A menunduk tak berani melihat wajah sang ayah yang emosi. Ternyata rencananya gagal lagi.
"Tatap Ayah A!" Argan berucap dengan intonasi yang tinggi sembari mengangkat dagu putranya supaya menatapnya.
"Apa kau tidak pernah memikirkan betapa khawatirnya Ayah mendengar kau terluka? Tidak ada Ayah yang bahagia saat putranya terluka A," ucap Argan.
"Kemarin lenganmu terluka, sekarang kau berpura-pura sakit dengan bekerjasama dengan Dokter itu? Sebenarnya apa yang kau mau Nak?" Argan terus menatap wajah A yang sendu.
A menatap sang Ayah, lalu menghempaskan tangan Argan dari dagunya. Sontak kelakuan A itu mendapat tamparan dari Gilang.
Gilang dan A sama-sama menatap dengan nanar. Sementara Argan hanya bisa menangis. Ia sungguh tidak tahu, seorang putra saat dewasa akan sangat sulit diatur dikemudian hari.
"Apa salahku? Aku hanya ingin melakukan apa yang aku mau Ayah. Kenapa kalian selalu mengkhawatirkanku? Aku sudah dewasa, dan aku tahu apa yang baik untuk aku lakukan," ucap A.
"Baik. Lakukan apa yang mau kamu lakukan. Namun, jangan harap Ayah akan membiarkanmu. Kamu sudah terlalu Ayah manjakan. Itu sebabnya kau bertingkah gila."
Setelah mengucapkan itu, Argan berlalu pergi meninggalkan ruangan itu yang kini hanya ada A dan Gilang.
A menatap sarkas sang kakak. "Puas?! Kakak puas? Kakak selalu mencampuri urusan pribadiku." A mencabut infus di tangannya lalu keluar dari ruangan itu.
Sementara Gilang, ia hanya berdiri dengan mata yang menatap kosong ke depan. Gilang melihat tangannya yang beberapa menit kemudian telah menampar adiknya itu. Perasaan bersalah menghantui dirinya. Ia tidak ingin menampar A. Sungguh! Ia tidak berniat. Namun, kelakuan A yang kasar terhadap Argan itu mampu menyulut emosi Gilang.
Lantas Gilang kembali duduk. Ia tak habis pikir dengan A, saat melihat foto itu kemarin, tingkahnya menjadi berubah dan sulit untul ditebak.
Apa maksudnya dengan berpura-pura sakit? Di sekolah, Gilang juga bingung dengan A yang sangat dekat dengan Jie. Bukankah A sangat membenci perempuan, tapi kenapa malah bersama Jie?
Gilang harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kini, malam kembali datang. A yang sibuk memakai sweternya di suatu tempat yang agak gelap, dikejutkan akan kehadiran seorang gadis yang tak lain adalah Jie.
A hampir terkena serangan jantung berulangkali karena ulah gadis di hadapannya ini yang malah menyengir kuda ke arahnya.
Jie tersenyum sembari menyodorkan plastik berwarna hitam kepada A. Lantas A yang sudah berganti pakaian rumah sakitnya menjadi pakaian biasa mengambil kantongan plastik itu. Ia membuka kantongan itu dan langsung mengambil nasi bungkus yang Jie beli untuknya.
"Ini ada dua, yang satu punya siapa?" tanya A.
"Punya guelah," sahut Jie.
"Ehk, gak boleh. Lo kekasih gue sekarang. Apa lo tega melihat kekasih lo sekarat karena kelaparan? Ini milik gue dua-duanya. Gue lapar jadi, silakan beli kembali kalo lo lapar juga."
"Peraturan macam apa itu? Baiklah, tapi awas, jangan kemana-mana." A mengangguk.
Setelah kepergian Jie, A membuka nasi bungkus itu dan betapa terkejutnya ia saat melihat sup jamur dalam plastik kecil. Dan anehnya lagi hanya ditambah dengan ikan asin. Sungguh! Apa ini kriteria makanan seorang sultan. Bahkan, cemilannya saja tak mencukupi dengan gaji pegawai negeri sipil.
Lalu apa A harus memakan ini semua? Sangking jijiknya A dengan makanan itu. Nafsu makannya tiba-tiba hilang.
"Apa gue harus makan? Gak, pasti nasi yang satunya beda." Lantas A mengambil nasi bungkus yang satu lagi lalu membukanya.
"Hah?" A merasakan kepalanya akan pecah ketika semua nasi bungkus itu sama saja. Ia tidak mungkin memakan makanan ini. Perutnya sudah terasa mual, bahkan sebelum memakannya.
Tapi mau bagaimanapun A tidak bisa menolak makanan ini, karena perutnya sudah sangat kelaparan. Suara perutnya yang terus berbunyi membuat A tidak bisa menahan lapar lagi.
Lantas sebelum Jie datang, A langsung melahap semua nasi bungkus itu dua-duanya tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelah ia memakan itu.
"Astaga, huek! Huek."
"Huek, huek!"
"Kenapa gue jadi mual begini?" Entah kenapa saat memakan makanan itu, A malah jadi mual. Kepalanya terasa pusing dan berat sekali.
A berjalan linglung keluar dari tempat gelap itu, bersamaan dengan hadirnya Jie yang menenteng sebuah plastik di tangannya. Langsung Jie menangkap tubuh A yang hampir terjatuh itu.
"Kamu kenapa?" tanya Jie khawatir. Kantongan plastik itu langsung terjatuh dari tangannya.
"Gue gak t-tahu. Setelah memakan makanan itu aku langsung begini," jawab A. Tubuh pria itu sedikit kejang-kejang.
Jie memeluk tubuh A dan membawanya masuk ke dalam rumah gelap itu. Jie membaringkan tubuh A di lantai lalu memeriksa kantong A mencari sesuatu yang tak lain adalah handphone.
Karena begitu cemas, Jie mengotak-atik handphone A dengan tangan yang gemetaran. Tubuh A begitu dingin dan timbul bintik-bintik merah di tubuhnya tambah membuat gadis itu semakin bingung dan sangat khawatir.
Jie berniat menelfon seseorang menggunakan handphone A. Tapi seiring melihat kontak handphone A, Jie tidak tahu harus menghubungi siapa.
"Aksel."
"Siapa Avar?"
"Yah. Gilang!"
Senyum manis terbit di bibir Jie, kontak A terlalu banyak. Itulah mengapa ia sangat sulit mencari nomor Gilang. Tak mau berlama-lama, Jie langsung menelfon Gilang.
"Lang, cepat datang ke sini. A sekarat!"
'Apa maksudmu?' teriak Gilang dari seberang sana.
"Gak udah banyak tanya! Cepat datang kesini!" Emosi Jie tak terkendali.
Tut!
"Bangun A. Lo kenapa sih?" Sangking gelisahnya gadis itu, ia terus menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan gelisah.
"Please bangun dong! Jangan tutup mata seperti ini. A, gue gak suka lo tutup mata seperti ini. Please bangun!" Jie menangis sambil terus mengelus wajah A yang keringat dingin.
"Apaan sih? ... lo buat gue cepat mati. Wajah gue...," lirih A. "Lo bilang gue sekarat? Apa lo mau gue cepat mati?" Mata Jie sontak membulat karena kaget melihat A yang tiba-tiba berbicara.
A mengubah posisinya menjadi duduk. Sedangkan Jie sudah terperangah dengan mulut terbuka. Gadis itu tak percaya dengan A yang tadi tidak sadarkan diri....
Dan dia dengan lebaynya menangisi lelaki itu. Pipi Jie memerah seketika.
"Kau?" Jie menunjuk A tak percaya.
"Apa? Lo kira gue udah mati. Gue hanya alergi kali."
"Mampus gue!" Umpat Jie.
"Apa? Ciee ... lo khawatir ya sama gue sampe nangis gituan. A bangun, gue gak suka lo tutup mata." A terkekeh sambil memperagakan Jie yang tadi menangisinya.
"Bu-bukan begitu. Gue hanya takut lo mati disini," sargah Jie tak mengaku.
"Hayo ... mana ada maling ngaku."
"Dasar! A kau mengesalkan!"
A mengedikkan bahunya saat melihat wajah Jie yang kesal. Lucu sekali melihat wajah kesal yang lebih kentara pada kata imut itu. Selama hidupnya, A baru melihat wajah seimut itu tadi.
Sungguh! Ia tidak berbohong. A pun bangkit berdiri dengan tangan yang terus menggaruk seluruh tubuhnya yang berbintik-bintik merah. Tak henti-hentinya lelaki itu tertawa.
Bahkan mantan kekasihnya sepertinya tak memiliki wajah imut itu tadi. Yang ada, wajah yang penuh make up yang selalu membuatnya merinding, tapi tunggu, kenapa ia malah membandingkan Elina dengan Jie?
Akh! A menepuk kepalanya. Otaknya semakin menjadi-jadi setelah bertemu dengan Jie. Gadis itu sepetinya akan berpengaruh dalam psikologisnya.