Bruk!
"Ehk, sorry. G-guan?"
Jie gemetar dan perlahan mundur saat melihat lelaki yang tak sengaja ditabraknya itu adalah Guan. Ia tak menyangka setelah selama ini ia bisa berhadapan dengan Guan kembali.
Tatapan Jie seakan nanar saat melihat Guan kini berdiri tepat di hadapannya. Buku-buku yang terjatuh akibat ia menabrak Guan dipungut oleh lelaki itu.
Guan tersenyum sembari mengerutkan dahi bingung. "Sorry. Jie? Lo sekolah di sini juga?"
Jie tak menanggapi pertanyaan dari Guan. Seperkian detik gadis itu hanya berdiri terpaku dengan tatapan yang sulit diartikan. Sudah tentu, tingkah Jie itu membuat Guan bingung.
Lantas ia melambaikan tangannya di depan wajah Jie hingga gadis itu kembali ke alam sadarnya. Jie celingak-celinguk melihat ke samping. Jantungnya berdetak tak karuan.
'Gue ke-kenapa?' Jie menyentuh jantungnya lalu kembali menatap Guan yang menyodorkan buku kepadanya.
"Lo sekolah di sini, tapi kenapa gue gak tahu?" tanya Guan dan Jie dengan malu-malu mengambil buku tersebut dari tangan Guan.
Jie menggigit bibir bawahnya. Kenapa hari ini ia harus dipertemukan oleh Guan, setelah selama ini ia terus berusaha bersembunyi dan menghindar dari lelaki itu. Jie merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengan Guan.
'Please. Gue belum move on!" teriak Jie dalam hati. Sekarang ia harus menjawab apa?
"Eee...,"
"Udah gak usah dijawab, gue tahu lo selama ini menghindariku, 'kan?"
Ucapan Jie langsung dipotong oleh Guan membuat mata Jie membulat sempurna. Yah, Guan sudah tahu alasan Jie yang selalu menghindarinya. Ia mengerti karena dirinya telah menyakiti hati gadis di hadapannya ini. Dan untuk itu ia minta maaaf. Siapapun akan menjadi seperti Jie saat sudah disakiti.
Selama Jie yang terus menghindarinya, dan selama itu ia juga terus mengawasi gerak-gerik gadis itu yang terkadang membuatnya tak bisa menahan tawa. Guan tahu ini bukan lelucon. Guan tahu bahwa dirinyalah yang idiot di sini.
"Maafkan aku Jie. Aku tahu selama ini aku yang bodoh karena menduakan kamu. Selama ini aku selalu mencarimu hingga tak disangka kita dipertemukan di Sma ini. Aku juga tahu bahwa kamu selalu menghindari dan tidak ingin bertemu denganku. Namun, dua tahun aku bisa menahan itu semua, tapi kali ini tidak bisa. Aku merindukanmu Jie. Aku benar-benar menyesal," tutur Guan.
Penuturan lelaki itu membuat pertahanan Jie goyah. Jie menggelengkan kepalanya. Menyadarkan dirinya bahwa ini adalah mimpi. Namun, Jie sadar akan sesuatu bahwa ini adalah kenyataan, ini bukan mimpi.
Gadis itu maju perlahan. Lalu mendongak menatap Guan seolah tidak percaya akan semua ini. Jujur, Jie sangat sakit hati ketika Guan meninggalkannya begitu saja demi gadis lain.
Guan menundukkan kepalanya demi bisa melihat wajah Jie lebih dekat lagi. Tubuh Jie yang mungil dan hanya sebatas dada bidang Guan membuat Guan tersenyum simpul. Tak ada yang berbeda dari mantan gadisnya ini. Tubuh yang pendek, rambut pendek, dan koneksi otak yang pendek, semua tetap sama. Setelah kehilangan, Guan baru sadar bahwa ia mencintai Jie. Ia mencintai Jie gadis most wanted yang bodoh ini.
Tiba-tiba saja Jie dengan keras memukul dada bidang Guan dengan buku yang ada di tangannya. Lantas Guan menjerit sakit sembari memegang dadanya yang teras nyeri.
"Lo apa-apaan sih?"
Jie terperangah atas ucapan Guan. "Kok gue sih? Lo yang apa-apaan? Datang gak jelas mau ngajak balikan. Sorry gue udah muak sama janji-janji manis lo. Tahu? Laki-laki bukan hanya lo."
Sontak Guan terkejut dengan ucapan Jie. Seakan semua itu bohong, Guan malah memegang kedua bahu Jie. Lantas ia kembali berkata. "Jie, aku tahu aku salah dan aku ingin memperbaikinya. Apa salahnya jika aku ingin memulai kembali denganmu."
"Maafkan aku Guan, tapi aku tidak bisa, aku takut sakit hati lagi. Gue gak mau berurusan dengan sibrengsek kayak lo lagi."
"Tidak Jie. Aku tidak akan menyakitimu lagi. Berikan aku kesempatan dan kali ini benar-benar nyata adanya. Kau tahu saat Smp, kita masih labil dan tidak mengerti akan cinta. Dan sekarang aku telah dewasa, biarkan aku menjadi milikmu dan kamu menjadi milikku."
Percakapan dua insan yang sedang menghadapi dilema itu terpaksa terhenti kala mendengar teriakan dari para siswa dan siswi. Sepertinya perkelahian antara siswa sedang terjadi. Buru-buru Guan langsung berlari dengan menggenggam tangan Jie. Terpaksa Jie harus ikut dengan Guan. Ia juga ingin melihat apa yang terjadi sebenarnya.
Perkelahian besar-besaran tengah terjadi dilapangan football. Tiga remaja laki-laki yamg tak lain adalah A, Gilang, dan Aksel adalah biang dari perkelahian tersebut. Betapa terkejutnya Jie saat melihat...
'Kolor emas!' Batinnya dalam hati.
Jie berusaha untuk melepas genggaman tangan Guan dari tangannya. Ia ingin merebut kolor emas yang sedang digenggam oleh A.
"Hei! Kolor emas itu punya gue!" Tiba-tiba saja perkelahian itu berhenti kala ucapan Jie itu. Semua pandangan tertuju kepadanya tak terkecuali A. Bahkan A jadi gagal fokus saat melihat Guan menggenggam tangan Jie. Entah kenapa, ada sesuatu yang menjanggal di hati A saat melihat Jie dekat dengan Guan.
A menarik tangan lawannya dan menekuk tangan tersebut ke belakang hingga sang lawan berteriak kesakitan. "Hei, gadis bodoh. Kolor ini milik gue. Bukan milik lo ataupun milik bedebah ini," ucap A lantang.
Jie melotot tidak terima akan ucapan A. "Tidak! Itu kolor punya gue."
"Berhenti! Kolor itu bukan milik kalian. Itu milik papa gue," ungkap seorang lelaki yang tiba-tiba berdiri di samping Jie.
"Lepasin teman gue gak?" Lanjutnya lagi menatap A tajam.
A beroh ria dan melepaskan lawannya yang sudah linglung dan babak beluk karenanya. A mengangkat tinggi-tinggi kolor emas itu, lantas berkata, "Ini kolor punya gue. Titik!"
A berlari dan memberi kode kepada Gilang dan aksel untuk mengikutnya. Tak ingin tertinggal, Jie malah melakukan sebaliknya. Ia menggengam tangan Guan dan berlari mengejar A dan sahabatnya.
Begitupula dengan Hendrik dan anak buahnya yang ikut mengejar A. Di sisi itu, Guan yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mengikuti saja.
Kini, A dan sahabatnya sudah sampai di jalan raya. Mereka meminggirkan mobil tersebut ke tepi jalan lalu keluar dari dalam mobil.
"A bagaimana ini? Hendrik adalah anak Gangster itu. Mati kita." Gilang menepuk jidatnya.
"Gue gak nyangka kalo Hendrik itu anak Gangster yang mengincar kita," ujar A. Ia selama ini salah sangka dan tidak berhati-hati dalam melihat langkahnya. A tahu berurusan dengan para Gangster itu adalah hal yang sangat berbahaya.
"Sekarang kita harus bagaimana ini?" tanya Aksel. Sungguh ia juga sangat bingung.
A menggaruk kepalanya. "Oke. Gue punya ide bagaimana kalo kita sembunyikan kolor emas ini."
"Lo gila? Kita sembunyikan, yah oke. Namun, apa kita bisa hidup tenang. A kenapa kita harus berurusan dengan para Gangster bodoh itu?"
"Ini semua salahmu A," timpal Aksel.
"Kenapa salahku? Kalian yang pertama berurusan dengan para Gangster itu. Kalian tahu kalo Gangster yang gue tusuk itu masih hidup."
"Apa? A gue bingung. Bagaimana dia bisa hidup?"
"Oh ayolah. Kita bisa mati kalo begini!" bentak Aksel.
Lelaki itu melirik kolor emas tersebut di saku almameter A. Lantas Aksel merebut dengan paksa kolor itu membuat A terkejut.
"Apa yang kau lakukan Aksel?"
"Gue ... Kolor ini punya kita dan kita harus menghadapi ini bersama-sama."