Chereads / MALPIS / Chapter 67 - Chapter 64 - The Question

Chapter 67 - Chapter 64 - The Question

Ben keluar dari lift saat jam pulang kerjanya sudah tiba. Ia berpapasan dengan Dewa yang kebetulan ada didepan lift bersiap untuk masuk sambil mendorong meja trolleynya. Ben menoleh dan langkahnya terhenti melihat Dewa. Mereka bertatapan penuh serius.

"Selama ini kamu tahu cerita dari saya dan Alya. Tapi kamu pura-pura tidak mengakuinya dan bersikap seolah kamu tidak tahu." Ujarnya pada bocah itu.

Dewa membalas tatapan Ben dan membalas, "Kita sama-sama berpura-pura dalam kebohongan masing-masing. Jadi saya rasa kalimat itu juga untuk anda."

"Apa Alya begitu penting?" Tanya Ben ingin tahu.

Dewa mengeraskan rahangnya. "Anda cemburu sama anak SMA seperti saya?  Kalau bukan karena sekolah, sudah lama saya mengincar Ibu Alya. Harusnya anda lebih mengenal siapa istri anda." Dewa berlalu pergi memasuki lift yang lainnya menuju atas. Ben ditinggalkan sendiri dengan jawabannya.

***

Ben masuk ke dalam rumahnya lalu mendengar suara televisi dan melihat Alya serta Nada tengah menonton bersama.

"Loh udah pulang?" Tanya Ben pada kedua orang itu.

"Udah, om." Jawab Nada menoleh ke belakang. "Dari jam empat tadi udah pulang." Ia memberikan senyumannya pada pria itu.

"Malam ini kita makan diluar ya." Setu Ben sambil menuju kamarnya. "Kamu siap-siap gih." Perintahnya.

Tampak wajah Nada yang berubah girang. Ia berlari menuju kamarnya dan menukar baju jalan-jalannya. Alya masuk ke dalam kamarnya lalu berjalan diruang wardrobe dan disana ada suaminya yang masih melepaskan pakaiannya dan menggantungnya kembali.

Ben menoleh ke belakang dan Alya tidak bisa pergi begitu saja dari sana. Ia terpaksa terjebak berdua didalam ruang wardrobe itu. Alya bersuha diam dan mengambil pakaian yang ingin dikenakannya.

"Kamu mau makan dimana, Al?" Tanya Ben berusaha ramah. Pria itu hanya mengenakan celana pendeknya.

"Tanya Nada aja." Sahut Alya tajam. Ia berbalik dan menatap pria itu. "Bisa tolong pergi, aku mau tukar baju. Aku gak nyaman ada kamu disini." Usirnya halus. Ben merasa dirinya seperti orang asing yang tidak memiliki status yang sama seperti dulu.

Sesuai keinginan Nada, gadis itu ingin pergi ke mal dan kedua orang itu mengikutinya. Saat memasuki Mal, Nada menggandeng Ben disamping kirinya. Alya sedikit menjaga jarak agar dirinya tak berapa canggung. Namun Ben menarik tangan kanan Alya lembut dan menggenggamnya.

Alya merasa risih. Ia melepaskan tangan Ben namun pria itu menggenggamnya begitu erat. Mereka saling berbalas lirikan satu sama lain.

Alya merasa ponselnya bergetar dan ia mengambilnya dari dalam tas menggunakan tangan kiri. Ben menoleh sekilas dan melihat nama yang tercantum di layar adalah nama Dewa. Keningnya berkerut.

Alya melepaskan tangan Ben darinya lalu menjawab telpon itu. "Halo?" Ada kekhawatiran didalam dirinya.

"Halo, buk?" Sapa Dewa.

"Iya, ada apa?" Tanya Alya dengan nada was-was. Ia takut sesuatu menimpa Dewa saat ini. Ben bisa melihat ekspresi wajah Alya yang berubah saat menjawab telpon itu.

"Enggak, saya cuma mau samaika salam dari mama. Barusan mama telpon. Saya mau langsing sampaikan dengan ibu." Ada nada penuh kehangat didalam kalimat Dewa.

Alya tersenyum pulas. "Iya. Kirim salam balik untuk mama kamu." Ujarnya.

"Udah itu aja." Kata Dewa. Ia ingin mengakhiri telpon itu.

Alya mengangguk paham. "Oke. Bye." Ia menutup sambungan telponnya. Senyumannya terkembang disana.

Ben melirik Alya dengan penuh pertanyaan. Kenapa kedua orang itu tampak begitu dekat bukan layaknya guru dan murid.

***

Ben berdiri didepan kamar mandi begitu Alya selesai membersihkan wajahnya dan menyikat giginya. Ia menunggu istrinya dengan wajah penuh pertanyaan.

"Awas!" Seru Alya tajam. Ia berdiri didepan Ben.

"Aku boleh tanya, sebenarnya hubungan kamu dengan Dewa itu gimana?" Suara begitu pelan.

"Kamu tanya tentang persoalan yang sepele." Sahut Alya.

"Pertanyaan sepele buat kamu tapi tidak buat aku. Dewa bisa dengan gampang telpon kamu tadi." Sanggah Ben kesal.

"Kamu ini kenapa, bukan saatnya cemburu dengan Dewa. Kamu sadar harusnya kamu gak punya hak buat marah sama aku setelah semua yang kamu lakukan." Ungkap Alya.

"Kamu mulai lagi." Komentar Ben. Wanita itu sudah mulai membelokkan topik ini menjadi topik yang lain.

"Makanya kamu jangan pancing aku." Alya mendorong tubuh Ben dan berjalan ke arah tempat tidurnya.

Ben duduk disebelah Alya. "Aku juga perlu tahu seperti apa Dewa dengan kamu. Apa aku salah?" Suaranya mulai tinggi.

"Apa waktu kamu dekat dengan Elena aku juga tahu? Bukannya kamu sembunyikan Elena dihotel tanpa ada yang tahu termasuk aku?" Alya meninggikan suaranya.

Nada membuka matanya dan ia mendengar suara om dan tantenya sedang bertengkar. Ia berdiri dan menuju luar.

"Alya, kapan kamu berhenti mengungkit hal yang sama. Apa harus semua pembicaraan kita kamu sangkut-pautkan dengan Elena. Aku bicara soal Dewa bukan yang lain." Ben mulai kesal.

Alya menarik napas dalamnya. "Ini alasannya aku gak mau bicara sama kamu. Karna semuanya pasti ada hubungannya dengan Elena."

Ben meraup wajahnya. "Elena lagi. Elena lagi." Komentarnya kesal.

"TANTE! OM!" Pekik Nada sambil mengetuk pintu kamar kedua orang itu. "Kalian kenapa?" Tanyanya.

Alya berdiri dan menuju kamar mandi. Ben menghela napas bebannya dan membuka pintu itu.

"Kenapa, Nad?" Tanya Ben lembut. Ia menutup kembali pintu kamarnya.

"Om sama tante kenapa, bertengkar?" Nada kelihatan takut.

Ben mengantarkan gadis itu kembali ke kamar dan berkata, "Orang dewasa memang akan selalu bertengkar. Tapi satu jam lagi udah baikan." Jelasnya.

"Tante Alya gak suka Nada ada disini?"

Ben menggeleng. "Enggak. Siapa bilang. Justru tante Alya seneng banget. Udah kamu tidur ya besok kamu masih ada dance class lagi." Ia menutup tubuh gadis itu dengan selimut.  Kemudian ia meninggalkan kamar itu.

Ben tidak langsung menuju kamarnya. Ia masuk ke dalam ruang kerjanya dan duduk termenung disana. Pikirannya berat sekali. Ia tidak tahu lagi gimana caranya membuat Alya bisa sama-sama melangkah maju dengannya dan memulai semuanya dari awal lagi.

Setelah hampir satu jam diruang kerja dan merenung, Ben kembali ke kamarnya dan melihat Alya sudah tidur membelakanginya tanpa batas bantal ditengah. Ben berbaring dan memeluk Alya dari belakang.

"Aku sayang banget sama kamu. Apa ada cara lain supaya kamu bisa maafkan aku." Serunya pelan sambil memejamkan mata. Alya membuka matanya perlahan dan tatapannya nanar. Ia hanya diam saja dengan kalimat suaminya.

***

Ben masuk ke western restoran bersama Arif. Siang ini mereka ingin makan disana saja. Sebelum masuk, Ben sempat menoleh ke arah galeri dan masih tertutup rapat.

"Selamat datang, Pak." Sapa Mita ramah. Ia mencoba bersikap profesional.

"Apa kabar Paramita?" sapa Ben balik. Ia berjalan ke arah salah satu meja paling dalam dan agak sudut. "Saya hari ini mau makan Fish and chips saja dengan air oren." Sambungnya.

"Saya samakan saja, mbak." Sambar Arif.

"Baik."  Mita menepi dan menuju dapur kemudian ia memesan pada chefnya dibelakang.

Tak berapa lama, Mita kembali ke depan dan membawa minuman untuk kedua orang itu. Ben melirik Mita dan mencari celah dimana ia bisa berbicara dengan wanita itu.

"Silahkan." Seru Mita sambil membawa minuman untuk kedua orang itu.

"Hari ini sepi, mbak?" tanya Arif kemudian.

"Gak sepi banget, tadi sih lumayan. Kebetulan saja jam ini sepi." Sambung Mita.

Arif melirik atasannya dan ia tahu maksud wajah itu. "Duduk sini aja, mbak. Ngobrol sebentar." Ajaknya.

Mita kaget dan ia melirik ke arah Ben yang saat itu melihat ke arah Arif. "Gak apa lah, saya berdiri saja." Ia segan bergabung dengan kedua orang itu.

Ben menoleh ke arah Mita. "Alya ada cerita ke kamu?" tanyanya pelan. Ada rasa malu saat ia bertanya soal itu. Tapi saat ini ia sedang kehabisan ide untuk membujuk Alya memaafkannya. Tak ada salahnya jika ia bisa mendapatkan saran dari Mita.

Mita menghela napasnya, "Maksud anda cerita apa, Pak? Karena selama ini saya mengenal Alya, lebih tepatnya semenjak dia menikah dengan anda, Alya tidak pernah bercerita soal rumah tangganya. Dia selalu menyimpannya sendiri. Tapi kalau anda bertanya bagaimana kabarnya, saya tidak tahu. Semenjak libur sekolah saya tidak pernah bertemu ataupun meneleponnya." Jelas Mita panjang lebar. "Tapi saya tahu apa yang terjadi kemarin karena saya juga ada disana. Waktu itu rencananya memang Alya ingin bertemu dengan saya." Tambahnya.

Ben tidak merasa kaget. Ia sidha melewatkan masa itu. "Saya harus bagaimana?" keluhnya. "Alya sepertinya berniat untuk meninggalkan saya." Ia menunduk.

Mita terdiam. Ia tidak tahu harus memberikan saran seperti apa. Disatu sisi Alya adalah sahabatnya, sedangkan disisi lain Ben adalah orang yang paling ingin disalahkannya dan merupakan atasannya.

"Kalau kamu jadi Alya, bagaimana?" tanya Ben.

"Sejujurnya kalau saya jadi Alya, sejak awal saya tidak akan menikah. Karena untuk apa saya menikah dengan pria yang belum mencintai saya. Maaf kalau saya bicara seperti ini, tapi ini yang akan saya lakukan." Ia melirik Arif dan pria itu tersenyum tipis sambil mengangguk padanya.

"Jadi maksud kamu kesalahan saya tidak bisa dimaafkan?" tanya Ben penuh yakin.

"Bukan tidak bisa tapi belum bisa." Sahut Mita. "Alya terlanjur kecewa dan dia sudah tidak percaya lagi dengan anda. Alya butuh sesuatu yang menguatkannya untuk bisa memaafkan anda apalagi untuk percaya." Mita diam sejenak. "Belum lagi mantan istri anda masih berada disini, pasti pikirannya akan terus kesana."

Ben terdiam. Benar apa yang dikatakan oleh sahabat istrinya ini.

"Pak," panggil Arif menambahi. "Anda harus lebih berusaha lagi membuat Ibu Alya memaafkan anda, karena kepercayaan itu mahal harganya."

Makanan mereka datang dan Mita menggeser tubuhnya. Ben tidak bersemangat melihat makanan didepanya saat ini.

***

Alya dan Nada mampir disebuah warung pinggiran untuk mengisi perut mereka yang lapar.

"Besok hari terkahir Nada dance class. Tante lihat gak tadi, gerakan Nada?" tanyanya bersemangat.

"Iya. Kamu jago banget dancenya. Kamu baru belajar sekali dan udah hapal." Puji Alya.

Nada tersenyum malu. Ia bangga dan senang sekali bisa mengikuti dance class ini. "Besok hari terkahir Nada disana." Wajahnya berubah murung. "Padahal Nada suka disana."

"Nanti kalau liburan lagi kamu kesini aja. Tante temenin." Bujuk Alya agar gadis itu tidak sedih.

Nada mengangguk. Ia memperhatikan wajah tantenya itu. "Tante kapan punya dedek?" tanyanya polos.

Alya terbatuk dan kaget dengan pertanyaan itu. Ia tidak menyangka akan ditodong dengan pertanyaan seperti itu. "Belum sayang, tante masih sibuk."

"Oh." Sahut Nada. "Nanti maunya dedek laki-laki apa perempuan?" tanyanya ingin tahu.

"Hmm..." Alya bingung harus menjawab apa.

"Jawab tante." pintanya manja.

"Laki-laki."  Jawab Alya asal.

"Kenapa?"

"Hmm... supaya bisa nemenin tante." Senyumnya simpul hambar.

"Memangnya tante mau kemana?"

Alya tertawa. "Enggak kemana-mana." Hatinya berdesir lembut. Memiliki anak bukan prioritasnya ketika menikah. Baginya kebahagiannya dengan Ben adalah yang paling penting.

Namun kenapa rasanya seperti dipermalukan oleh pertanyaan Nada barusan. Dan jawabannya muncul begitu saja. Dan Alya pun jadi kepikiran. Apakah semua ini karena dirinya yang tidak memiliki anak dan membuat Ben tidak memiliki alasan yang kuat untuk mencintainya.

***

Begitu tiba dirumah, Alya langsung menghubungi Mita dan meminta pendapat sahabatnya itu. Ia mengunci dirinya dikamar sesaat.  Beberapa kali sambungan telponnya berbunyi namun belum dijawab.

"Halo, Al?" Sapa Mita ramah.

"Lo sibuk gak?" Tanyanya penuh harap.

"Enggak. Kebetulan lagi santai. Kenapa?" Tanya Mita.

"Gue mau cerita sama lo."

Mita tertawa. "Lo sama laki lo janjian ya hari ini tanya sama gue?" Ejeknya.

"Hah, Ben tanya apa sama lo?" Alya penasaran.

"Biasalah dia tanya kenapa lo masih marah. Kenapa lo gak maafin dia. Gitu-gitulah pokoknya." Beber Mita. "Lo mau tanya apa?"

"Hmm.. Mit, menurut lo apa karna gue gak hamil makanya Ben gak cinta sama gue?" Tanyanya dengan nada polos. Pertanyaan itu menggelitiknya.

Mita semakin tertawa. "Lo itu kayak anak ingusan yang baru kawin." Celotehnya.

Alya mengerutkan keningnya. "Lo kenapa sih  ketawa. Gue serius ini."

"Gini ya temen gue, kalo lo mikirnya begitu, terus kenapa Ben masih kejar-kejar Elena. Dan mereka juga gak punya anak." Jelasnya. "Gue yakin , kalo soal anak, gue percaya sama laki lo. Dia gak bakal mikir sampe kesana." Sambungnya.

Alya menghela napas beratnya. Ia tahu pertanyaan itu konyol tapi ia butuh seseorang yang bisa memberikannya masukan. Ia sedang butuh bimbingan saat ini.

"Alya lo beneran gak apa-apa?" Tanya Mita resah. Melihat  betapa kisah cinta sahabatnya hancur sungguh membuatnya lelah juga.

"Mit, Ben itu kenapa ya. Dia bohongin gue terus gampang banget minta maaf, tiba-tiba berubah baik." Ia mengeluh pada temannya ini. "Dia pikir ngelupain apa yang dia buat dengan Elena segampang dia minta maaf ke gue. Gimana gue gak makin kesel sama dia." Curahan hatinya.

"Alya, kalau untuk merasakan cinta itu gak perlu waktu lama. Untuk bisa sadar betapa kita sangat memerlukan orang itu selalu akan muncul disaat terakhir. Dan Ben sedang mengalaminya."

"Tapi tetap aja gue ngerasa marah setiap kali lihat Ben bilang maaf ke gue." Sanggah Alya.

"Lo ukur berapa besar rasa sayang lo ke Ben, bandingkan dengan berapa besar lo pengen berpisah dari Ben." Usulnya  "Lo sayang sama Ben karena apa, lo pengen berpisah dari dia karena apa. Itu semua harus jelas, baru lo bisa tentukan." Sambungnya.

Alya menarik napasnya dalam hingga tak bersisa lagi dan menyangkut di paru-parunya. Ketika semua orang menyuruhnya melakukan hal yang sama, ia akan mencoba untuk renungkan.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.