"It's a father's duty to give his sons a fine chance." —George Eliot, Middlemarch
***
Pintu terbuka lebar dan menampakkan Gasendra yang menggenggam tangan seorang gadis sambil berjalan masuk. Setidaknya itulah yang dilihat oleh Jahankara sebelum dia benar-benar melayangkan pandangan pada wajah gadis di samping putranya.
Tubuh Jahankara menegang, jantungnya seakan berhenti berdetak dan mencelos melihat wajah serta perawakan gadis yang berekspresi kebingungan di depan sana. Lidah Jahankara spontan menggumamkan sebuah nama yang selama dua puluh tahun tertahan di tenggorokan.
"Anindya," gumam Jahankara hampir tak ada suara.
Sungguh, wajah dan perawakan Arunika sekilas terlihat mirip dengan mendiang ratu, Ibu kandung Gasendra.
Apa Gasendra jatuh cinta dengan Arunika karena auranya yang familiar dengan sang ibu?
Hati Jahankara serasa dicengkram kuat oleh rasa rindu pada mendiang istrinya. Rasa rindu itu menguar dan mendobrak segala kenangan suka duka yang tercipta di antara mereka. Bola mata Jahankara melihat ke kanan bawah dan berubah menjadi sendu mengingat saat-saat terakhir Anindya yang terkulai lemas dengan tubuh mendingin di pangkuan.
"Yang Mulia?"
Jahankara tersadarkan oleh panggilan dari Gasendra. Dia menghela napas berat, mendorong segala kenangan bersama Anindya agar kembali terkubur di lubuk terdalam hatinya. Dia tak boleh membiarkan emosi dari kenangan-kenangan itu menguasainya, jika tak ingin terlihat lemah.
Biarlah hatinya menjadi dingin, beku, dan suram.
"Kenapa Yang Mulia ada di sini?"
Jahankara menelan saliva untuk membasahi tenggorokan yang seketika mengering, lalu menatap serius pada putra tunggalnya.
"Tidak ada Yang Mulia di sini. Aku datang sebagai Ayahmu," tegas Jahankara.
'Yang Mulia ... jika nanti terjadi sesuatu pada saya, tolong jaga Gasendra dan anak ke dua kita.'
Ngiinggg
Telinga Jahankara berdenging saat sekelibat pesan terakhir Anindya malah muncul lagi ke permukaan. Dia memejamkan mata sambil mengencangkan urat-urat di leher dengan napas yang memburu. Hal yang dilakukan olehnya, malah terlihat seperti sedang murka di mata orang lain. Padahal nyatanya ... sang raja sedang meredam semua bisikan-bisikan indah namun menyakitkan dari masa lalu.
"Kenapa Ayah di sini?"
Jahankara terkunci karena tak sengaja bertatapan dengan manik besar nan indah milik Arunika.
"Aku perlu bicara empat mata denganmu."
Tak pernah terbayang sekali pun oleh Jahankara, kalau gadis Arya itu sukses menyihir dirinya agar melunak. Sampai niat awal untuk menyeret Gasendra kembali ke istana dibatalkan, dan diganti dengan sebuah ide konyol yang mengajak putranya untuk bicara empat mata.
***
Langkah kaki terdengar jelas di lorong dan koridor yang sepi tanpa ada para dayang maupun pelayan yang berseliweran. Jam kerja mereka sudah selesai berdasarkan aturan dari Bangsawan Arya.
"Saya tidak tau kenapa Ayah ingin mengajak bicara," desis Gasendra yang berjalan di belakang ayahnya.
Bukankah semua penjelasan sudah dia lampirkan dalam surat yang dititipkan oleh dua prajurit kepercayaan Balges?
'Hah ... apa surat itu tidak sampai?'
Gasendra tersenyum miring mengingat ancaman pada dua prajurit itu jika suratnya tak sampai ke tangan raja.
Jahankara tak menanggapi. Dia berjalan menyusuri lorong demi lorong dengan tangan melingkar di belakang dan wajah serius yang terpancar.
Beberapa saat lalu, Arunika mengizinkan mereka untuk bicara empat mata di tamannya. Tentu saja Jahankara langsung menerima dengan senang hati karena dia tahu kalau taman itu tidak bisa dimasuki oleh sembarang orang.
"Memangnya Ayah tidak banyak pekerjaan sampai jauh-jauh datang ke sini?"
"Kau tau sendiri betapa sibuknya aku."
Sebuah tamparan jawaban yang membangunkan Gasendra dari mimpinya. Inilah Ayahnya. Seorang Ayah sekaligus raja yang selalu menghabiskan waktu di ruang kerja selepas Ibu pergi untuk selama-selamanya.
"Kalau begitu, kembali saja. Tidak usah repot-repot mengurus saya," usir Gasendra tersenyum kecut.
Jahankara menghentikan langkah tepat di tengah-tengah koridor, kemudian berbalik menatap Gasendra dengan manik yang berkilat.
"Aku datang ke sini sebagai Ayahmu, bukan seorang raja. Dan jangan mengajakku bicara sebelum kita sampai di taman gadis itu," peringat Jahankara dan berbalik untuk melanjutkan langkah.
Gasendra memutarkan bola mata, lalu mengejar langkah sang ayah.
"Namanya Arunika."
"Aku tak mengingat nama yang tak penting," putus Jahankara yang membuat Gasendra menghela napas kasar.
"Dia penting," tegas Gasendra tak mau kalah. Tapi, ketegasannya dianggap angin lalu oleh sang raja.
Cobaan untuk hari ini terasa cukup berat. Selepas mendapat izin dari Tuan Arya, dia harus menyatakan cinta pada Arunika, lalu setelah itu sang ayah malah datang juga ke sini.
Gasendra kira surat yang dikirimnya akan membuat sang raja mengiakan saja karena pria tua itu terlihat tak memedulikannya lagi.
Ternyata dia salah!
Cobaannya makin bertambah seiring dengan kedatangan Jahankara yang sudah pasti akan melayangkan bermacam-macam pertanyaan padanya.
'Huh, apa boleh bicara empat mata sampai larut malam di rumah orang?'
***
"Kau benci padaku?" Satu pertanyaan lolos dari bibir Jahankara yang membuat sang pangeran melongo.
Benci?
Perasaan pada sang ayah tak bisa disebut sebagai benci. Kebencian adalah suatu hal yang buruk dan tidak disukai oleh Para Dewa dan Dewi.
"Tidak, saya tidak pernah membenci Ayah," jawab Gasendra yang berdiri di tengah taman dan Jahankara yang berada di dekat bunga-bunga.
Jahankara memicing menatap putra tunggalnya. "Kau tidak membenciku setelah apa yang aku lakukan selama ini padamu?"
"Saya tidak merasakan kebencian itu pada Ayah," tutur Gasendra. "Daripada benci, yang saya rasakan lebih tepat disebut dengan kecewa dan kesal." Gasendra menatap lirih pada sang ayah.
Ini pertama kalinya Ayah dan anak itu berbicara secara terang-terangan dan melibatkan perasaan setelah Anindya wafat. Bahkan pada pembicaraan kali ini, Gasendra sudah hampir melepas semua yang dia rasakan.
Sang pangeran melangkah pelan mengelilingi taman yang hanya diterangi oleh sinar temaram.
"Saya kesal saat Ayah mengatur hidupku. Saya kesal saat Ayah tutup telinga soal keinginanku. Saya kesal saat Ayah menikahkan ku dengan Agni," ungkap Gasendra saat ingatan buruk muncul secara mendadak di kepala. Dia menoleh sambil tersenyum tipis pada sang ayah, "dan saya kecewa saat Ayah menjebakku."
Jahankara menatap lurus melihat seutas senyuman tipis yang mewakili rasa kesal dan kecewa selama ini. Hatinya serasa dicubit dan dipukul dengan keras. Dia sadar betul dengan apa yang dilakukannya pada Gasendra. Mengikatnya dengan kerajaan, mengatur tanpa mendengar keinginannya, dan yang paling parah ... dia menjebak putranya sendiri.
Kalau dipikir-pikir lagi, Gasendra bagaikan pangeran boneka yang terjerat dalam penjara dengan kondisi mewah yang penuh dengan kesengsaraan.
"Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan." Lidah Jahankara terasa kelu saat memberikan pembelaan untuk dirinya. Sebuah pembelaan alasan yang melibatkan pengalaman dan perasaan pribadi.
Terdengar suara kekehan miris dari Gasendra. Urat-urat lehernya menegang, tapi tatapannya tetap sendu bagai langit berwarna kelabu. Tenggelam dalam kesedihan, kesepian, dan kebosanan sepanjang dua dekade, hampir sama seperti Jahankara.
"Saya tau alasan itu."
Bayang-bayang seorang wanita dengan rambut yang disanggul anggun terlintas di kepala mereka dan membuat senyum yang sangat tipis.
Masing-masing dari mereka tenggelam dalam kerinduan yang amat mendalam. Taman pribadi Arunika dan langit yang menggelap seakan menjadi saksi bisu dari kerinduan dua pria yang sangat mencintai sosok hebat itu.
"Apa kau pernah mencintai Agni?" tanya Jahankara memecah kesunyian yang terbalut cukup lama.
Sudut bibir Gasendra berkedut, merasa geli dengan pertanyaan yang dilontarkan sang ayah.
Kenapa Jahankara tidak menanyakan itu saat menikahkannya dengan Agni? Kenapa baru sekarang?
Dia menggeleng dan menjawab, "Sekali pun tidak pernah."
Jahankara menghela napas panjang dan berat. Dia benar-benar terlihat sebagai ayah dan suami terburuk di dunia. Di akhirat atau di kehidupan selanjutnya, pasti dia akan terkena tamparan keras dari sang istri karena tak becus mengemban tugas.
"Kau masih ingin menikahi gadis itu?"
Gasendra tersenyum menatap batu besar, tempat di mana Arunika biasa duduk sambil memainkan sitar. Bayang-bayang adegan mesra tadi sore terlintas manis di kepala dan membuat tubuhnya meremang.
"Bukankah sudah jelas?"
Jahankara terdiam di tempat. Gasendra memang putra kandungnya. Sifat keras kepala dan setia dalam cinta, sangat identik dengan dirinya.
"Kembali ke istana dan bawa dia ke sana."
Setidaknya saat bertemu dengan Anindya di akhirat maupun kehidupan selanjutnya, Jahankara akan menjadikan keputusan itu sebagai tameng karena dirinya pernah membuat Gasendra bahagia walaupun hanya sekali seumur hidup.
———
Anindya : Nama dari Ratu Agung Mahaphraya, istri satu-satunya Jahankara, ibu kandung dari Gasendra.