Seorang bodyguard mengangkat tubuh A yang tidak sadarkan diri akibat pengaruh obat bius dan dimasukkan ke dalam mobil. Pria paruh baya keluar dengan setelan jas hitamnya. Menatap lekat mata sang anak pertama.
Gilang meneguk ludahnya dengan susah payah. "Ayah."
Ayah! Gilang tersenyum kikuk sembari memeluk sang ayah. Dalam hati, ia terus menggerutu dengan kesal. Bagaimana Ayahnya bisa tahu kalo mereka ada disini? Tamatlah riwayatnya.
Satu hal yang membuat Gilang lebih heran. Secepat inikah Ayahnya pulang dari Brazil?
"Jadi ini, kelakuan kalian selama Ayah pergi?" tanya sang Ayah dengan memperhatikan penuh wajah Gilang yang gelegapan.
Ya'ampun!
"Pulang sekarang!" Ayah menarik tangan Gilang untuk naik ke mobil.
"Ehk ayah, Gilang tidak bisa pulang. Bagaimana dengan Aksel?" Tolak Gilang.
"Bodyguard akan menjaganya. Tidak akan ada yang bisa memasukki ruangan itu kecuali Dokter dan perawat."
Gilang menghembuskan nafasnya dengan pasrah. Terpaksa ia harus mengikuti perintah sang Ayah. Dengan malas ia memasuki mobil dan duduk di samping A diikuti sang Ayah yang duduk di samping A juga. Sang Ayah menarik kepala A untuk bersandar di bahunya dan Gilang bersandar di bahu A. Sejenak, sang Ayah tersenyum melihat keadaan kedua putranya masih baik-baik saja.
Mobil mulai berjalan meninggalkan rumah sakit.
"Ayah, kami nanti akan menemani Aksel, ya?" tanya Gilang.
"Ya. Setelah kalian mandi dan makan," jawab sang Ayah.
"Tapi kenapa Ayah bisa tahu kalo kami ada di rumah sakit?" tanya Gilang lagi.
"Dasar! Banyak nanya kamu. Selama ini ada mata-mata yang Ayah suruh untuk memata-matai kalian. Ayah tahu kalian ini sangat nakal."
"Ihkk Ayah!"
Butuh satu jam bagi mereka untuk sampai di kediaman Clovis. Argan sang Ayah menyuruh Bodyguardnya untuk membawa A langsung ke kamar. Sementara Gilang, ia malah terkekeh sembari memeluk Argan yang sontak tersentak ulah putra sulungnya itu.
"Kenapa? Hmmm?"
"Ayah sensian banget deh kayak A. Nurun banget ke anaknya," cetus Gilang. "Ayah, Lang mau mandi dulu."
Chup!
Sebelum pergi Gilang mencium pipi sang ayah yang membuat Argan tersenyum manis. Lantas masuk ke dalam setelah melihat Gilang benar-benar hilang dari hadapannya.
Kini, A sedang terbaring dengan nyenyak di dalam kamarnya. Lebih tepat di atas kasur King Size berwarna hitam itu. Mungkin, obat bius di dalam tubuh A masih belum hilang juga. Makanya A bisa tertidur begitu nyenyak sementara Aksel terbaring di rumah sakit dalam keadaan koma.
Tiba-tiba sebuah lenguhan keluar dari mulut A. Lelaki itu samar-samar membuka matanya. Netranya berulangkali berkedip lantaran cahaya yang silau memasuki matanya.
A terbangun dari tidurnya sembari memegang kepalanya yang terasa sakit.
"Aku ada dimana?" tanya A. Lantas ia melihat sekelilingnya. Rasa aneh bermunculan di hatinya. Bagaimana tidak? A merasa ruangan ini sama dengan suasana kamarnya.
Sekali lagi A melihat sekelilingnya. Kini, ia tahu pasti bahwa ia sedang berada di kamarnya.
"Ini kamarku, tapi kenapa aku bisa ada di sini?" tanyanya.
A kemudian pergi keluar dari kamarnya, apalagi kalo bukan untuk menemui Gilang. Namun, handphonenya yang berdering lantas menghentikan niatnya. Ia memutuskan untuk melihat siapa yang berani mengirim pesan kepadanya.
Setahunya, A tidak mempunyai nomor spesial yang selalu mengirim pesan untuknya setiap hari.
A menekan aplikasi pesan dan betapa terkejutnya ia saat melihat hal yang benar-benar membuatnya terkejut. Bukan hanya terkejut, A merasakan ada yang yang tersayat, tapi bukan lengannya yang baru terluka itu, melainkan hatinya yang begitu sakit bagaikan disayat pisau.
Bagaimana tidak! Foto yang dikirim melalui pesan itu kepadanya adalah foto mantan kekasihnya yang bermesraan dengan seorang lelaki. Sudah tentu, A begitu terluka akan foto itu. Melihatnya saja sudah membuat bulir bening mengalir begitu saja.
A tidak tahu, sekarang hatinya benar-benar sakit. Sakit sekali! Sudah kurang lebih dua tahun A tidak mendengar kabar dari mantan kekasihnya itu. Kini, ia kembali dengan memamerkan foto kemesraannya dengan laki-laki lain?
"Elina. Elin, kau kembali? Apa ini?!" Nafas A memburu sembari menggenggam handphonenya dengan kuat.
Prang!
A melempar begitu saja handphonenya hingga layarnya pecah. Lelaki itu langsung keluar dari kamarnya dengan emosi yag membuncak untuk menemui kakaknya. Tak lupa ia mengambil handphonenya terlebih dahulu.
"Kakak! Kakak! Buka pintunya!" teriak A sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar Gilang.
"Kakak!!"
"Ada apa?!" Bentak Gilang saat membuka pintu dan langsung melayangkan tatapan tajam kepada adiknya itu. Kupingnya terasa ingin pecah mendengar A yang berteriak sangat keras. Ia yakin A pasti bakal menang jika ada perlombaan berteriak massal.
Dasar!
Gilang memberenggut kesal. Bukannya meminta maaf karena telah membuatnya kesal, A malah mendorong tubuh kakaknya itu dan langsung masuk ke dalam kamar Gilang.
"Ehk, tutup panci! Lo bisa gak masuk tanpa teriak-teriak? Telinga gue lama-lama bisa tuli gara-gara lo. Kebiasaan aja!" celetuk Gilang. Ia mengangkat handuknya yang hampir melorot.
Gilang sangat kesal. Adiknya sangat kebiasaan teriak-teriak mulu. Ada masalah langsung teriak-teriak mengetuk pintu kamarnya. Sangat menjengkelkan!
Ia yang habis mandi terpaksa membuka pintu terlebih dahulu sebelum memakai pakaiannya dulu.
"Ada apa kamu kemari? Gak tahu gue baru mandi. Lihat lenganmu? Kembali berdarah lagi."
"Kakak. Hiks ... hiks.... Kakak!" A yang menangis tersedu-sedu memeluk Gilang membuat Gilang menjadi bingung tujuh keliling.
"Ada apa? Kenapa menangis?"
"Elina kak. Elina ngirim foto kemesraannya dengan lelaki sama aku kak," jelas A. Sontak membuat Gilang melotot sempurna.
"What? Bagaimana bisa?"
A melepaskan pelukannya dari sang kakak lalu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian Gilang berjalan ke arah lemari lalu mengambil kaos bermerek Gucci yang terhanger begitu rapi, serta tak lupa dengan celana berbahan katun selutut. Sembari memakai pakaiannnya, Gilang mendengarkan A bercerita.
"Gambarnya sini biar kakak lihat," ucap Gilang setelah selesai memakai pakaiannya.
"ini, Kak." A memberikan kepada Gilang handphonenya yang sudah tak layak pakai itu.
"Ada apa dengan handphonemu?" tanya sang kakak heran.
"Aku lempar karena kesal. Kakak tahu, A sakit hati melihat dia bermesraan dengan lelaki lain. Aku yang seharusnya berada disana kak," tutur A.
Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Lah, lo kok cemburu? Biasa ajalah, perempuan jalang seperti dia gak pantas dapetin kamu. Buat apa lu heboh begini. Lo masih cinta sama dia? Maaf kakak bukannya tambah membuatmu sedih, tapi mencintai perempuan seperti dia gak ada gunanya lagi."
"Mana mungkin aku mencintainya kak, setelah dia membuatku patah hati. Aku akan membalaskan hal yang setimpal kepadanya. Ia telah menyia-nyiakan emas. Kakak tahu itu?"
"Apa? Emas? Kamu emas? Tidak, kau adalah sampah." Gilang terkekeh pelan lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur.
"Daripada mikirin dia, temui ayah. Aku akan menyusul. Setelah ini, kita akan menjenguk Aksel," lanjut Gilang.
A berdecak kesal. "Ayah sudah pulang?"
"He'eh."
"Kok bisa? Cepet banget Brazil ke Indonesia."
"Bukan hanya lu yang bingung, gue juga. Apa jangan-jangan Ayah penyihir. Simsalabim langsung ke indonesia." Gilang menatap A dengan serius.
Jtlak!
A menjitak kepala Gilang membuat lelaki itu meringis kesakitan.
"Lo jangan ngadi-ngadi deh. Kebanyakan nonton Harry potter, lu." A beranjak dari duduknya. Terkekeh sebentar melihat Gilang yang terus mengelus jidatnya.
"Eh, btw Aksel baik-baik saja, 'kan?"
Gilang mendongak. "Itu A. Aksel koma."
"Koma?!"