Ben membukakan pintu apartemennya untuk Arif yang sengaja datang kesana untuk memberikan beberapa berkas untuk Ben tanda tangan. Sudah dua hari Ben tidak ke Hotel. Dirinya tidak ingin meninggalkan apartemennya dan berharap Alya akan pulang dan dirinya akan menjadi orang pertama yang mengetahuinya. Nyatanya, sampai hari ini dan akan segera berganti hari, Alya tidak muncul sama sekali.
Arif melihat atasannya tampak lelah dan kurang istirahat. "Anda sudah makan, Pak?" Tanyanya. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Ben mengangguk pelan. Ia berjalan ke arah meja makan. "Hotel bagaimana?" Tanya lemah. Sorot matanya seperti sendu.
"Tadi sore, Direktur Utama menemui saya dan bertanya anda pergi kemana." Arif diam sejenak. "Beliau mau anda masuk besok karena puncak tahun baru sudah dekat." Ia menyampaikan pesan itu.
"Lihat besok saja." Sahut Ben. "Mana berkasnya?" Pintanya sambil mengulurkan tangan.
Arif mengeluarkan berkas dari dalam tas hitamnya dan memberikannya pada Ben. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Ia merasa kasihan pada atasannya. Wajahnya begitu tak berdaya. Tapi ia juga tidak membela karena apa yang dilakukan oleh pria itu memang salah.
Ben menandatangani kertas didepannya tanpa membaca terlebih dahulu, "Bisa kamu bujuk Alya untuk pulang?" Ujarnya tanpa menoleh.
Arif diam sejenak. "Harus anda yang datang dan membujuk Ibu Alya." Ucapnya.
Ben beralih ke berkas lainnya. "Aku tidak punya muka untuk datang ke rumah orang tuanya." Ia diam sejenak dan membuka berkas lainnya. "Omongan kamu waktu itu benar. Aku rasa aku tidak bisa bertahan dengan kepergian Alya. Aku sudah merasakannya." Ia menutup semua berkas itu dan mengembalikannya pada Arif.
"Mungkin beliau terlalu kecewa." Ujar Arif pelan. Ia tidak berani mengatakannya begitu besar. Ben menoleh ke arah Arif dengan kaget. Pria itu begitu jujur padanya saat ini.
Arif berdiri dan kursi meja makan itu dan melihat sekeliling apartemen atasannya. Begitu sepi, begitu sunyi. Bahkan suara tetangga juga tidak terdengar. "Saya permisi dulu, Pak."
Ben mengangguk lalu menutup pintu apartemennya. Ben duduk disofa depan televisi dan menyandarkan tubuhnya disana. Ia menatap layar televisinya yang gelap. Ia sudah kehilangan arah. Bahkan semangatnya untuk ke Hotel sudah tidak ada lagi.
Ben mengeluarkan ponselnya lalu mencari nomor Alya. Ia menatap deretan nomor itu beberapa saat sambil mengumpulkan keberaniannya akan penolakan yang mungkin terjadi. Ben menekan tombol hijau dan menelepon istrinya.
Beberapa kali nadanya tersambung namun tidak diangkat. Sekali lagi ia coba menghubungi namun kali ini ponsel wanita itu dinonaktifkan. Ben mengurungkan niatnya untuk menelepon kembali karena Alya benar-benar menghindarinya.
***
Yusril duduk didepan televisi pagi itu dan melihat Alya baru saja selesai mandi saat jam sudah menunjukkan pukul 11 siang. "Kamu seperti anak kecil saja, mandi jam segini." Komentarnya.
Alya menoleh kemudian masuk ke dalam kamarnya tanpa memberikan tanggapan apapun. Yusril melihat pintu kamar anaknya tertutup. Ia menghela napas beratnya. Wajahnya berubah murung. Ia mematikan televisinya dan beranjak menuju kamar.
Ponsel Alya berdering dan nama Rina, adiknya muncul disana. Ia menjawab telepon itu. "Kak, kata mama lo dirumah udah tiga hari ya. Kenapa?" Pertanyaan itu langsung tertuju padanya.
Alya diam sejenak. Rina adalah orang yang bisa mengerti dirinya. Dan saat ini ia memang membutuhkan siapa saja yang bisa memberikannya masukan. "Gue berantem dengan Ben."
"Oke, terus?"
Alya menarik napas dalamnya. "Ben selingkuh dengan mantan istrinya."
Rina hening. Dia tidak langsung berkomentar.
"Bukan cuma selingkuh, tapi lebih dari itu. Ben udah cerita semuanya." Sambung Alya.
"Terus lo maunya gimana?" Tanya Rina.
Alya mengerutkan dahinya. "Lo gak terkejut dengar dia selingkuh?"
"Gue kaget. Kaget banget malah. Tapi terkejutnya gue sekarang pasti gak sebanding dengan terkejutnya lo waktu tahu pertama kali. Lo udah tiga hari dirumah, pasti banyak hal yang lo sesalkan. Gue gak perlu lah tambah beban buat lo." Jelas Rina.
Alya berubah diam. Adiknya itu tahu bagaimana menanggapi dirinya. "Gue mau pisah sama Ben." Ujarnya.
"Lo udah bicara sama bapak?"
"Belum sempat gue jelaskan tapi bapak udah suruh gue balik ke sana dan bicara baik-baik dengan Ben." Nadanya berubah sedih. Sungguh dilema baginya.
"Mama gimana?"
"Mama belum tahu kayaknya."
Rina menghela napasnya. "Lo yakin dengan keputusan lo mau pisah, ngomong gampang kak tapi nanti efek sampingnya banyak. Lo siap terima itu semua." Rina juga merasa serba salah. "Gue tahu pasti sakit tahu Ben selingkuh, gue juga jadi hilang respect sama dia. Tapi, ini bukan soal lo putus dan cari yang baru. Ini tuh, antara lo sama Ben. Antara keluarga kita dengan keluarga Malpis. Gue akui, mertua lo baik banget, mereka juga kelihatan sayang banget sama lo." Ungkapnya. "Kalo lo minta saran dengan bapak, kenapa lo gak minta saran dengan mereka juga?"
Alya menunduk sambil bersedih. Bagaimana ia bisa menceritakan kepada orang lain soal perselingkuhan Ben. Rasanya seperti membuka aib suaminya dan dirinya tidak bisa melakukan itu. Terlebih pada mertuanya.
"Kak, mungkin cara berpikir kita berbeda sekarang. Tapi gue sebagai orang yang sudah menikah dan punya anak, gue rasa hal seperti ini harus dibicarakan. Mungkin simpati dan empatinya udah gak ada, tapi komunikasi harus tetap terjaga. Maksud gue, sekarang lo ambil keputusan sepenting itu dengan kepala yang masih panas ditambah emosi lo yang menumpuk sejak tahu Ben selingkuh. Sedikit waktu lagi mungkin bisa menjelaskan apa yang terbaik." Pungkasnya.
"Tapi, Rin...?" Alya seperti tidak rela dan masih bersikeras ingin berpisah. Tapi entah kenapa rasanya sesulit itu untuk mengucapkannya.
"Gue tahu lo sayang sama dia. Sayang banget melebihi yang pernah ada. Pikirkan pertemuan pertama kalian dulu." Ujarnya tenang. Alya tidak menjawab. Semuanya berputar dikepalanya saat ini.
"Nanti gue telpon lagi ya." Rina menyudahi sambungan teleponnya. Alya kembali mengalami gejolak emosi yang memuncak. Ia sedih dan dilema pada saat bersamaan.
Ben duduk bersandar di kursi kerjanya di apartemen. Ia menutup matanya dan sorot wajahnya sangat menyedihkan. Ponselnya tiba-tiba berbunyi dan nama papanya muncul disana.
Seketika Ben menegakkan tubuhnya dan rasa khawatirnya muncul. Ia takut kalau papanya akan mengetahuinya. "Halo, Pa?" Sapanya.
"Ben, kamu tidak masuk ke kantor tiga hari kenapa?" Tanya Malpis dengan suara beratnya. "Direkturmu barusan telpon papa. Katanya menitip pesan pada Arif sudah tidak mempan lagi. Kamu kemana?" Tanyanya penasaran.
Ben menegakkan tubuhnya dari kursi kerja itu. "Ben baru mau jalan sekarang." Sahut Ben berbohong.
"Ya sudah, Alya kemana?"
Ben kelihatan gugup. "Dia lagi keluar dengan temannya." Bohongnya lagi.
"Oh, titip salam ya buat Alya." Kata Malpis ceria. "Setelah tahun baru ini, kamu ajak Alya jalan-jalan sana. Mungpung dia juga lagi libur." Perintahnya.
Ben mengangguk, "Iya, Pa." Ia menutup sambungan telpon itu. Ia menahan tubuhnya dengan memegang ujung meja dengan kedua tangannya. Kepalanya menengadah ke bawah. "Alya... maafkan aku." Ucapnya.
***
Alya keluar dari kamarnya dan tidak melihat bapaknya diruang tengah. Ia mencarinya ke dapur dan ia juga tidak menemuinya. Alya beralih ke kamar dan melihat mamanya dengan membaca buku dengan tema agama seorang diri.
"Mah, bapak kemana?" Tanya Alya mendekati wanita itu.
Trsinah menoleh dan melepaskan kaca matanya. "Bapakmu pergi, katanya mau ketemu temen sebentar diluar."
Alya mengangguk paham.
"Alya." Panggil Trisnah lagi. "Ben belum pulang juga dari luar kota, lama amat." Tanyanya.
Alya terdiam. Ia memutar bola matanya untuk mencari alasan walaupun sebenarnya ia tidak ingin berbohong.
"Cemas mama lihat kamu disini, sana balik rumah kamu." Usirnya dengan nada penuh kasih sayang.
"Lihat nanti, Ma." Alya menutup kembali pintu kamar orang tuanya seperti semula.
Yusril memasuki lobi Hotel Malpis. Ia berjalan ke arah restoran wastern dan berdiri disana mencari seseorang.
Mita yang tengah santai disana, langsung bisa mengenali Yusril seketika. Ia berdiri dan mengejar pria tua itu. "Om, ada apa kesini?" Rasa was-wasnya muncul.
Yusril mengumbar senyumannya." Mita, boleh tolong antarkan om ke ruangannya Ben?"
Jantung Mita berdegup kencang. Ia bertanya-tanya kenapa pria ini ingin menemui atasannya. "Ada urusan apa om?"
"Enggak, om cuma mau ngobrol aja sama Ben." Yusril melihat-lihat sekelilingnya.
"Mita anterin ya, Om." Usulnya. Ia pamit dengan karyawannya sesaat dan berjalan ke arah lift. Mita melirik wajah pria itu yang tidak terlihat adanya kemarahan disana.
Mereka tiba di lantai enam. Mita mengajak Yusril melangkah ke arah kantor Ben. Dan untungnya disana ada Arif yang sedang berdiri membelakangi mereka.
"Arif." Panggil Mita.
Arif berbalik dan ia terkejut melihat orang tua Alya ada didepannya. "Ada apa, mbak?" Wajahnya mulai tak terbendung.
"Pak Ben nya ada?" Tanya Mita gugup.
Arif diam sejenak. "Dalam perjalanan, Pak." Ucapnya sambil melihat ke arah pria tua itu.
Yusril tersenyum tipis. "Tak apa. Saya tunggu saja." Katanya. Ia menoleh ke arah Mita dan berkata, "Terima kasih ya, Mita sudah antarkan om kesini. Kamu balik kerja aja enggak apa-apa."
Mita paham. Ia membiarkan dirinya pergi dari sana dan tidak ingin mencampuri urusan keluarga kedua orang itu. Arif mempersilahkan Yusril masuk ke ruang kerja Ben dan menunggu disana.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, pintu ruang kerja Ben dibuka dari arah luar dan Ben muncul disana.
"Bapak!" Sapa Ben kaget. Jantungnya berdesir hebat. Ia siap dicerca makian oleh pria itu. Ben mendekat dan memberikan salam pada mertuanya.
Yusril menyambut uluran tangan menantunya dengan senyumannya yang mengurai. "Kamu sehat?"
Ben mengangguk, "Sehat, pak." Ia duduk didepan pria itu. "Ada apa bapak datang ke sini?" Ia mulai gugup tak menentu.
"Haha..." Yusril tertawa. "Bapak ingin mengobrol saja dengan kamu." Ujarnya.
"Naik apa tadi pak, kesini?"
"Bapak mau bawa motor tapi gak tahu bagaimana parkir di hotel kamu. Ya sudah, bapan naik ojek saja." Tawanya pelan. Ia melihat ke arah lain sesaat kemudian berkata, "Kapan kamu mau jemput Alya pulang?"
Ben menganga. Pria didepannya ini tidak mengetahui apapun. "Pak..."
"Alya akan mengambil keputusan yang besar dalam hidupnya. Mungkin ini akan menjadi pemisah kalian." Seru Yusril tenang. Wajah cerianya menghilang.
Ben menunduk malu. Apakah ia harus menceritakan semua ini pada pria tua didepannya ini.
Yusril memperhatikan ekspresi menantunya berbeda dengan putrinya. Menantunya ini seperti ingin menjelaskan sesuatu. "Apa bapak boleh tahu apa masalah kalian?"
Ben menatap wajah Yusril dalam sekali. Ia hening dan memilih kalimat yang tepat untuk memulai.
"Cerita saja, bapak siap mendengarkan." Ini adalah percakapan antara pria dan pria bagi nya. Dirinya adalah seorang bapak yang memberikan putrinya pada laki-laki didepannya ini. Tapi dirinya juga seorang Pria yang mungkin bisa mengerti dimana letak permasalahannya.
Ben menarik napas dalamnya dan merapatkan mulutnya sekilas. Ia siap menceritakan semuanya.
Alya membongkar isi lemarinya dan melipat kembali semua pakaiannya seperti semula dengan lebih rapi. Ia bahkan membersihkan setiap sudut meja dan tempat tidurnya didalam kamar. Ia sedang tidak memiliki kesibukan apapun tapi pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Ben saat ini. Semakin ia ikuti semakin kesedihannya besar. Tapi kesedihan itu tidak meneteskan air mata hanya sebuah rasa didalam hatinya yang kecewa.
"Maaf kan Ben, Pak." Ucapnya sambil menunduk. "Maaf sudah membuat Alya menangis seperti ini." Sambungnya. Ia baru saja selesai menceritakan semua kronologi kejadiannya dengan Elena dan hubungannya dengan Alya. Tidak ada yang ditutupinya. Ia siap menerima apapun amarah mertuanya, jika itu bisa dimaafkan.
Yusril seperti termenung di sofa itu menatap menantunya. Ia bahkan tidak mampu mengeluarkan kalimat apapun. Ia tidak begitu terkejut saat tahu permasalahnnya adalah perselingkuhan, karna salah satu tebakannya benar akan hal itu. Tidak ada yang bisa dimaafkan oleh seorang wanita jika itu adalah perselingkuhan. Tapi ia menyayangkan kenapa menantunya harus larut terlalu dalam hingga membuat semua itu seolah memang terencana.
Ben melirik mertuanya dengan ragu. Wajah pria tua itu tidak tergambar sama sekali. Ia tidak bisa menebak perasan dan emosi mertuanya saat ini.
Helaan napas berat Yusril terdengar disana. Jika ia pikir-pikir wajar saja putrinya marah hingga mengasingkan diri pulang. Jika dirinya adalah Ben, pasti sejak awal sudah lama Trisnah meninggalkannya.
"Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, bapak sangat ingin Alya bahagia. Apalagi waktu melihat kalian menikah, rasanya bapak siap dipanggil sama Tuhan karena Alya sudah memiliki tempat dia berlindung." Ujarnya. "Bapak sangat tahu, kalau mama mertuamu tahu soal ini pasti dia akan menjadi penentang barisan paling depan karena keputusan ini. Tapi bapak juga berharap kalau Alya masih bisa mempertahankan pernikahan ini." Sambungnya.
Ben mengerutkan keningnya. Ia bingung maksud kalimat pria itu.
"Kalau orang tuamu tahu hal ini, bapak yakin mereka akan terbang dari Bali hari ini dan datang kerumah membujuk Alya untuk memberikan kamu kesempatan. Karena bapak juga akan melakukan hal yang sama." Wajahnya begitu tenang. "Jemput Alya pulang sore ini. Menyelesaikan masalah itu harus disatu atap yang sama agar komunikasi itu berjalan baik. Kalau ternyata setelahnya, tetap saja tidak berujung baik, bapak ikhlas kalau Alya mengambil keputusan itu."
"Bapak serius ini?" Ben tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Bapak tidak membela kamu. Bapak juga tidak mendukung kamu. Bapak sangat marah dengan kamu sekarang. Tapi, kalian yang menjalankan kalian yang tahu bagaimana. Bapak hanya memberikan solusi yang mungkin akan memberikan pencerahan kalau hubungan kalian mau berakhir dimana." Tegasnya.
Ben mengangguk paham dengan cepat. Gerakan kepalanya seperti otomatis bergerak. "Terima kasih, Pak. Ben paham. Ben janji, ini terakhir dan tidak akan ada lagi hal seperti ini." Ucapnya yakin.
Yusril berdiri dari sofa itu. "Kita pulang sekarang." Ajaknya dengan senyuman tipis.
Ben berjalan ke arah pintu dan bergerak menuju lift menuju
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.