Episode sebelumnya
Dadaku naik turun, rahangku mengeras menatap wanita yang terlihat lebih pucat di hadapanku, gigiku bergemeletuk kencang menahan emosi yang bercampur.
"Sudah berapa bulan, Anindya? Sudah berapa bulan? Katakan!"
***
Aku menggeram menatap Anindya yang masih menangis tanpa ada keinginan untuk menjawab pertanyaan dariku.
"Sudah berapa bulan, Anindya?" Aku mengulang pertanyaan dengan suara tertahan.
Tak ada jawaban, hanya isak tangis yang terdengar dan membuatku semakin marah.
Rahangku kembali mengeras dan menarik lengan Anindya secara paksa agar bertatapan denganku lalu berteriak padanya.
"KATAKAN ANINDYA!"
Aku benci dengan fakta bahwa akulah yang membuatnya menangis sampai bergetar ketakutan.
"D–dua mi–minggu, Yang Mulia." Dia menjawabnya dengan suara bergetar dan tubuh yang bergetar.
Aku melepas cengkraman dengan kasar sampai dia terhuyung ke belakang, lalu berteriak frustasi sambil menjambak rambut sendiri.
'Yang Mulia, saya mohon pada anda untuk berhati-hati karena Ratu tidak boleh mengandung lagi karena dia tidak akan kuat.'
Peringatan tabib empat tahun lalu menimpa kepalaku dan menjadikannya sebagai beban berat. Bagaimana dia bisa hamil lagi padahal aku sudah menanamkan sihir penjagaan di rahimnya agar tidak mengandung lagi? Pasti ada yang salah, aku yakin itu.
Dan aku tersentak kecil saat mendengar suara Gasendra yang menangis. Ya, anak itu! Pasti karena anak itu! Hanya dia yang bisa membuka sihir penjagaan Anindya!
Amarahku kian membara saat menoleh pada Gasendra. Tanpa buang-buang waktu aku langsung menghampirinya dengan langkah tergesa-gesa. Anindya yang melihat itupun berusaha untuk menghalangi, namun kekuatannya tak sebanding denganku.
Aku tetap berdiri dan menunduk padanya dengan tatapan dingin. Tingginya yang tidak mencapai pahaku membuat dia terlihat kecil, rapuh, dan kacau.
"Apa yang kau lakukan?!" Untuk pertama kalinya, aku berteriak dan marah besar pada putraku sendiri.
Gasendra menundukkan kepalanya dalam-dalam. Tubuhnya bergetar hebat dengan intimidasi kuat dariku.
"Y–yang Mulia ...."
"Diam Anindya!" bentakku tanpa menoleh padanya. Aku menarik dagunya agar bertatapan denganku. "Jawab aku, Gasendra." Tubuhnya makin bergetar dengan intimidasi kontak langsung dariku.
"A–aku yang akan menjawabnya!" Ku dengar Anindya berteriak lantang padaku. Aku tersenyum sinis, lalu menoleh padanya.
Aku melepaskan tangan yang memegang dagu Gasendra, lalu berbalik pada Arunika.
"Kau memang harus mengatakannya."
Anindya menggenggam kedua tangannya sambil menunduk. "Apa aku boleh meminta sesuatu, Yang Mulia?"
Aku mendesah panjang sambil memegang tulang hidung. "Apa kau sedang dalam posisi baik untuk meminta sesuatu?"
Dia bergeming di tempat. Anindya tahu jika posisi dan situasinya sedang tidak baik, tapi aku tahu betul kalau dia akan keras kepala.
Aku menutup mata sementara sambil menghela napas lagi. "Katakan." Bahkan saat aku mencoba untuk menolak permintaannya saja, aku tak mampu.
Anindya maju beberapa langkah mendekatiku dan juga Gasendra yang entah sejak kapan sudah terduduk di atas tanah.
"A–aku akan meng–mengatakannya. Tapi, tolong biarkan Gasendra untuk pergi."
Aku melirik putraku yang kacau. Dia pasti sangat terkejut dan takut melihat pertengkaran orang tuanya secara langsung serta intimidasi kuat dariku. Saat itu aku tahu kalau Gasendra akan mengingat hal buruk tersebut seumur hidupnya. Aku mengangguk pelan menjawab permintaan Anindya.
"Pergilah."
"Ibu ...." Gasendra menatap khawatir dan takut pada Anindya. Tentu saja dia tak berani untuk menatapku.
Anindya menahan senyumnya. "Pergilah, Gasendra. Ada yang ingin Ibu bicarakan dengan Yang Mulia."
Yang Mulia. Aku terkekeh sinis saat menyadari Anindya memanggilku seperti itu sejak tadi. Seperti ada dinding penghalang di antara kami dan Anindya yang membuatnya terlebih dahulu.
Gasendra mengangguk kecil, lalu berdiri dengan sisa kekuatannya dan berlari meninggalkan aku dan Anindya di taman belakang istana.
Melihat Gasendra yang sudah pergi, aku menoleh pada Anindya. "Katakan apa yang ingin kau katakan."
Anindya menatapku, lalu berdeham kecil. "Bisakah kita duduk di kursi taman terlebih dahulu?"
Aku pikir itu bukan ide buruk. Dengan duduk, amarahku mungkin bisa tertahan.
"Baiklah."
Kami berjalan ke kursi taman yang berada tak jauh dari sana.
"Aku yang meminta Gasendra untuk membukanya."
Alisku berkerut dengan tangan yang mengepal. Ku rasa buku-buku jariku sudah memutih.
"Kenapa?"
"Beberapa bulan lalu Gasendra meminta adik padaku dan kebetulan ...."
"Ha ... jangan katakan kalau kau ingin memiliki anak juga?" Aku menoleh padanya dengan tatapan tajam. Memangnya dia tak dengar apa yang diucapkan tabib empat tahun lalu? Dia kan ada di sana juga saat itu.
Anindya diam dengan menatap lurus ke depan.
"Tidak ada jawaban berarti iya. Kau tau Anindya? Aku merasa sedang dibodohi karena hanya aku yang tak tau dengan rencana kalian. Sialan!"
"Yang Mulia ... bukan seperti itu ...."
"Lalu seperti apa?!" Nada bicaraku kembali naik. Ku rasa dengan duduk tidak cukup membantu untuk menahan amarahku.
"Aku ingin."
"Dan aku tidak."
Katakan aku brengsek karena hanya menidurinya tanpa ingin memiliki anak lagi. Aku menggeram kecil saat melihat air yang kembali turun dari sudut mata Anindya. Ya, aku menyakitinya lagi.
Merasa tak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku berdiri dan menatap dingin padanya.
"Gugurkan dia. Aku tak ingin kehilanganmu."
Isak tangis Anindya bertambah hebat dan aku malah melangkah kembali ke ruang kerja, meninggalkan Anindya yang tersakiti, kacau, dan hancur di kursi taman sendirian.
Aku tahu betul perintah terakhir dariku membuatnya marah dan kecewa. Seperti dia yang keras kepala pada pendiriannya, aku ingin egois untuk keinginanku. Aku tak ingin kehilangannya.
———