Guan terperangah saat melihat Jie dan A keluar dari dalam mobil bersamaan. Otaknya kini melesat traveling kemana-mana.
Tak mau tertinggal dengan rasa penasarannya, ia pun menghampiri A dan Jie. Matanya menatap Jie dan A dengan tatapan aneh.
"Apa yang kalian lakukan di dalam mobil?" tanya Guan penuh selidik.
A merasakan ada hawa yang tidak sejuk dari Guan. Dan ini saatnya membuat hawa itu lebih terasa lagi. A mendekati Guan lalu berkata, "Apa coba? Tebak?"
Sontak, mata Guan melotot dengan sempurna. Emosi tiba-tiba meluap begitu saja. Guan langsung menarik lengan Jie untuk dekat dengannya.
"Jie, dia lakuin sesuatu sama lo? Lo gak apa-apa, 'kan?"
A lantas kembali menarik Jie agar dekat dengannya. Sembari merangkul tubuh Jie, A mencolek dagu gadis itu. "Cepat katakan Jie, apa yang kita lakukan di dalam mobil."
Jie menatap aneh kedua lelaki itu seraya bergantian. "Ya, kami melakukan hal yang tidak pernah kau duga." Jie mengedipkan matanya yang sebelah ke arah A.
"Kalian! Jie, lo benar-benar keterlaluan. Gue udah minta maaf dan mau mengubah diriku, tapi kau malah bermain dengannya. Awas saja kau A!"
Guan pergi dengan kekesalan di hatinya. Namun, saat akan pergi A mencekal pergelangan tangan Guan. Guan menatap dengan aneh.
"Terimakasih Guan." Lantas Guan mengerutkan keningnya. Ia tak mau berlama-lama. Semakin lama di sini, itu hanya membuat hatinya menjadi sakit.
'Kau lihat saja nanti A. Berani sekali kau merebut Jie dariku. Aku kan mengambil milikku kembali.'
***
Gilang merasakan kepalanya akan pecah melihat sikap A yang dingin dan lebih pendiam. Kini, mereka sekarang sedang berada di ruangan dimana Aksel dirawat.
"Kamu kemana aja A? Kenapa dengan Jie? Gadis itu sepertinya sangat takut kepadamu?"
Ucapan Gilang hanya ditanggapi deheman oleh A yang sibuk melap seluruh tubuh Aksel supaya tetap bersih.
"Kau kenapa sih? Dari tadi hanya menanggapiku dengan 'yah, gak, yah, hmm, bukan.' Apaan?"
"Iya kak."
"Itu lagi, 'kan? Ayo bicaralah A."
A mengelus wajah Aksel yang matanya sedang tertutup rapat itu. "Kapan lo bangun sih? Kak Gilang terus mengomel nih, kalo lo bangun pasti dia tidak akan mengomel lagi. Ayolah Aksel, dua hari lo belum bangun-bangun juga."
A menangkup kedua pipinya sembari menatap ke depan dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang untuk membangunkan Aksel?
"Aksel kuat kok A. Dia pasti bangun. Lo gak usah khawatir, ya?"
"Bagaimana aku tidak khawatir kak, keluarganya terus menelfonku, dan aku terus berbohong mengatakan Aksel sedang baik-baik saja. Lambat laun, keluarganya pasti akan mengetahui keadaannya."
"Aku tahu. Aku tahu A sekali bagaimana perasanmu. Aku juga sedih melihat keadaan Aksel yang belum bangun juga. Aksel itu udah lebih dari sahabat bahkan dia sudah kita anggap saudara. Sakitnya juga sakit kita A." Gilang merangkul A. Mengusap punggung A seolah memberi kekuatan bagi lelaki itu.
"Aku hanya takut Kak, Aksel gak bakal bangun-bangun lagi." A memeluk Gilang. Mencari ketenangan pada dekapan itu.
Gilang mengelus lembut rambut A. "Positif thinking aja, A."
Gilang memeluk dengan erat adiknya. Ia tahu A sedang menangis, terihat dari bahu A yang berguncang sangat keras. Gilang tak tahan dengan airmata yang terus A keluarkan. Adiknya itu sudah cukup merasa sedih karena ulah Elina, mantan pacar A. Tak bisakah, senyum yang benar-benar senyum terukir di bibir adiknya itu.
Beberapa menit kemudian A melepaskan dekapan itu. Mengusap airmatanya yang meleleh. Gilang yang melihat itu menangkup pipi sang adik, mengusap lembut airmata A.
"Aku ingin keluar sebentar, cari angin." Gilang mengangguk. A butuh angin segar untuk saat ini.
Saat A berniat pergi dari ruangan itu. Namun, ia tiba-tiba berhenti kala melihat Jie tepat di depannya. "Jie?"
"Hai Lang, katanya Aksel lagi sakit, aku mewakili siswa kelas kami untuk menjenguknya. Besok guru-guru baru akan menjenguk Aksel," sapa Jie dengan melambaikan tangan kearah dua lelaki itu. Jie pun menyerahkan buah tangannya kepada Gilang.
"Makasih ya."
"Iya. Sama-sama."
A yang melihat Jie seakan tak menganggapnya ada membuat lelaki itu kesal. Ia kemudian menarik tangan Jie untuk keluar dari ruangan serba putih itu.
Gilang geleng-geleng kepala. "Dasar! Bilang cinta susah amat."
Kini, Jie dan A sedang berada di taman rumah sakit. Mereka berdua duduk di bangku. Mata A menatap lekat wajah Jie. Detik kemudian ia kembali tertawa.
"Lo ingat Guan yang tadi sangat kesal itu? Itu sangat menarik melihat wajah kesalnya yang aneh itu." A tak henti-hentinya tertawa.
"Lo itu ... hahaha. Jahil benar dah. Gue kira lo hanya bisa sombong, ternyata lo lucu juga." Jie ikut tertawa terbahak-bahak. Membuat mereka menjadi bahan perhatian penghuni rumah sakit itu.
"Gue, gue emang sombong, tapi bukan berarti gue gak bisa lucu juga. Gue tampan, gue pintar, juga kaya. Apa sih yang gak dipunya Mr. A?"
"Yang gak lo punya? Gue tahu, cinta." Jawaban Jie itu membuat A terperangah.
"Cinta? Cinta sangat sulit diartikan. Hanya membuat kepalaku pusing saja. Lebih enak sendiri. Lo tahu gak kenapa gue gak percaya sama cinta?"
"Emang apa coba?" tanya Jie penasaran.
"Cari tahu sendiri aja. Gue, 'kan disini sebagai kekasih lo. Jadi, lo harus nurut apa yang gue katakan. Lo gak boleh dekat dengan laki-laki lain selain gue, terlebih Guan. Lo gak boleh jatuh cinta sama gue. Satu lagi, lo harus menjalani ini semua sampai balas dendam gue terlaksanakan."
"Gue mau nanya, bagaimana gue bisa bantu lo bahkan gue gak tahu lo mau balas dendam sama siapa."
"Lo bakal tahu sendiri nanti."
"Ya, sekarang gue harus pergi. Thanks lo udah jenguk Aksel," ucap A. Ia kemudian mengelus rambut Jie membuat Jie melotot tak percaya. Jie juga pulang setelah dirinya lama mencerna setiap rencana yang dikatakan A kepadanya.
A mengusap wajahnya, kulitnya yang putih bersih itu ia lap dengan tisu. Entah kenapa ia tiba-tiba merasakan hawa yang begitu panas saat memasuki rumah sakit. Tiba-tiba aja A pingsan dengan darah yang mengalir di hidungnya.
Melihat itu orang-orang berteriak meminta tolong kepada suster-suster dan Dokter supaya memberikan pertolongan pertama kepada A.
***
Lampu cahaya ruangan remang-remang memberikan pencahayaan kepada A yang tengah tertidur di atas brankar. Lebih tepatnya berpura-pura tidur.
Lelaki itu mengintip dengan sebelah amta yang terbuka untuk melijat sekeliling ruangan yang serba putih itu. Namun, sepertinya ia sendiri di dalam ruangan ini.
A menghela nafas pasrah, tapi tiba-tiba saja ia langsung kembali berpura-pura tidur kala suara pintu berdecih tanda ada orang yang akan masuk ke dalam ruangannya.
"Dok, bagaimana keadaan putra saya?" A mendengat suara yang tidak asing itu baginya. Yap, suara Ayahnya. Lagi dan lagi jantung A berpacu lebih cepat lagi.
Argan tersenyum ketika Dokter itu mengeluarkan sebuah surat.
Lantas Argan berkata, "Terimakasih Dok. Saya akan menebus resep obat ini." Sang Dokter mengangguk kemudian pergi meninggalkan Argan dan A berdua saja.
A yang berpura-pura tidur merasakan ada sesuatu yang hangat menyentuh dahinya. A sadar itu adalah tangan Ayahnya. Sekarang jantung A lebih berpacu lagi. Ia sangat deg-degan.
Tiba-tiba Gilang masuk dengan membawa sebuah kotak makan. Gilang menyerahkan kotak makan tersebut kepada Ayahnya.
"Kata Bodyguard, Ayah belum sempat makan saat kemari. Jadi, makanlah sebentar dulu Ayah," ucap Gilang lalu mengambil duduk di sofa yang telah di sediakan dalam ruangan serba putih itu.
Fasilitas ruangan rumah sakit bagi anak sultan memang rada-rada berbeda dari kita sobat misqueen.
Sang Ayah hanya mengangguk. Perlahan Argan membuka kotak makan itu, dan...
Prang!
Kotak makan itu Argan lempar dengan keras di lantai, membuat A yang berpura-pura tidur lantas membuka matanya. Begitupun dengan Gilang yang sigap berdiri di samping sang Ayah. Gilang menatap A yang terperangah menatap sang ayah.
"Kau sudah bangun?" tanya sang Ayah langsung menoleh ke arah A.
A gelegapan. Ia langsung mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.
"Ayah," ucap A.
"Kau tahu tindakanmu ini membuat Ayah sangat khawatir?! Ayah hampir gila saat mendengar Dokter itu mengatakan kau terkena kanker otak! Katakan, kenapa kau melakukan hal ini A?"
A menunduk tak berani melihat wajah sang ayah yang emosi. Ternyata rencananya gagal lagi.