Yusril masuk ke dalam rumahnya dan ia membukakan pintu lebar-lebar untuk menantunya. Ben merasa malu saat ini dengan perlakuan mertuanya yang masih menyambutnya begitu baik setelah semua hal yang ia ceritakan.
Yusril menuju kamarnya dan memanggil istrinya. Tak lama Trisnah keluar dan menyambut Ben dengan riang. Ia senang sekali menantunya muncul dirumahnya saat ini. Kecemasannya berakhir sudah.
Yusril mengetuk pintu kamar putrinya. Ia membukanya perlahan. "Boleh bapak masuk?" Katanya pelan.
Alya mengecilkan suara radionya dan mengangguk pada bapaknya. Samar-samar ia mendengar suara mamanya mengobrol dengan seseorang.
Yusril menutup pintu kamar putrinya. "Bapak tahu ini berat untuk kamu. Bapak sudah dengar semuanya dari Ben. Bapak pergi ke Hotel untuk tanya apa permasalahan kalian." Ungkapnya.
Alya menutup mulutnya rapat karena ia sangat terkejut. Bagaimana bisa pria tua itu menurunkan ego dan mengesampingkan ketegasannya hanya untuk menemui menantunya karena terlalu memikirkan nasib putri sulungnya. "Bapak kenapa kesana?" Tanya Alya sedih.
"Pulang lah, nak. Selesaikan masalah kalian." Ia mendekati putrinya.
Alya menggeleng pelan sambil menunduk. "Alya gak sekuat itu, Pak."
"Kamu tidak sekuat itu karna kamu masih ragu. Kamu tidak yakin dengan keputusan yang kamu ambil. Kamu sendiri tidak tahu apakah keputusan kamu itu adalah jawabannya." Yusril menjelaskan dengan bijak. "Kamu tidak akan bisa memutuskan semuanya sendiri. Kalian harus bertemu dan bicarakan baik-baik. Setelah keyakinan itu datang, dan ternyata memang tidak bisa dipertahankan lagi. Bapak bisa jemput kamu disana." Suaranya terdengar bergetar.
Alya menangis melihat bapaknya. Pria itu sekuat karang, seteguh pohon dan selembut kain. Kalimat terakhirnya membuat Alya berurai air mata hingga ia merasa menjadi orang yang paling egois yang pernah ada, disaat bapaknya berjuang demi kebahagiannya.
Yusril mengambilkan tas putrinya yang tergeletak diatas tempat tidur. "Bapak tidak ingin melihat kamu sendiri lagi. Bapak bisa memberikan Ben satu kesempatan ini untuk membuktikan seperti apa penyesalannya. Selebihnya kamu yang menentukan sendiri." Ia mengulurkan tas itu.
Alya meraih tasnya lalu memasukkan beberapa barang pentingnya ke dalam tas itu. Ia juga mematikan radio kecilnya.
"Mamamu lebih baik tidak tahu soal ini. Dia pasti sedih nanti." Yusril mengelus bahu anaknya lembut. Alya menyeka semua air matanya. Ia mengangguk paham.
Pintu kamar Alya terbuka dan Ben bangkit dari kursinya melihat wanita yang menjadi sumber kerinduan dan penyesalannya muncul didepannya. Wajah istrinya itu lebih mengkhawatirkan daripada dirinya saat ini. Begitu jelas disana, bagaimana kesedihan yang mendalam mengerubungi wanita itu.
"Nah, gini dong!" Seru Trisnah lega. Helaan napas leganya terdengar.
Yusril menoleh ke arah Ben dan memberikan kode pada menantunya agar mengajak Alya pulang dengan segera. Ben paham dan ia langsung pamit kepada kedua orang tua itu. Ingin rasanya ia merangkul Alya namun ia tahu, belum ada kata maaf baginya.
"Kalian gak makan dulu disini?" Tanya Trisnah melihat kedua orang itu menuju luar.
Yusril merangkul istrinya lembut. "Biarkan saja mereka makan diluar. Mereka gak akan kelaparan." Sanggahnya.
Trisnah menoleh ke arah suaminya heran. "Bapak aneh hari ini. Bapak dari mana, kenapa bisa sama Ben pulangnya?" Ia penasaran sekali akan hal itu.
Yusril tersenyum kembang. Ia menutup pintu rumahnya dan mengajak istrinya ke dapur.
***
Alya masuk ke dalam mobil Ben dan langsung memasang seat beltnya dengan rapi. Wajahnya menghadap kiri. Kedua tangannya ia lipat didepan dadanya.
"Al, kamu mau makan dulu gak. Dirumah gak ada apapun." Kata Ben dengan wajah yang cerah dengan garis kecemasan masih menempel.
Alya tidak menjawab.
"Al, kamu mau makan apa. Kita bisa beli nanti." Ben masih berusaha memulai percakapan diantara mereka. Setidaknya ini adalah langkah awalnya menembus dinding pembatas yang sudah dibangun oleh wanita itu.
Ben menyentuh bahu kanan Alya untuk bertanya sekali lagi. Namun Alya malah menepis tangan itu dan menggeser tubuhnya menjauh.
"Kamu gak usah sok perhatian sama aku." Tegas Alya. "Jangan karena bapak suruh aku pulang, artinya hubungan kita membaik. Enggak, kamu salah! Bapak cuma suruh aku meyakinkan diri kalau keputusan yang sudah aku buat adalah jawabannya. Jadi kamu jangan berharap bisa mendapatkan lebih." Ia semakin membangun dinding pembatas itu lebih tinggi.
Ben terdiam. Ia menarik tangannya kembali dan mencengkram stir mobilnya.
"Kita gak perlu banyak bicara. Aku juga gak mau satu kamar sama kamu. Mulai sekarang, kita lakukan hal masing-masing." Ujar Alya. "Apapun yang kamu mau lakukan, bukan urusan aku lagi." Sambungnya. Terdapat kemarahan dalam nada suaranya.
Ben menghidupkan mobilnya. "Berarti apapun yang aku lakukan, kamu gak akan peduli. Oke!" Komentarnya. "Jangan marah kalau aku melakukan yang mungkin membuat kamu kesal." Gertaknya dengan nada datar. Ia melajukan mobilnya. "Bapak sudah kasi aku kesempatan, aku gak akan sia-siakan." Pungkasnya. Alya menatap luar jendela dan merenung apa yang akan dilakukan oleh Ben padanya.
Malam itu jalanan menuju apartemen mereka begitu macet hingga mereka terjebak hampir satu jam dijalan. Tidak ada percakapan yang terukir disana. Bahkan suara radiopun tidak terdengar. Hanya ada suara klakson mobil, suara deru motor dan lantunan merdu pengamen jalanan.
"Makasih ya Al, karna kamu gak cerita masalah kita sama orang tua kamu. Setidaknya, aku bisa punya kesempatan untuk jujur sama bapak kamu." Ucap Ben seorang diri. Alya masih dengan posisinya sejak tadi.
"Alasan keluar kota bagus juga." Tambahnya dengan senyum memulas. Alya masih berdiam diri.
"Aku udah tiga hari gak ke Hotel." Ben membawa mobilnya maju perlahan. "Gak ada mood mau ke sana. Rumah juga sepi gak ada kamu."
Alya semakin menggeser tubuhnya ke samping dan menjauh dari Ben. Kekesalan dan kekecewaannya terlalu berharga untuk memaafkan pria itu begitu saja. Ben kembali diam dan tidak bersuara.
Alya masuk ke dalam apartemennya yang begitu sunyi. Ia melangkahkan kakinya masuk ke kamar. Ben bahkan tidak memiliki kesempatan untuk berbicara sedikitpun. Ben berusaha tenang setidaknya saat ini Alya ada didepan matanya tanpa harus merasa kehilangan lagi.
***
Alya bangun pagi seperti biasanya dan ia tidak melihat suaminya disebelahnya. Tentu saja pria itu tidak ada disana, karena dirinya sudah mengatakan hal yang sangat krusial pada suaminya dimana dirinya tidak ingin Ben satu ranjang dengannya.
Alya sudah mencuci wajahnya dan ia berjalan keluar untuk meneguk segelas air. Ia melihat Ben tidur di sofa depan televisi dengan sebuah bantal dan selimut. Tubuh pria itu melingkar disana. Tidak ada rasa kasihan yang Alya rasakan. Ia berlalu begitu saja menuju dapur.
Ben tersadar ketika ia mendengar suara gelas berdenting. Ia bangkit dari sofa itu dan matanya langsung tertuju ke arah pintu utama apartemennya kemudian ia menoleh ke arah dapur. Ia melihat istrinya disana. Rasa kantuknya masih menempel disana namun tidak lebih baik daripada semalam.
"Al, kamu udah bangun?" Sapa Ben lembut. Ia menuju sink untuk mencuci wajahnya. Kebetulan Alya berdiri disampingnya yang hanya berjarak dua langkah. Spontan Alya menggeser tubuhnya menjauh. Tatapan kesalnya memancar dari kedua bola matanya.
Ben mengambil tisu dapur yang berukuran besar yang biasa digunakan untuk alas makanan kering, digunakannya untuk menyeka air dari wajahnya. "Al, kamu mau sarapan apa?" Tanyanya ramah. "Aku bisa beli sarapan diluar."
Alya tak melirik sedikitpun. Ia membawa gelasnya ke arah kamar. Ben melihat kepergian istrinya yang diam dan meninggalkannya.
Alya keluar dari kamar mandi dan ia melihat suaminya sudah duduk di ujung tempat tidur dengan wajah yang mengantuk dan menguap beberapa kali. Ia melewati suaminya seolah pria itu hanyalah tunggul.
"Aku harus ke kantor, Al." Ucap Ben. "Nanti aku jam enam udah pulang." Sambungnya. Gerak matanya mengikuti kemana arah istrinya pergi.
"Kamu mau nitip beli makan, gak?" Tanya Ben. Ia sengaja bertanya seolah hal itu sudah biasa untuknya. Padahal dirinya tahu kalau Alya tidak akan pernah memberikan jawaban apapun.
"Aku nanti malam makan dirumah ya, Al." Serunya didepan pintu wardrobe kamarnya.
"Makan dirumah juga gak bikin kamu lebih baik." Komentar Alya tajam. Ben terdiam.
Alya ingin meninggalkan ruang wardrobe dan ia harus melewati Ben. Begitu didepan pria itu ia berkata, "Berapa kali sih kamu makan dirumah?" Sindirnya kemudian meninggalkan kamarnya.
***
Ben masuk ke ruang kerjanya dan ia sudah melihat Elena menunggu disana. Ia terkejut melihat wanita itu muncul disana.
"Sekretaris kamu gak ada didepan, makanya aku masuk aja." Ucap Elena. Ia berdiri dari sofa itu.
"Ada apa kamu kesini?" Tanya Ben. Ia berjalan ke arah meja kerjanya. Tatapannya tak begitu suka akan kedatangan Elena.
"Berapa hari ini kamu menghilang. Aku telpon kamu juga gak angkat. Pesan aku juga kamu gak bales." Urai Elena sedikit sedih. Wajahnya murung.
"Aku memang gak datang ke Hotel dari kemarin." Sahutnya cuek.
"Alya gimana?" Tanyanya ingin tahu.
Ben menoleh ke arah Elena dan memberikan wajah serius. "Kamu mau apa sebenarnya?"
Elena berjalan ke arah depan meja Ben, "Kemarin ada salah satu karyawan part time kamu datang ke kamar aku, dia bilang katanya hubungan kita udah jadi rahasia umum. Semua orang udah tahu. Dia juga bilang kalau aku gak seharusnya tinggal dihotel ini." Adunya kepada pria itu.
Ben langsung berpikir kalau pegawai part time itu adalah Dewa. Tapi hal itu tak membuatnya terpengaruh hingga dirinya harus membela Elena saat ini. "Kamu kesini cuma mau omongin itu aja?" Ia mulai membuka laptopnya.
"Ben, hubungan kita gimana?" Tanyanya lebih jelas.
Ben membuang wajahnya ke arah lain. "Hubungan apa maksud kamu?"
Melihat raut wajah Ben yang berubah padanya, membuat Elena tahu kalau pria itu sudah tidak tidak ditempat yang sama lagi. "Jadi, sampai disini aja?" Tanyanya.
"Sejak awal, memang tidak mulai. Jadi tidak ada yang harus dihentikan." Ia merapatkan giginya. "Aku tidak akan mengulang kesalahan kedua kalinya dan buat Alya pergi dari rumah." Ujarnya lugas.
"Dengan kamu melakukan itu apa menurut kamu Alya akan kembali seperti dulu?" Elena menggertak pria itu dengan kalimatnya.
"Aku gak peduli. Setidaknya aku berusaha merubah diri menjadi lebih baik." Bela Ben dari dalam hatinya.
"Kamu gak akan bisa berubah lebih baik selagi kamu tidak memulai untuk mencintai Alya." Elena menarik napas dalamnya. "Kalau kamu tidak bisa menunjukan cinta kamu ke Alya sekarang, mulailah dengan ucapan. Bilang kamu cinta dia, lakukan itu sesering mungkin. Kalau kalimat itu tidak bisa membuat kamu berubah lebih baik, artinya kamu memang tidak bisa mencintai Alya." Pungkasnya. Elena berbalik menuju pintu.
"Elena." Panggil Ben. Elena menoleh ke belakang.
"Aku minta maaf untuk semuanya." Ujarnya pelan.
"Semuanya yang mana?" Elena memberikan wajah datar.
"Yang terlihat ataupun enggak." Sahut Ben.
Senyum Elena mengembang. "Harusnya aku bertemu dengan Alya dan jelaskan sama dia, walaupun kita melakukannya berulang kali, tapi sebenarnya hati kamu gak ada disana. Hati kamu sudah untuk Alya sejak awal." Ungkapnya. "Kamu gak pernah membuat Alya terlihat buruk didepan aku. Kamu tidak pernah mengeluh soal Alya kecuali waktu kalian bertengkar. Dan setiap kali itu terjadi, kamu terlihat gak bersemangat. Kamu gak sadar, setiap kali kamu dengar sesuatu soal Alya, membuat kamu bangga karna kamu memiliki perempuan seperti itu disamping kamu." Elena mengumbar senyuman kecilnya kemudian pergi dari tempat itu.
***
Alya masuk ke dalam ruang kerjanya dan ia merapikan beberapa kertas ataupun daftar nilai murid-muridnya yang berserakan ketika ia meninggalkan rumah. Tak sengaja ia teringat akan sesuatu yang membuatnya melihat kalender yang menggantung tak jauh darinya.
Tanggal 30 akan jatuh dalam dua hari lagi, namun ia belum membelikan hadiah ulang tahun untuk Dewa. Ia juga ingat semenjak ia terjebak didalam kesedihannya, membuatnya lupa akan Dewa dan kegiatan bocah itu yang selalu pulang malam. Alya bergegas meninggalkan apartemennya dan menuju mal terdekat.
Alya masuk ke sebuah toko tas yang menjual beberapa model terbaru gaya anak muda masa kini. Ia melihat salah satu tas ransel berwarna abu-abu yang terlihat manis jika dipakai oleh Dewa. Ia melihat harga tas itu dan matanya terbelalak. Harga tas ransel itu sama mahalnya dengan harga blouse nya yang pernah ia beli di Bali dulu.
Tapi niatnya untuk membelikan hadiah untuk Dewa tidak bisa ditunda lagi. Ia mengeluarkan dompetnya dan membeli tas itu. Ketika belanjaannya sudah berada didalam genggamannya, Alya berniat untuk langsung pulang.
"Alya!" Panggil seseorang dari arah belakang.
Alya menoleh ke sumber suara yang memanggilnya. Ia melihat Yogi berjalan ke arahnya dengan senyum yang mengumbar. Alya tidak merasakan apapun saat ini. Ia hanya membalas senyuman mantan pacarnya itu.
"Kamu ngapain disini?" Tanya Yogi ramah. Ia melihat wanita didepannya ini bertambah manis.
"Ada yang mau aku beli tadi." Sahutnya singkat.
Yogi melihat tas jinjing yang dipegang oleh wanita itu. "Buat suami kamu ya?" Guraunya. "Aku udah denger kamu menikah." Ujarnya.
Alya hanya memberikan senyuman tipisnya. "Kamu sendiri aja?"
Yogi mengangguk pelan. "Aku mau dengan siapa lagi."
"Mungkin dengan Erna." Tebak Alya.
"Aku udah putus dengan dia." Sambar Yogi lugas.
"Aku gak tahu kalau kalian pacaran selama ini." Tanya Alya balik.
Yogi tersenyum sungging. Ia sudah terjebak dengan kebohongannya sendiri.
"Aku duluan, ya." Pamit Alya. Yogi melepaskan kepergian wanita itu menuruni eskalator.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.