkan dariku.

Jangan salahkan aku yang berbuat senonoh di lorong rumah orang karena dia duluan yang menggodaku. Dan sebagai pria normal penuh nafsu, aku tak bisa menolaknya.

"Wow, apa yang sedang terjadi di rumahku?"

Suara mengejutkan dari seorang perempuan membuatku melepaskan pagutan dan menatap terkejut padanya yang sedang bersandar sembari bersedekap di tiang penyangga dengan senyum lebar.

"Selamat datang, Pangeran. Semoga Para Dewa dan Dewi memberikan anda keselamatan dan keberkahan." Gadis itu menunduk hormat. Sebelum dijawab, dia sudah mendongak dan tersenyum meledek padaku.

Wah, menyebalkan sekali.

———