***
Hidupku saat ini sudah cukup bahagia. Memiliki istri yang cantik, pengertian, dan bisa semuanya serta seorang putra yang lucu, pintar, dan kuat. Aku mengatakan cukup karena memang seperti itu adanya, tidak kurang tidak lebih. Dan aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak ingin terlalu bahagia karena takut kebahagiaan itu menjelma menjadi bumerang kekecewaan bagi diriku. Tapi dengan kecukupan tersebut, aku merasa sangat bersyukur dengan kebahagiaan yang telah didapatkan.
Ku lihat istriku dan putra kami datang ke ruang kerja dengan wajah tertekuk. Tentu saja aku tahu betul apa sebabnya. Itu pasti karena selama dua hari ini, aku tidak mendongengkan cerita dan tidak kembali ke kamar karena terus mengerjakan berkas kerajaan yang sangat menumpuk. Bahkan selama dua hari ini, aku terus menstimulasi diri dengan sihir agar tidak sakit.
"Ayaah!" Putraku yang akan berumur empat tahun berlari ke arahku dengan senyum sumringah.
Wow, bukannya tadi wajah kau tertekuk saat datang ke sini? Bagaimana bisa berubah secepat itu?
Saat sedang berlari menghampiriku, tiba-tiba tubuh kecilnya limbung dan sontak aku menangkapnya menggunakan sihir awan. Dia jatuh dengan selamat di atas sihir awanku, lalu tertawa atas kecerobohannya sendiri.
Aku meninggalkan pekerjaan dan berjalan ke arahnya sambil terkekeh kecil. Saat sampai di depannya, aku berlutut dan memeriksa keadaannya.
"Anakku baik-baik saja? Ada yang terluka?" tanyaku sambil memeriksa tubuh kecilnya. Dia menggeleng pelan dengan wajah yang lucu dan polos.
Ya Dewa ... bagaimana bisa aku punya anak selucu ini?
"Aku yang terluka."
Aku dan putra kami sama-sama mendongak melihat Anindya yang masih menggunakan raut wajah tertekuknya.
"Hm, terluka apa? Kau kan tidak jatuh." Aku tersenyum geli, kemudian berdiri dan berniat untuk menghampirinya, tapi dia menahan.
"Jangan ke sini! Aku tidak mau, ya! Aku masih marah padamu!" Dia mengacungkan jari telunjuk padaku.
"Ibu ... jangan melajuk sepelti anak kecil. Aku saja yang masih kecil tidak melajuk pada Ayah," bujuk putraku dengan suara cadel dan menghampiri Anindya dengan langkah kecilnya. Gasendra menoleh padaku dengan mata besarnya. "Apa Ayah tau? Ibu yang mengajak hmphhh."
Aku tertawa saat melihat Anindya membekap mulut putra kami sambil melebarkan mata untuk menakuti-nakuti Gasendra.
Apakah putra kami sedang membeberkan hal yang memalukan?
Aku tersenyum geli melihat kelakuan Anindya dan putra kami yang meronta-ronta minta dilepaskan.
"Anindya, lepaskan bekapanmu sebelum anak kita pingsan," peringatku dengan suara lembut. Anindya pun menuruti keinginanku. Dia melepaskan bekapannya pada mulut Gasendra dan anak kecil itu langsung menggerutu pada ibunya.
Aku menengahi apa yang terjadi di hadapanku dengan sebuah janji yang pastinya akan ku tepati.
"Malam ini Ayah akan mendongengkan cerita untukmu lagi, Gasendra." Pupil matanya melebar dengan senyum riang bukan main. Dia meloncat-loncat di tempat, kemudian berlari meninggalkan ruangan sambil meledek Anindya. Sifat yang tengil itu sepertinya menurun dari darahku.
Aku melihat wajah Anindya yang masih menatapku dengan kesal. Aku tahu dia masih kecewa dan marah dengan kejadian di malam tiga hari lalu karena kami gagal melakukan adegan erotis. Tapi, sebelum dia bertambah kesal, aku menghampirinya untuk menjanjikan hal yang lebih panas dan akan dilakukan oleh kami malam ini.
"Tenanglah, kau juga akan mendapat bagianmu malam ini, Sayang."
Aku memeluknya erat sambil berbisik dengan suara serak dan dalam. "Aku akan menguasaimu malam ini dan membelai seluruh tubuhmu sampai suaramu habis karena terus mengerang hebat dan memintaku untuk berhenti."
Ku lihat bulu kuduk di leher Anindya berdiri dan samar-samar aku mendengar Anindya mendesah.
"Dan aku tidak akan berhenti untuk membuatmu puas sampai fajar tiba."
Kali ini suara desahan dan erangannya terdengar jelas karena aku juga menjilat dan menggigit cuping telinganya.
"Baiklah. Aku akan menunggumu di kamarku malam ini," janjinya dengan suara bergetar.
Oh, astaga ... mendengar desahan dan erangannya saja sudah membuatku pusing. Aku ragu kalau berkas kerajaan akan selesai jika dia menggodaku seperti ini.
***
Akhir-akhir ini, aku sering melihat kulit Anindya yang memucat. Aku tidak tahu jelas apa penyebabnya karena dia selalu menghindar dariku selama tiga hari ini. Bahkan selama tiga hari ini, aku tidur sendiri karena dia yang memilih untuk menghindar. Tapi, sebagai seorang suami, tentu saja aku sudah menaruh curiga dengan apa yang terjadi padanya.
Kecurigaan ku muncul saat tadi pagi karena tak sengaja berpas-pasan dengannya. Yah, walaupun dia langsung kabur lagi untuk menghindar. Dari jarak dua puluh langkah, aku bisa merasakan pergerakan asing pada dirinya. Dan itulah yang membuatku menaruh curiga berat pada dirinya.
Aku membanting pena bersulur dengan sedikit menggeram. Tidak! Aku tidak bisa menahan rasa penasaranku lagi. Aku harus bertemu dengan Anindya dan memeriksa kondisinya secara langsung.
Baiklah, ayo memejamkan mata untuk mencari keberadaan mana Anindya.
Brak!
"Pasti dia meminta Gasendra untuk mengunci pergerakan mananya," geramku sambil berdiri. Ya, putra kami itu pintar dan kuat sehingga di umur empat tahun, dia sudah bisa menggunakan sihir dasar. Dan sialnya, Anindya memanfaatkan itu untuk kabur dariku.
Aku berjalan meninggalkan pekerjaan walaupun perdana menteri memanggil-manggilku di belakang untuk kembali lagi bekerja karena berkas yang banyak.
"Diam, Perdana Menteri! Aku hanya ingin mengecek keadaan Anindya!"
Ku lihat dia tersentak kaget karena selama ini aku jarang sekali marah. Sudah kepalang tanggung membentak, aku melanjutkan untuk menatap tajam pada dirinya dan dia langsung menunduk.
Aku keluar dari ruang kerja dan menyusuri tempat dimana Anindya dan Gasendra biasanya berada pada jam segini. Dan setelah mengecek empat ruangan yang biasa disinggahi, aku bertemu dengannya di taman belakang istana.
"Anindya."
Dia tersentak kaget di tempat, kemudian bersiap untuk melarikan diri lagi namun gagal karena aku menahannya.
"Lepaskan aku!" pintanya dengan suara meninggi namun terdengar serak.
Aku memicing menatap dirinya yang ketakutan setengah mati saat melihatku.
"Anindya, kau kenapa?"
Bukannya menjawab, Anindya malah menangis dan membuatku kebingungan. Gasendra yang melihat itu berlari ke arahku, dia menganggap kalau menyakiti ibunya.
"Ayah, lepaskan Ibu! Lepaskan Ibu! Ayah jahat!"
Gasendra mengguncangkan kakiku untuk melepas Anindya. Namun, perbuatannya tidak memberikan efek apa-apa padaku. Ku tatap Anindya yang menangis pilu dan menghindari tatapanku.
Lagi-lagi aku menilik saat mendapati pergerakan asing di dalam tubuhnya. Aku menggeram rendah dan tanpa disadari aku telah mencengkram bahunya sangat erat sampai dia merintih kesakitan.
"Sakit, Jahankara, sakit ...."
Napasku memburu menatap pergerakan mana kami yang bercampur di dalam perut ratanya. Seketika ingatan buruk empat tahun lalu saat melahirkan Gasendra terulang kembali di kepala.
Aku melepaskan cengkraman di bahu Anindya. Dia menangis tersedu-sedu sambil memegang bahunya yang kesakitan, begitu pula Gasendra yang menatap garang padaku namun air mata mengalir di pipinya.
Aku tidak peduli. Aku sedang kacau saat ini, sangat-sangat kacau.
Dadaku naik turun, rahangku mengeras menatap wanita yang terlihat lebih pucat di hadapanku, gigiku bergemeletuk kencang menahan emosi yang bercampur.
"Sudah berapa minggu, Anindya? Sudah berapa minggu? Katakan!"
———