"Dia gadis yang realistis." —suara hati Jahankara.
***
Wah, menyebalkan sekali wajahnya yang meledek itu.
Dia terus tersenyum padaku, lebih tepatnya pada kami berdua. Sontak aku menoleh pada wanita dengan raut wajah kecewa karena hasrat yang tertunda. Wanita itu melihatku dengan tatapan mendamba, tapi aku tak menggubrisnya lagi.
"Pergilah," kataku pada wanita yang ku lupakan namanya. Dia menatapku dengan tatapan yang lebih kecewa lagi, kemudian menoleh menatap gadis yang memergoki kami seperti mengatakan, 'Ini semua gara-gara kau!'. Melihat itupun aku benar-benar kehilangan selera dan berjanji tak akan pernah berurusan dengannya lagi. Wanita itu pergi dengan api yang berkobar di kepala dan hatinya.
Aku menoleh saat gadis itu berdeham kecil sambil menatapku.
"Kau siapa?" tanyaku dengan menyelidik. Aku harus tahu siapa dirinya jika ingin membungkam kelakuan brengsekku agar tidak tersebar.
"Saya yang membuat pesta ini, Anindya Torez." Dia tersenyum manis padaku, kemudian mendekat dan membuat alisku naik sebelah menunggu kelanjutannya.
Wow, apa putri Tuan Torez akan melemparkan diri seperti wanita yang tadi juga?
Alih-alih melemparkan diri, dia berhenti di depanku dengan tangan terulur. Aku menatap tangan tersebut dengan tanda tanya, masa iya aku harus memperkenalkan diri di saat seluruh pelosok Mahaphraya sudah mengenalku?
Dia masih mengulurkan tangannya dan tersenyum tipis menatapku. Akhirnya aku menyerah dan menerima uluran tangannya. "Selamat ulang tahun, Nona."
Dia tersenyum lebih lebar lagi, kemudian melepaskan uluran tangannya. "Terima kasih banyak, Pangeran."
Aku terdiam menatap wajahnya dan dia pun sama. Sampai akhirnya dia memecah tawa dengan canggung karena kami yang saling terdiam.
Ah, kau cantik saat tertawa walaupun itu adalah tawa canggung. Bagaimana jika kau tertawa sungguhan? Apa akan terlihat lebih cantik?
"Apa pernah ada yang bilang kalau kau itu cantik?" tanyaku dan membuat matanya langsung melebar karena terkejut.
"Apa ini sebuah godaan?" Dia malah balik bertanya padaku dengan tatapan memicing sampai membuatku terkekeh masam.
Aku menggeleng dan mendekatkan diri padanya. "Aku jujur kalau kau itu cantik. Dan terserah kau ingin menganggapnya sebagai godaan atau bukan."
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepala sambil memundurkan langkah untuk menjaga jarak dariku dan aku sadar akan hal itu. Mungkin dia takut kalau akan dijadikan mangsa berikutnya oleh seorang casanova sepertiku di ulang tahunnya sendiri.
"Saya anggap itu sebuah pujian," jawabnya dengan sedikit canggung. Aku tersenyum simpul mendengarnya. Gadis ini realistis, tak gampang untuk digoda atau melemparkan diri padaku.
"Kau realistis."
"Orang tua saya juga mengatakannya," sahut gadis itu. Rupanya aku bukan orang pertama yang memuji sikap realistisnya. "Apa Pangeran mempunyai hadiah untuk saya?"
Wow, aku terkejut dengan pertanyaannya yang sedikit lancang pada seorang pangeran. Tapi, anehnya aku tak marah dan memilih untuk mengeluarkan hadiah yang sudah dipersiapkan dari balik jubah hitam.
"Ini untukmu. Harus suka," kataku penuh dengan penekanan.
Ku lihat dia terkekeh kecil mendengarnya, kemudian menerima dengan kedua tangan sambil menunduk hormat. "Suatu kehormatan mendapatkan hadiah langsung dari Pangeran. Saya pasti akan sangat menyukainya."
Aku tersenyum saat dia mengelus permukaan hadiah yang telah dibungkus. Sepertinya dia tak bisa menyembunyikan rasa penasaran untuk mengetahui hadiah dariku.
"Hei, aku ada permintaan," ucapku secara tiba-tiba dan membuat gadis itu mengalihkan fokusnya padaku.
"Ada apa, Pangeran?"
Aku menelan saliva. Dalam hati ku berdoa pada Dewa dan Dewi agar dia dapat menjaga rahasia. Aku melihat dia yang masih menunggu dengan tatapan bertanya.
"Rahasiakan kelakuan brengsekku yang kau lihat."
Entah telingaku yang salah mendengar atau apa. Tapi, samar-samar aku mendengar dia mendengus kecil dan berucap, "Kenapa anda harus takut? Anda yang berbuat dan anda juga harus bertanggung jawab."
Aku mendesah kecewa. Dia terlalu realistis dan bertanggung jawab, pasti sulit untuk diajak bekerja sama. Entah setan dari mana, aku malah mendorongnya sampai ke dinding dan mengunci pergerakannya.
"Ah!" Dia memekik kaget karena punggungnya yang terbentur tiang penyangga.
"Rahasiakan itu!" perintahku dengan tatapan tajam. Aku sedikit terkejut saat dia malah ikut menatap tajam padaku.
"Saya bisa saja merahasiakannya, tapi apakah anda berpikir kemungkinan ada yang memergoki anda juga?" tanyanya dengan nada santai. "Dan lagi, apakah sopan seorang pria mendorong gadis, lalu menguncinya?"
Deg!
Apa aku sedang dimarahi perempuan selain ibu? Dadaku berdesir sambil bertatapan dengan kilatan emosi yang tercampur di dalamnya.
Kemudian aku menurunkan tangan dan mundur untuk melepaskannya. Ku lihat dia segera menjauh dari tiang penyangga, lalu menunduk sopan padaku dan berkata, "Mohon maaf jika saya lancang, Pangeran. Saya memang bisa merahasiakannya, tapi apa anda yakin tak ada yang melihat kelakuan anda selain saya?"
Aku terdiam memikirkan pertanyaannya. Saat melakukan hal itu, aku memang menurunkan rasa waspada karena terlalu terhanyut sampai lupa mendeteksi orang yang mendekat dengan mana.
"Jika sampai ketauan, apa anda tidak memikirkan bagaimana perasaan raja dan ratu saat mengetahuinya?" tanya gadis itu lagi. "Saya yakin mereka akan kecewa pada anda, terlebih lagi ratu. Dia juga seorang wanita, pastinya dia merasakan bagaimana jika diperlakukan manis tanpa dinikahi."
Aku mengeraskan rahang mendengar ceramah yang terlontar dari bibir penuhnya. Bukankah kelakuannya sudah terlalu lancang untuk menceramahi seorang pangeran?
"Ka–"
Dia menatap lurus padaku dengan kedua ujung alis yang terangkat. "Maaf, Pangeran. Apa saat memperlakukan wanita seperti itu, anda pernah berpikir bagaimana jika ratu diperlakukan seperti itu juga?"
Aku tersentak dengan tangan yang mengepal kencang. Akalku mencerna setiap pertanyaan yang terlontar dari bibirnya dengan cermat. Dan saat itu ku sadari, bahwa aku tak pernah memikirkan perasaan dan raut wajah kecewa ibu yang mengetahui bahwa aku seorang pangeran casanova. Yang aku pikirkan hanyalah mencari seorang pasangan hidup dan tanpa disadari aku sudah berbuat terlalu jauh.
"Kau benar," gumamku dengan kepala yang sedikit tertunduk malu.
Aku merasakan tepukan lembut pada lengan kanan bagian atas dan membuatku mendongak. Manik berwarna hitam itu menatap lurus dan tulus padaku, bibirnya tersenyum tipis seperti memaklumi kesalahanku.
"Tidak apa-apa, Pangeran. Anda berhak salah, tapi jangan pernah lupa untuk sadar akan kesalahan."
Bibirku sedikit terbuka menatapnya yang terlihat seperti Dewi Bulan pada malam ini. Dadaku berdesir hangat dan jantungku sedikit bergetar.
"Em, Pangeran? Pesta ulang tahun saya sudah dimulai, apa anda ingin kembali ke aula utama?" tanyanya memecah kekagumanku. Anggukan kepala menyampaikan persetujuanku atas ajakannya.
Dia tersenyum lebar sambil menggenggam erat hadiah ulang tahun dariku. Senyumannya membuat secercah harapan pada masa depanku.
"Nah, begitu dong. Anda lebih tampan saat tersenyum," pujinya yang membuatku sedikit malu.
Oh, malu? Ya Dewa ... apakah dia pemilik hati yang sedang kucari?
Dia menepi dan memberikanku jalan untuk ke aula utama. "Silakan anda jalan lebih dulu, Pangeran."
Namun, aku tak melakukannya dan malah menarik tangannya untuk berjalan di sampingku. Dia terlihat kaget dengan apa yang ku lakukan.
"Bukannya ini tidak boleh?"
Aku menggeleng sambil tersenyum miris. "Kau bertanya seperti itu, tapi sudah memarahiku. Dan juga, aku ingin kau berjalan di sampingku untuk waktu yang lama."
Aku mendengar tawa dari bibirnya sehingga membuatku menoleh dan menatapnya sinis. Dia menunjukku masih dengan tawanya.
"Wow, apa Pangeran jatuh cinta pada saya?"
Dasar gadis satu ini!
Aku tersenyum tipis menanggapinya, kemudian menatap lurus pada lorong yang masih harus kami lalui. "Sepertinya iya."
"Saya baru saja berumur delapan belas tahun," katanya sambil memanyunkan bibir yang sudah dilapisi dengan pewarna merah muda.
"Dan aku berumur dua puluh lima tahun. Jarak yang tidak terlalu jauh, bukan? Kurasa kita cocok," ujarku untuk menarik perhatiannya.
Dia tersenyum kecil sebelum memalingkan wajah. "Itu hanya menurut anda, bukan saya."
"Baiklah, aku akan membuatmu setuju dengan kecocokan kita."
"Dengan cara?"
Aku tak menjawab, tapi berjalan lebih dahulu, kemudian berbalik menghadapnya yang ikut berhenti. Aku membungkuk seraya mengulurkan tangan dan berkata, "Maukah kau Anindya Torez untuk berdansa malam ini denganku?" Aku mengulurkan tangan dalam waktu yang cukup lama karena dia hanya memandang tanganku saja. "Oh, apakah kau bisa berdansa?"
Sontak dia tersenyum riang dan langsung menerima uluran tanganku. "Itu yang harus anda tanyakan dulu pada saya jika ingin mengajak berdansa."
Kami berjalan dengan bergandengan tangan ke aula utama. Sebelum sampai di sana, aku sempat bertanya padanya apakah dia betul-betul bisa berdansa atau tidak. Namun, dia malah menyuruhku untuk diam dan lihat saja nanti di aula utama.
Peringatannya itu sukses membuatku meringis ngeri. Bagaimana kalau dia tak bisa berdansa dan malah menginjak-injak kakiku?
Ya Dewa ... tolong selamatkan kedua kakiku ini ....
***
Aku berlarian di koridor Istana Gading pada tengah malam, masih memakai setelan pesta. Aku mengerem tubuh saat menemukan beberapa dayang yang masih terbangun.
Mereka menunduk dan akan mengucapkan salam penghormatan, namun ku tolak.
"Ratu sedang di kamar raja, kan?"
Mereka kompak mengangguk dan menjawab, "Benar, Pangeran."
Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung berlari lagi dengan jubah yang berayun ke sana kemari. Kaki jenjangku berbelok ke arah kanan dan berhenti tepat di tengah-tengah koridor, di mana kamar utama raja berada.
Langsung saja ku ketuk keras pintu tersebut dengan tak sabar.
"Yang Mulia, Ibu, ini aku Jahankara!"
Aku mendengar suara ibu yang berteriak untuk menunggu. Yah, aku pasti mengganggu waktu mereka karena para penjaga pintu sudah tak ada. Tapi yang akan ku sampaikan lebih penting dari apapun.
Pintu besar itu terbuka dan menampakkan ibu serta ayah yang menatapku dengan sinis.
"Tidak sopan mengetuk pintu keras-keras," tegur ayah dengan wajah tegasnya.
Aku hanya tersenyum tipis menatap keduanya dan berkata, "Aku ingin menikah."
Sontak kedua mata orang tuaku terlihat seperti akan keluar dari tempatnya dengan raut yang tak bisa ku deskripsikan.
———
Mungkin 1 atau 2 bab lagi Jahankara POV akan selesai :D