***
Usai mengurus dan mempercayakan segala surat menyurat untuk laporan ke Jahankara dan juga melepas kepergian para pasukan Mahaphraya. Gasendra dan Balges memutuskan untuk pergi ke penginapan dan menyewa dua kamar untuk masing-masing.
Mereka butuh tempat tinggal karena tenda-tenda mereka ikut dibawa juga oleh para prajurit untuk disimpan kembali di barak.
Balges, pria itu akhirnya ikut juga bersama Gasendra karena tidak ingin membiarkan sang pangeran berkeliaran tanpa pengawasan. Walaupun kekuatan sihir dan kemampuan pedang yang mumpuni, tapi tetap saja berbahaya membiarkan satu-satunya pewaris takhta berkeliaran dengan bebas selama satu bulan.
"Ambil ini." Gasendra memberikan sebuah kunci bermata ruby pada Balges yang langsung diterima dengan kedua tangan oleh pria itu. "Kamarku yang bermata Topaz. Kalau ada apa-apa, ketuk saja pintu kamarnya."
"Baik, Pangeran." Balges menunduk hormat, lalu membiarkan sang pangeran berjalan ke kamar untuk istirahat.
Setelah Gasendra pergi, Balges pun mencari kamarnya untuk mengistirahatkan tubuh setelah begadang semalaman. Kata Gasendra, besok siang mereka akan pergi ke Pasar Urdapalay untuk bertemu dengan Tuan Arya dan juga Arunika.
***
Pria tua itu menyandarkan diri pada balkon kamarnya seraya menghela napas terus menerus. Tatapannya memandang pohon-pohon yang menjulang tinggi di halaman rumah. Dia menoleh saat suara yang familiar terdengar di telinga.
"Masih belum mengambil keputusan?" tanya Carelia sambil membawa sebuah nampan yang berisi susu putih dan juga kue kering. Dia meletakkan nampan tersebut di atas meja kecil yang berada di sana, kemudian menghampiri sang suami dan berdiri di sampingnya.
"Aku dengar dia sudah menyelesaikan misi pemberontakan. Dia pasti akan menemuimu dan juga Arunika secepat mungkin."
Yasawirya mengangguk pelan dengan tatapan sayu. "Ya, dia pasti akan menemui kami."
"Lalu apa lagi yang kau pikirkan, Sayang?" Carelia membelai lembut puncak kepala Yasawirya yang sedikit lebih tinggi darinya.
Yasawirya tak menjawab. Dia malah merangsek masuk ke dalam pelukan Carelia dan menyandarkan kepala di pundak sang istri yang menurutnya sangatlah nyaman.
Hembusan demi hembusan dia keluarkan di pundak sang istri dan membuat Carelia bergidik geli.
"Hentikan hembusan napasmu itu! Aku merasa geli tau!" protes Carelia.
Seolah tuli, Yasawirya malah mempererat pelukannya pada sang istri dan meniup lembut perpotongan leher dan pundak sang istri dengan sedikit menggoda.
"Hei ...." Carelia memprotes dan menahan geraman saat kulit tipisnya dihisap lembut oleh sang suami. "Yasawirya?"
"Ya, Sayang?" Yasawirya menjawab, namun tak menghentikan kegiatannya yang sedang menyapu basah perpotongan leher Carelia.
"Apa yang hmm kau uhh lakukan?" Carelia menggeliat dalam pelukan erat suaminya. Dia memekik saat kakinya tak lagi menapak di tanah. Yasawirya menggendongnya dan berputar-putar sambil tertawa kecil melihat Carelia yang memekik ketakutan.
Yasawirya dan dirinya tak lagi muda seperti dulu, jika salah keseimbangan mereka bisa jatuh. Dan Carelia tak mau hal itu terjadi.
"Yasawirya, hentikan! Aku pusing!" pekik Carelia sambil memeluk erat leher sang suami.
Yasawirya yang sedang tertawa melepas kepenatannya pun tetap tuli. Dia malah berlari membawa Carelia yang masih digendongannya untuk masuk ke dalam kamar.
"Yasawirya! Susu dan kue keringku!"
"Anggap saja amal untuk semut. Fokus saja padaku, Sayang ...."
"Yashawiryahh ...."
Pada malam yang terang benderang, dua insan itu sibuk memuja di atas ranjang tanpa mempedulikan usia mereka yang sudah menua.
***
"Permisi ...."
"Ya?" Arunika mendongak saat mendengar suara sapaan di toko perhiasannya. "Pangeran? Ah ... semoga keberkahan dan keselamatan selalu diberikan oleh Para Dewa dan Dewi untuk anda, Pangeran Gasendra."
Gasendra menganggukkan kepala, kemudian bertanya, "Bagaimana kabarmu?"
"Kabar baik, Pangeran." Arunika menjawab sembari mengambil dua kursi yang berada tak jauh dari tempatnya. Dia meletakkan dua kursi tersebut di samping perhiasannya.
"Silakan duduk, Pangeran dan Tuan ...?" Arunika memiringkan kepala melihat pria yang berdiri di belakang Gasendra.
"Balges."
Arunika tersenyum lebar sambil bertepuk tangan. "Ah ... Tuan Balges. Saya ingat anda datang bersama Pangeran ke taman pribadi saya waktu itu," kata Arunika.
Dua pria itu duduk di kursi kayu yang disediakan oleh Arunika. Potongan kaki kursi yang pendek, membuat kaki mereka tertekuk.
Gasendra celingukan mencari keberadaan pria tua yang ingin ditemui dan diajak bicara saat ini juga. Namun, dia tidak menemukannya dan memutuskan untuk bertanya pada gadis yang mengukirkan senyum di depannya.
"Tuan Arya ... kemana?"
"Ayah di rumah. Dia tidak bisa ikut menjaga toko, katanya lelah karena habis bekerja semalaman," jelas Arunika. Matanya menangkap gerak-gerik kedua pria di depannya yang duduk dengan tak nyaman karena kaki panjang mereka yang tertekuk. "Sepertinya saya harus mencari kursi yang lebih tinggi untuk kalian."
"Tidak usah, Arunika. Kami tidak apa-apa duduk seperti ini," tolak Gasendra dengan senyum yang terukir di wajahnya. "Ya kan, Balges?" Dia menoleh pada prajurit yang duduk di sampingnya.
"Tidak apa-apa, Nona." Balges tersenyum simpul.
Arunika menggelengkan kepala, menolak larangan Gasendra. "Tunggu di sini! Aku akan membawakan kursi dan camilan untuk kalian." Gadis berumur tujuh belas tahun itu berlari meninggalkan keduanya.
Gasendra dengan refleks langsung bangkit dan ikut mengejar Arunika juga. Sedangkan Balges tetap berada di toko perhiasan, karena kalau dia ikut mengejar, maka toko Bangsawan Arya tidak akan ada yang menjaga.
Manik Balges membola saat mengingat sesuatu. Dia menoleh ke arah pangeran dan Arunika saat pergi tadi.
Kalau ada yang ingin membeli perhiasan, Balges harus menjawab dan menjual dengan harga berapa?
'Astaga ....' Balges menepuk dahinya sambil menggelengkan kepala menatap perhiasan-perhiasan yang dijajakan di depannya.
***
"Kau memang suka berlarian ke sana ke mari, ya?" tanya Gasendra sambil membawa dua buah kursi kayu yang dipinjam Arunika dari kedai makan.
"Tidak juga. Saya hanya berlarian jika ada hal yang penting dan mendesak saja," jawab Arunika dengan tangan kanan dan kiri yang memegang kantung berisi camilan dan dua gelas berisi teh untuk tamu-tamunya.
Gasendra tersenyum kecut saat mendengar itu. Sepertinya semua hal dibuat penting dan mendesak oleh wanita di sampingnya.
"Kalau saya boleh tau, Pangeran ada urusan apa dengan Ayah?" Arunika menoleh dan menatap wajah Gasendra. Dia terpana saat menyadari garis-garis tegas di rahang Gasendra yang saat ini ditumbuhi dengan bulu-bulu halus.
'Ya Dewi ... tampan sekali ....'
"Arunika?" Gasendra memanggil gadis yang melamun menatap wajahnya. Padahal dia sedang menjelaskan mengapa dia mencari Tuan Arya dan mengutarakan keinginan untuk datang ke rumah Bangsawan Arya sore ini. Tapi, gadis di depannya malah tak mengindahkan penjelasan darinya.
Sebuah ide jahil, tiba-tiba lewat di otak Gasendra. Dia memajukan wajahnya, lalu kembali memanggil Arunika dengan suara yang sangat lembut.
"Arunika ...?"
Gadis itu mengedipkan mata beberapa kali, sebelum akhirnya memundurkan kepala karena terkejut dengan wajah Gasendra yang tiba-tiba sudah berada di depannya dengan jarak hanya satu jengkal saja. "Y–ya ...?"
"Kau sedang melihat apa?" Gasendra bertanya sambil menyunggingkan senyum tampannya.
Tatapan Arunika terkunci dengan manik hitam milik Gasendra. Dia menelan saliva sambil menetralkan detak jantungnya yang mulai berpacu dengan cepat.
"Pangeran sangat tampan," puji Arunika dengan spontan. Setelah itu, dia membungkam bibir dan mengalihkan pandangan ke pedagang yang berjejer di setiap jalan pasar.
'Astaga ... apa yang aku katakan?'
Degup jantung Arunika kian memacu saat ekor matanya melihat Gasendra yang masih terpaku dengan posisi sebelumnya. Arunika menggelengkan kepala, kemudian berjalan lebih dulu meninggalkan Gasendra yang ternyata juga merasakan hal yang sama dengannya.
'Arunika mengatakan aku sangat tampan?'
'Astaga, astaga ... tolong tangkap jiwaku yang akan melayang dengan bebas saat ini juga!"
Dia mengedipkan mata dan tersadar kalau Arunika sudah tidak ada di depannya. Gasendra menoleh ke kiri dan melihat gadis muda itu sudah berlari kecil meninggalkannya lagi di tengah-tengah keramaian pasar.
"Arunika! Tunggu aku!"
Gasendra mengejar gadis tersebut dengan kesulitan karena membawa dua kursi yang cukup besar di kedua tangannya.
"Huh, kalau pakai sihir semuanya akan lebih mudah."
———
Besok ada yang main ke rumah calon mertua, ups><