***
"Jangan menilai buruk seseorang, hanya karena kau tak menyukainya."
***
Setelah sampai di kamar pribadinya, Jahankara mengganti pakaian kebesaran menjadi pakaian bangsawan, kemudian memejamkan mata mencari keberadaan Gasendra melalui mananya. Selepas menemukan mana milik Gasendra, dia menggeram kesal dengan apa yang dilihatnya.
Anak itu sedang asik menghabiskan waktu petang bersama seorang gadis bangsawan dan tidak memikirkan tanggung jawabnya sebagai pangeran di istana.
Jahankara mengurut kening sambil menghela napas panjang saat mengingat surat Gasendra yang berisi perizinan untuk cuti dan melamar seorang gadis di Urdapalay. Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama. Dia langsung menjentikkan jari dan muncullah sebuah boneka tiruan dirinya yang memiliki aliran mana juga, tapi tidak sekuat dengan yang asli.
Setelah dirasa boneka tiruannya cukup sempurna, Jahankara menjentikkan diri dan berteleportasi ke Urdapalay.
***
"Yang Mulia?!" kaget Balges saat melihat Raja Agung Mahaphraya muncul di ruang tamu keluarga Bangsawan Arya. Saat itu juga, tiga orang yang berada di ruangan langsung berdiri dan memberikan salam penghormatan.
Balges menghampiri Jahankara dengan wajah panik. Dia sempat menelan saliva dengan gugup saat berhadapan langsung dengan pria tua yang terdiam dengan tatapan menyelidik. Sementara pasangan suami istri Bangsawan Arya saling melirik menanyakan kedatangan sang raja yang kini berada di rumah mereka.
"Ada gerangan apa Yang Mulia ke sini?"
Jahankara mengeraskan rahang saat mendengar pertanyaan Balges.
Bukankah sudah jelas mengapa dia sampai merepotkan diri berteleportasi berpuluh-puluh kilometer ke sini?
"Mana Gasendra?" tanya Jahankara singkat.
Dia tidak bisa berlama-lama tinggal di Urdapalay karena masih banyak pekerjaan yang menunggu di istana. Tapi, sebagai seorang ayah, dia juga memiliki pekerjaan untuk mengurus anak tunggalnya yang sudah dewasa.
Oleh karena itu, dia rela jauh-jauh ke Urdapalay hanya untuk menyeret Gasendra agar kembali lagi ke istana, tanpa harus menikahi gadis manapun.
"Saya tidak tau, Yang Mulia. Pangeran langsung pergi begitu diizinkan oleh Tuan Arya," jawab Balges sejujur-jujurnya.
Manik Jahankara bertemu dengan Yasawirya dan menciptakan kilatan tak suka melihatnya. Yasawirya tak gentar meski ditatap tak suka secara terang-terangan oleh sang raja.
Bukan salah dia juga kalau mengizinkan Gasendra menikahi putri satu-satunya. Justru yang merasa dirugikan adalah dirinya sendiri karena harus kehilangan Arunika.
Jahankara memutus kontak mata dengan Yasawirya, kemudian bertanya, "Kau Ayah gadis itu?"
"Ya, Yang Mulia." Yasawirya mengangguk pelan.
"Dimana anakmu sekarang?"
"Di taman pribadinya, Yang Mulia."
Jahankara memalingkan wajah, kemudian bergumam kesal. Ternyata yang dilihatnya tadi adalah taman pribadi. Pantas saja dua orang yang dimabuk cinta itu tak malu untuk menyesap manis satu sama lain.
"Yang Mulia?"
"Balges, telepati dia sekarang!" titah Jahankara yang membuat Balges mengangguk dan langsung menghubungi Gasendra.
Ctas
Balges membuka mata, kemudian menatap Jahankara sambil menggeleng.
"Diputus, Yang Mulia."
Jahankara mengeraskan rahang dengan tatapan yang semakin dingin pada Bangsawan Arya. Sepanjang hidupnya, Gasendra tidak pernah membangkang dengan perintahnya. Tapi, semenjak kenal dengan gadis Bangsawan Arya, sikap Gasendra mulai berani dan berubah.
"Coba lagi!"
Carelia menggandeng tangan Yasawirya yang berada di sampingnya, lalu berbisik, "Seingatku wajah Yang Mulia tidak pernah sedingin ini."
Bisikan dari Carelia itu membuat Yasawirya menoleh dan melotot pada istrinya.
"Maksudku ... yang di batu rekaman tidak sampai sedingin ini, Yasawirya." Carelia malah memperjelas bisik-bisik rahasia itu pada suaminya.
'Ya Dewa ... aku lupa istriku memang seperti ini.'
Yasawirya mengabaikan sikap spontan Carelia dan mengalihkan tatapan, menunggu telepati Balges terhubung dengan calon menantu, kalau jadi maksudnya.
"Sudah, Yang Mulia. Pangeran Gasendra akan segera datang," kata Balges setelah membuka mata.
"Baguslah kalau begitu." Jahankara mengalihkan tatapan dari Balges ke dua orang di belakangnya dengan pandangan tak suka.
"Gasendra memang sudah mendapatkan izin dari kalian. Tapi, tidak dariku."
Seketika bahu Carelia turun dengan helaan napas kecewa. Kalau begitu, dia akan kehilangan calon menantunya yang sangat tampan dan gagah.
"Ya, Yang Mulia. Itu juga keputusan anda," sahut Yasawirya menerima dengan senang hati. Dia juga tidak ingin kehilangan Arunika secepat ini, apalagi usia putrinya itu masih belia.
Saat keheningan tercipta di ruang tamu keluarga Bangsawan Arya, Carelia menyadari bahwa mereka masih berdiri dan dia belum menyambut kedatangan sang raja dengan sewajarnya.
"Yasawirya, kita belum menyambut kedatangan seorang raja dengan benar," bisik Carelia. "Ayo ajak Yang Mulia dan Tuan Prajurit untuk duduk di sofa."
'Benar juga!'
Yasawirya dan Carelia berjalan menghampiri Jahankara yang menaikkan sebelah alisnya melihat perbuatan tiba-tiba dari mereka.
"Yang Mulia, silakan duduk dulu selagi menunggu Pangeran dan putri saya datang," pinta Yasawirya menundukkan kepala untuk mengundang sang raja beramah tamah di rumahnya. Di samping Yasawirya, ada Carelia yang juga menunduk sambil tersenyum tipis.
Ditatapnya Bangsawan Arya itu dengan sinis. Matanya beralih menatap Balges yang juga mengharapkan dirinya agar duduk terlebih dahulu selagi menunggu Gasendra dan Arunika.
Jahankara terdiam sebentar, kemudian melangkah dan duduk di salah sofa dengan menatap lurus pada pintu ruang tamu keluarga. Menunggu Gasendra dengan sabar, di tengah-tengah kesibukannya.
Tiga orang yang berdiri tak jauh dari lampu, memandang Jahankara sambil tersenyum kecil.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Tiba-tiba Jahankara menoleh dengan tatapan tak suka. Dia sangat-sangat tidak nyaman ditatap terang-terangan dengan senyuman tipis yang terukir di wajah mereka.
Mereka menggeleng bersamaan sambil tersenyum dan menjawab, "Tidak ada apa-apa, Yang Mulia."
"Apa karena aku duduk di sini, kalian menganggapku sudah memberi izin untuk Gasendra?" tanya Jahankara dengan kecepatan nada seperti tombak yang dilempar dan diselimuti dengan es.
"Tidak sama sekali, Yang Mulia."
"Kalau begitu jangan tersenyum. Aku tak suka melihat senyuman itu ada di wajah kalian," Jahankara memalingkan wajah dengan wajah yang dibuat tanpa ekspresi, "seperti sedang meledekku saja," sambungnya.
***
Dua pasangan itu berlari sambil bergandengan tangan menuju ruang tamu keluarga. Wajah pria yang memimpin pelarian itu terlihat panik dengan keringat yang mulai bermunculan di pelipisnya.
"Sebenarnya ada apa, Pangeran?"
"Sudah, ikut saja."
Setelah berlari melewati puluhan lorong dan koridor, akhirnya mereka sampai di depan pintu ruang tamu keluarga.
"Atur napasmu dulu, Arunika." Gasendra menumpu tangan kanan pada dinding.
"Sudah, Pangeran." Arunika mengangguk, kemudian pria itu membuka pintunya.
Krieet
Cahaya lampu terang di ruangan, langsung mengisi retina. Mereka menemukan sang raja yang duduk dengan camilan yang tersedia di atas meja.
Arunika menoleh ke kanan dan menemukan orang tua serta Tuan Prajurit berdiri di sana.
Carelia dan Balges tersenyum melihat mereka yang baru datang dengan bergandengan tangan. Sementara itu, Yasawirya menggerutu kesal melihat tangan putrinya yang digenggam erat oleh Gasendra, seperti tak rela melepaskan sesuatu yang amat berharga untuknya.
"Yang Mulia," panggil Gasendra pada pria yang tubuhnya tiba-tiba menegang.
Jahankara menghela napas, kemudian mengalihkan tatapan dengan lirih. Bibirnya sempat menggumamkan sebuah nama yang tak bisa didengar oleh siapapun. Dia berusaha menekan seluruh rasa rindu di hati, kemudian menoleh dan menatap pada putranya lagi.
"Kenapa Yang Mulia ada di sini?" Gasendra masih bertanya di tempat tadi tanpa ada niat untuk mendekat pada sang raja.
"Tidak ada Yang Mulia di sini. Aku datang sebagai Ayahmu," tegas Jahankara.
Gasendra memalingkan wajah sambil membuang napas kasar.
"Kenapa Ayah di sini?"
"Aku perlu bicara empat mata denganmu."
———