Elena dan Ben berjalan pelan sambil melihat-lihat furniture yang dipamerkan disana. Untungnya tempat itu tidak begitu ramai hingga mereka masih bisa bersantai. Elena sedang mencari inspirasi furniture yang bisa dibuatnya dari pameran itu.
Elena berhenti disebuah booth yang memamerkan beberapa kabinet mungil untuk sudut ruangan. Ia memperhatikan setiap detil yang terukir disana.
"Ini bagus, mbak. Bisa jadi pemanis ruangan." Komentar penjaga booth itu yang merupakan wanita muda seumuran Elena.
Elena tersenyum mendengar kalimat penjaga itu. Ia menoleh ke arah Ben dan berkata, "Ben, menurut kamu kalau aku buat lebih kecil dari ini, apa ada yang mau?" Tanyanya. Ia butuh pendapat seseorang saat ini.
Ben memperhatikan kabinet didepannya. "Mereka pasti mau. Gak ada desain kamu yang gak disukai sama orang lain." Ujarnya penuh canda. Elena mencubit perut Ben pelan. Ia tersipu malu.
"Mau isi rumah barunya ya, mbak?" Tanya penjual itu. "Ini bagus loh, untuk rumah minimalis pengantin baru ini cocok." Sambungnya.
Elena dan Ben bertatapan penuh tawa.
"Kami bukan pasangan, mbak." Jawab Elena.
"Oh, saya kira tadi suami-istri." Komentarnya. "Soalnya mbak sama masnya serasi."
Elena melirik ke arah Ben dan menahan senyumannya. Ben melegakkan tenggorokannya sambil melihat ke arah lain. Rasanya kalimat itu menggelitiknya.
Setelah melihat pameran itu, Ben mengantar Elena kembali ke Hotel. Diperjalanan itu, Elena selalu melirik Ben dengan tawa nakalnya.
"Kamu kenapa sih?" Tanya Ben yang sedari tadi menyadari sikap wanita itu.
"Aku lucu sama mbaknya tadi. Dia bisa ngomong gitu ya. Padahal dulu waktu kita belum cerai, gak pernah ada yang bicara begitu." Elena berusaha mengingat kenangan lama mereka.
Ben hanya tertawa dan masih fokus dengan jalanan didepannya yang licin karena bekas hujan yang seharian turun.
Elena mengerutkan keningnya melihat Ben. "Kamu hari ini gak banyak omong. Kenapa?" Tanyanya. Ia merasakannya sejak tadi.
"Gak apa." Sahut Ben pelan. Wajahnya mengatakan sebaliknya.
"Lagi berantem sama Alya?" Tanyanya.
Ben melirik sejenak. Ia tidak menjawab ataupun berkomentar.
"Kalau masalah Hotel kamu gak pernah segininya. Pasti ada hubungannya dengan Alya."
"Apa sejelas itu wajah aku?"
Elena tertawa kecil. "Ben, aku masih hapal gelagat kamu." Katanya bangga. "Berantem suami-istri bukannya hal biasa, ya. Kenapa kamu pikirkan?" Ia mengelus bahu kiri pria itu.
"Kemarin malam, Alya tanya soal kamu. Tiba-tiba aja dia tanya kabar kamu di Hotel gimana. Aku takut kalau dia tahu semuanya." Cerita Ben dengan nada resah.
Elena tertawa dan berbanding terbalik dengan Ben. "Kamu berlebihan. Kalau Alya sudah tahu, kamu gak mungkin bisa temenin aku ke pameran. Dia pasti sudah mendatangi aku terus maki-maki aku didepan umum."
Ben menoleh dengan wajah datar. "Alya bukan orang seperti itu. Dia gak akan permalukan kamu didepan umum."
Tawa Elena menghilang perlahan mendengar Ben memuji Alya didepannya. "Kalau kamu tahu, kenapa kamu masih khawatir?"
"Aku juga gak tahu. Belakangan, aku merasa seperti itu."
Elena berusaha menenangkan Ben. Ia meraba bahu pria itu dengan lembut. "Kamu mau mampir dulu ke atas? Kita udah lama gak ngobrol serius." Katanya.
Ben menoleh dengan senyum mengembang. "Jangan malam ini ya, El. Aku lagi gak mood." Tolaknya.
"Oke." Elena menarik tangannya kembali. Ia membuang wajahnya ke arah lain. Ia juga merasakan kalau pria itu berubah padanya.
***
Alya masih sibuk memeriksa hasil ujian geografi murid dikelasnya. Tiba-tiba ia dihampiri oleh Guru Akuntansi.
"Ibu Alya." Panggil Guru Akuntansi.
Alya menoleh. Perasaan takutnya muncul perlahan. Didalam hatinya ia bertanya kenapa Guru ini menghampirinya. "Ada apa, buk?" Tanyanya.
"Hasil ujian Akuntansi Dewa bagus loh nilainya. Saya sampai gak percaya. Sampai saya cek dua kali." Katanya dengan penuh tawa.
Alya melongo. Ia tidak percaya pada apa yang didengarnya. "Bener, buk?"
Guru Akuntansi itu mengangguk yakin. "Bener." Serunya kemudian berlalu lergi meninggalkan sejuta rasa bangga di hati Alya. Setidaknya ia bisa sedikit mengangkat wajahnya semester ini. Karena Dewa mematahkan pandangan orang kepadanya.
Alya mencari nama Dewa diantara tumpukan kertas ujian kelas 12IPS3 didepannya. Ia memeriksa kertas milik bocah itu terlebih dahulu. Benar saja, Dewa mendapatkan nilai 93 untuk pelajaran Geografi. Alya bisa tertawa lepas melihat apa yang dicapai oleh bocah itu.
Alya mengistirahatkan dirinya sejenak dari kertas ujian muridnya dan berjalan menuju kelasnya. Ia melihat beberapa orang tengah melakukan remedial Matematika saat ini. Matanya mencari Dewa yang nyatanya tidak mengikuti remedial tersebut.
"Ketua kelas kemana?" Tanyanya pada seorang muridnya yang duduk santai didepan kelas.
"Lagi ikut pertandingan, buk." Jawab murid itu sambil menunjuk ke arah lapangan yang penuh dengan murid lainnya. Mereka tengah mengikuti kegiatan olahraga setelah ujian.
"Ya sudah, nanti suruh ketemu saya di majelis ya." Pesannya. Ia menoleh ke arah lapangan sesaat dan tak sengaja melihat Dewa tengah berlari dilapangan basket. Senyumannya mengurai tipis.
Satu jam kemudian, Ketua kelasnya muncul dengan pakaian olahraga dan wajah peluh. "Ada apa, buk?" Tanyanya.
"Kamu olahraga apa tadi?" Tanya Alya ramah.
"Saya basket, buk."
Alya mengangguk. "Menang gak?"
"Menang, buk."
Alya tak sengaja melihat bercak merah di baju ketua kelasnya. "Itu merah kenapa?" Ingin tahunya muncul.
"Oh, ini bekas darahnya Dewa, buk."
"Hah?"
"Iya, tadi waktu oper bola, kena baju saya terus ada darahnya."
"Dewa kenapa?" Kali ini berubah menjadi khawatir.
Ketua kelas itu tampak mengangkat bahunya pelan. "Saya gak tahu, buk. Telapak tangannya luka-luka gitu."
Belum sembuh apa ya, batinnya. Alya mengangguk paham. Ia memberikan daftar nama muridnya yang akan mengikuti remedial Geografi kepada ketua kelasnya untuk disampaikan dikelas.
***
Siang itu Mita datang ke hotelnya sedikit siang karena ia harus ke mengantarkan anaknya ke dokter terlebih dahulu kemudian dititipkan kepada mamanya. Jam sudah menunjukkan pukul 11.45 siang dan selalunya jam segitu restorannya sudah mulai ramai. Langkah Mita tampak tergesa-gesa dari parkiran mobilnya menuju lift basemen.
Ketika Mita tiba dilobi, ternyata didepan lift itu sudah ada Elena yang juga sedang menunggu. Mereka berdua bertatapan sekilas. Elena masuk ke dalam lift itu dan pintu pun tertutup. Mita tidak langsung menuju restorannya. Ia memperhatikan gerak lift itu beberapa saat, hingga berhenti di lantai tujuh belas.
Kenapa Elena ke lantai tujuh belas ya, ucapnya pelan. Pikirannya mulai mempercayai kalimat karyawannya tempo hari dimana mereka mengatakan kalau Elena memiliki kamar disana. Karena setahunya dilantai tujuh belas adalah lantai yang berisikan kamar saja. Ingin sekali Mita menuju atas, namun ia sudah terlambat ke restorannya saat jam makan siang. Mita mengurungkannya lebih dulu dan menundanya.
Malam itu Mita meminta ijin untuk pulang lebih awal karena anaknya. Dan ketika ia berjalan ke arah lift, dirinya berpapasan dengan Dewa yang baru saja mengantarkan makanan dari lantai atas.
"Hai." Sapa Mita ramah. Sudah lama sejak mereka tidak mengobrol bersama seperti ini.
"Cepet banget mbak, hari ini pulangnya." Tanya Dewa basa-basi.
Wajah Mita berubah murung. "Iya. Anakku sakit."
Pintu lift yang lain terbuka dan Ben keluar dari sana. Mita menoleh ke arah Ben dan mereka bertegur sapa.
"Kamu mau pulang juga ya, Paramitha?" Sapa Ben penuh senyum. Ia memperhatikan wanita itu yang mengobrol dengan Dewa. Dan dikepalanya penuh tanya kenapa kedua orang itu bisa saling kenal.
"Iya, Pak." Sahut Mita sambil menganggukkan kepalanya.
Dewa hanya menoleh ke arah Ben yang pergi meninggalkan mereka. Mita bisa melihat ekspresi Dewa yang terlihat kesal pada Ben. Bahkan raut wajahnya dingin sekali. Mita jadi teringat soal ucapan Alya yang mengatakan kalau Dewa berkelahi dengan seseorang. Hatinya menggelitik hebat.
"Saya dengar katanya kamu berantem kemarin?" Tanya Mita ragu. "Siapa bajingan itu?" Ia tidak perlu basa-basi lebih lama.
Dewa membalas tatapan Mita. "Kenapa mbak tanya?"
Mita merasa intonasi bicara Dewa sudah berubah. "Saya penasaran saja."
Dewa mendorong trolleynya kembali sambil berkata. "Kalau mbak sudah tahu, kenapa mbak tanya lagi."
Mita menahan tangan Dewa dengan keras. "Apa cuma Alya perempuan yang kamu suka?"
Dewa menghentikkan langkahnya. Ia menghela napas kesalnya sambil membuang wajahnya ke arah lain. Mita merasa jantungnya berdebar cepat karena Dewa memberikannya jawaban yang tidak membuatnya yakin walaupun rasa percayanya sudah muncul.
"Apa Ben selingkuh dari Alya?" Mita sudah lelah berbasa-basi. Ia butuh jawaban pasti yang meyakinkannya.
Dewa sudah yakin apa yang dilihatnya kemarin karena Ben secara tidak langsung mengakuinya. Tapi ia tidak ingin memberitahukan hal ini kepada Mita sebelum wanita ini melihat dan menilainya sendiri. Dewa melepaskan tangan Mita dari lengannya. "Kalau mbak mau tahu, mbak cari sendiri jawabannya." Ia berlalu dari hadapan wanita itu yang semakin menyimpan kegusaran didalam dirinya.
***
Alya tengah mengisi laporan semester muridnya. Ia duduk didepan televisi dan mulai mengisi beberapa nilai muridnya yang sudah tersedia.
Pintu depannya terbuka dan Ben masuk dengan wajah kelam. Ia melihat istrinya menatapnya dengan sendu. Ben berlalu begitu saja menuju kamarnya tanpa menegur Alya yang mendekatinya.
Ben membuka jas serta kemejanya di kamar dan diletakkannya di atas tempat tidur.
"Aku hari ini masak semur ayam. Kamu mau langsung makan atau nanti aja?" Tanya Alya berbaik hati.
"Aku kenyang." Jawab Ben singkat.
"Mau aku buatkan teh?" Usulnya.
"Hmm..." seru Ben sekilas.
Alya mengambil kemeja itu dan hidungnya mencium parfum yang sama yang selalu menempel pada kemeja suaminya. "Aku udah lama gak naik mobil sama kamu. Sepertinya kamu udah ganti parfum mobil." Komentarnya.
Ben menoleh bingung. "Enggak." Sambarnya.
Alya menunjukkan aroma dikemaja pria itu. "Aku selalu cium bau ini di kemeja kamu beberapa kali."
Ben mencium kemejanya sendiri dan wajahnya berubah kaku. Itu parfum Elena yang menempel pada kemejanya. Siang tadi, dirinya sempat berpelukan dengan Elena sesaat. Parfum manis wanita itu menempel disana.
"Parfum kamu gak ada yang baunya begini." Komentar Alya kemudian.
"Aku bertemu dengan klien dan meeting. Aku keluar masuk ruangan dan mencium bermacam pengharum ruangan. Jadi apa bedanya?" Sergah Ben yakin. Wajahnya ia buat seserius mungkin.
Alya menunduk sekilas. "Maaf, Ben." ujarnya. "Aku merasa kita semakin jauh."
"Rasa curiga kamu yang buat kita semakin jauh." Ucap Ben dan berlalu menuju kamar mandi. Ia meninggalkan istrinya disana.
Alya masuk ke dalam ruang kerja sambil membawa teh untuk pria itu. Teh yang sederhana namun penuh cinta. Ia meletakkan teh itu dipinggir meja agar tidak tersenggol oleh suaminya. "Mulai minggu depan aku udah libur. Kamu mau gak kita bulan madu?" Ajaknya dengan rasa keinginan yang besar.
Ben menggeleng tanpa menoleh. "Aku gak bisa. Menjelang tahun baru Hotel ramai. Aku gak bisa liburan." Serunya.
"Kita gak perlu pergi jauh-jauh, Ben. Yang deket aja gimana?" Usulnya. Ia ingin merasakan keintiman mereka berdua yang jauh dari aktifitas dan kesibukan lainnya. Alya ingin memiliki waktu berdua dengan suaminya saja.
Ben menoleh tajam. "Kamu paham gak, aku bilang Hotel itu lagi ramai-ramainya menjelang tahun baru. Nanti aja tunggu agak reda, baru kita liburan." Katanya.
Alya mulai kesal dengan suaminya. "Kamu berubah tahu gak!" Ucapnya.
"Kamu yang berubah! Mana Alya yang dulu mengerti semua pekerjaan aku." Sahut Ben keras.
"Aku kurang pengertian apa sama kamu?" Suaranya meninggi. "Kamu mau begini, aku ikutin. Kamu mau begitu, aku ijinin."
"Iya itu dulu. Sekarang kamu tidak mengerti sama sekali. Kamu mau kita bulan madu, oke. Tapi tidak sekarang, tidak dalam minggu ini ataupun minggu depan. Kamu mau kemana aku antarin, tapi tidak sekarang maksud aku, Alya." Jelasnya dengan lugas.
"Aku merasa hubungan kita sudah jauh, Ben. Kamu bukan Ben yang aku kenal dulu. Kamu berubah menjadi orang lain. Kalau kita tidak perbaiki hubungan ini, kita semakin jauh."
"Omongan kamu udah kemana-mana." Ben bangkit dari kursinya. Ia malas berdebat dengan istrinya.
"Sistemnya sudah berubah." Seru Alya. Ia menoleh Ben. "Sistemnya sudah lama berubah. Tapi kamu tidak membiarkan aku masuk membantu kamu keluar dari sana." Matanya mulai berair. "Apa karna disana ada orang yang kamu masih cinta?" Sambungnya dengan pertanyaan yang mewakili hubungan mereka selama ini.
"Al, jangan ulang ini lagi dengan kecurigaan kamu, ya." Pinta Ben. Ia sedang menutupi kekalutannya.
"Apa yang udah Elena lakukan ke kamu sampai kamu tidak bisa meninggalkan dia?" Tanya Alya. Ia mempertanyakan semua keresahannya.
"Kamu kenapa bawa-bawa nama Elena sih?" Ben semakin tersudut.
"Aku merasa semenjak Elena datang kamu jadi berubah. Atau mungkin semenjak Elena bertemu kamu di Hotel setiap hari?" Tebaknya. Karna hanya nama itu saja yang terlintas dipikirannya setiap kali keresahannya muncul.
Ben kaku. Ia terdiam sejenak. "Kamu apa-apaan Alya!" Nadanya berubah tinggi.
"Apa kamu melakukan sesuatu dengan Elena dibelakang aku?" Alya ingin sekali mendengarkan kejujuran darp pria didepannya ini.
"ALYA CUKUP!" Bentak Ben. Ada rasa was-was yang semakin membesar.
"Apa kamu berencana meninggalkan aku dan kembali dengan Elena?" Suara Alya sudah berubah lirih.
Ben menarik napasnya yang menyangkut didada. Ia menatap Alya dengan pandangan emosi yang membara. "Kali ini kamu sudah keterlaluan!" Ia pergi dari ruang itu dan membanting pintu.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.