Elena keluar dari kamar mandi dan hanya memakai baju mandinya yang berwarna putih. Rambutnya ia simpul ke atas dan tidak dicucinya. Ia mendekati Ben dan duduk didepan pria itu. "Kamu tadi kemana?" Ia teringat kata Alya yang mengatakan kalau Ben mungkin pergi meeting.
"Aku gak ada keluar hari ini." Jawab Ben tanpa curiga. "Kamu mau makan apa, aku bisa pesankan dengan Arif. Soalnya dia lagi keluar antar tamu VVIP pakai mobilku." Jelas Ben sambil meraup wajahnya yang lelah.
Berarti tadi Alya tidak ke kantor sama sekali dan langsung pulang, batin Elena. "Enggak, malam ini aku mau pergi dengan teman-teman, makan diluar." Jawab Elena. Jika ia mengatakan Alya datang ke Hotel barusan, maka Ben akan dipastikan pulang setelahnya. "Kamu masih berantem dengan Alya?" Tanyanya sekaligus mengorek informasi.
Ben menghela napas beratnya. "Iya. Kemarin dia mulai curiga kalau kita ada hubungan. Parfum kamu menempel dikemeja aku. Dia juga tanya apa saja yang sudah kita lakukan selama ini." Beber Ben.
"Kamu jawab apa?" Tanya Elena.
"Aku gak mungkin jawab, Elena. Aku mau jelaskan apa ke Alya."
"Kamu bisa ceritakan semua yang kita lakukan selama ini." Ungkap Elena. Tatapannya lurus ke arah Ben.
"Yang kita lakukan selama ini makan, minum, dan kejadian diluar kendali yang kamu sebut kesalahan."
Elena senyum sungging. "Kesalahan yang kita buat berulang kali."
Ben menegakkan tubuhnya. "Semua terjadi begitu aja. Tidak pernah direncanakan."
Elena tidak terima. "Tidak pernah direncanakan tapi kenapa kamu masih masuk ke sini menggunakan master card. Kamu bisa masuk sesuka kamu. Sama seperti kamu datang ke apartemen aku waktu itu. Kamu tahu itu salah tapi masih kamu lakukan. Itu tidak terjadi begitu saja." Ia membuka semuanya yang pernah terjadi sejak awal.
Mita keluar dari lift dilantai tujuh belas. Ia berkeliling dikoridor itu dan menebak-nebak dimana kamar Elena seperti yang disampaikan oleh karyawan restorannya.
Tiba-tiba seorang housekeeping yang cukup berumur, keluar dari salah satu kamar yaitu 1705. Mita mendekati wanita itu. "Ibu , maaf mau tanya. Disini kamar berapa aja yang isi?"
Wanita itu menatap Mita sesaat dan memperhatikan seragam Manajer yang dipakai serta name tag yang menempel pada pakaian Mita. Wanita itu membuka kertas yang dilipatnya didalam kantong seragamnya. "Kamar 1701, 1702, 1706 dengan 1708." Sebutnya pelan. Kemudian ia berjalan ke arah lift dan turun.
Mita menebak-nebak dimana Ben dan Elena. Tiba-tiba pintu kamar 1706 terbuka tepat disebelahnya dan seorang wanita memakai celana pendek keluar dengan membawa dompetnya.
Mita berjalan ke arah 1708 dan ia mendekatkan kupingnya disana. Terdengar suara tawa anak kecil didalamnya. Jelas itu bukan kamar Elena.
Mita berjalan ke arah kamar 1702 dan ia siap mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Alya. Namun tiba-tiba seorang pria bertubuh besar dan wanita bule berjalan ke arahnya dari arah lift. Mita menggeser tubuhnya dan ternyata kedua orang itu masuk ke kamar 1701. Mita sudah menemukan jawaban yang dicarinya.
Alya menundukkan wajahnya karena ia menangis.
"Buk, anda tidak boleh menangis disini. Semua orang disini mengenal anda, mereka akan mengira kalau sesuatu terjadi diantara kita." Dewa cemas. Ia bahkan tidak menyelesaikan pekerjaannya.
Alya menyeka air matanya. "Kamarnya dimana?" Tanya Alya.
"Saya akan kasi tahu tapi anda tidak boleh panik. Anda tidak boleh bertindak gegabah. Ingat, anda seorang guru." Pesan Dewa. Ia tidak ingin martabat wanita ini hancur hanya karena mengetahui perselingkuhan suaminya.
Alya mengangguk yakin walau air matanya terus mengalir.
"Lantai tujuh belas. Nomor 1702." Kata Dewa jelas.
Alya berbalik dan langsung menuju lift. Dewa melepaskan kepergian wanita itu dengan hati gelisah. Ia menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
"Awalnya tujuan kamu mungkin menolong aku dari Roy. Kamu merasa harus menyelamatkan aku dari Roy karna kamu tidak punya kesempatan itu dulu. Tapi sekarang kamu sudah punya kesempatan itu dan kamu terbawa suasana dengan semua kesalahan yang kita buat. Kamu lupa kalau kamu masih memiliki perasaan untuk aku." Kata Elena. Ia sudah lama memikirkan hal itu. "Kamu egois. Kamu menginginkan aku tapi kamu tidak bisa meninggalkan Alya." Sambungnya.
Ben terdiam. Ia membenarkan kalimat Elena yang memang niat awalnya adalah menolong Elena saat ia mengetahui kalau pria kasar itu mencarinya hingga ia mendatangi apartemen wanita itu dan semuanya terjadi begitu saja.
"Apa aku salah kalau semakin lama kita bersama semakin aku ingin memiliki kamu. Aku gak suka lihat kamu harus pulang ke rumah dan tidur dengan Alya. Aku gak suka lihat kamu bela Alya. Dan aku gak suka lihat kamu puji masakan Alya. Apa aku salah kalau aku mau kita terus seperti ini?" Tanya Elena. Wajahnya terlihat serius.
Ben menarik napasnya. Ia tidak menyangka kalau Elena berpikir sejauh itu. Sedangkan dipikirannya hanyalah ia melakukannya dengan Elena semata nafsu yang sudah lama terpendam serta cintanya yang masih bersisa, tapi tidak ada pemikiran sama sekali untuk kembali dengan wanita itu.
Alya tiba di lantai tujuh belas dan dia melihat Mita juga sedang menunggu lift dengan wajah gusar. Mereka bertatapan.
"Alya." Panggil Mita gelisah.
Alya keluar dari lift dan berkata, "Lo gak pernah bilang kalau Dewa kerja disini selama ini." Katanya pertama kali.
Mita memeluk temannya itu dengan erat. "Gue minta maaf. Gue gak cerita ke lo soal Dewa karna gue udah janji dengan Dewa." Ia melapaskan pelukannya. "Gue mungkin gak kasi tahu lo soal Dewa, tapi gue harus kasi tahu lo soal Ben."
"Lo turun duluan, biar gue selesaikan semuanya disini." Perintah Alya.
Mita kaget. "Lo udah tahu?"
Alya menarik Mita untuk masuk ke dalam lift. Pintu itu tertutup kembali. Alya menarik napas dalam dan mempersiapkan dirinya yang mungkin akan hancur seketika. Ia berjalan ke arah kamar 1702 yang disebut oleh Dewa.
Ben memijit keningnya yang berat. "Terus seperti ini dan bersembunyi dari semua karyawan Hotel. Atau terus seperti ini dan suatu hari nanti kamu akan kembali dengan Roy." Ujarnya tajam.
Elena tak berkutik.
"Aku tahu, El. Kita melakukannya mungkin karena nafsu dan berakhir dengan kesalahan. Tapi kamu melakukannya dengan Roy, karena kamu mau. Roy tahu bagaimana membuat kamu untuk tidak menolak. Apa artinya?" Ben membukanya.
Elena merasa kesal karena Ben memandangnya serendah itu. "Kamu tahu kalau aku menolak, Roy akan pukul aku. Dia akan siksa aku seperti boneka yang tidak berguna. Jadi menurut kamu apa yang harus aku lakukan?" Matanya mulai berair.
Ben tidak berkomentar apapun.
"Harusnya aku berbuat jahat dan cerita ke Alya semuanya tadi." Elena membuang wajahnya ke arah lain.
Ben menatap Elena bingung. "Tadi kamu ketemu Alya?"
Elena mengangguk. "Dia ada lobi sebelum aku naik kesini. Katanya dia mau bertemu dengan temannya."
Ben berdiri dari kursi itu dan mulai panik. Ia mulai menelepon Arif untuk bertanya posisi pria itu.
Alya sudah berdiri didepan pintu 1702 dan jantungnya berdesir hebat. Ia harus siap melihat apa yang ada dibalik pintu itu. Alya menutup lubang kecil ditengah pintu itu agar Ben ataupun Elena tidak bisa melihatnya disana.
Alya mengentuk pintu itu dengan tiga kali ketukan. Ben dan Elena menoleh ke arah pintu.
"Mungkin itu Arif." Kata Ben. Ia belum sempat menelepon pria itu.
Elena bangkit dari kursi itu sambil melepaskan cepol rambutnya. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya tanpa mengintip terlebih dahulu.
Alya terdiam dan sangat terkejut ketika ia melihat Elena yang membuka pintu itu. Wanita itu bahkan memakai baju mandi dan rambut yang tampak berantakan.
Elena memegang ganggang pintu itu dengan sangat erat ketika ia melihat Alya berdiri didepannya. Mata mereka saling bertatapan.
Ben berjalan ke arah pintu, "Siapa, El?" Tanyanya dengan suara yang agak nyaring.
Alya menarik pintu itu ke arah luar dengan paksa agar terbuka lebih lebar. Genggaman Elena terlepas hingga pintu itu menganga. Alya berdiri ditengah pintu dan melihat Ben sudah melepas jasnya. Wajah pria itu juga terlihat lelah sekali.
"Alya!" Seru Ben. Ia tidak bisa bergerak sama sekali saat ini. Seluruh ototnya seperti menegang.
Alya menangis disana. Ia menatap wajah suaminya yang sangat ia sayangi, namun sudah berubah menjadi lelaki jahat yang sudah mengkhianatinya.
"Alya, aku bisa jelaskan." Kata Ben pelan.
Alya menutup pintu itu kembali dengan membantingnya keras. Ia berlari ke arah lift. Namun semua lift berada dilantai bawah. Alya berlari melewati tangga darurat.
Ben mengambil jasnya dan memakainya kembali. Ia setengah berlari ke arah pintu. Elena menahannya didepan pintu. "Untuk apa lagi kamu kejar. Alasan apapun yang kamu kasi, Alya tidak akan percaya. Baginya, apa yang dia lihat sekarang sudah menjelaskan semuanya."
"Kasi aku jalan. Aku harus kejar Alya dan jelaskan semuanya." Ben masih berusaha menggeser tubuh wanita itu dari pintu.
"Kenapa harus kamu kejar, Ben?" Tanya Elena dengan sedikit membentak. "Apa yang mau kamu jelaskan."
"Apa yang Alya lihat diantara kita salah."
"Bagian yang mana yang salah?"
"El, please! Biarkan aku lewat. Jangan buat aku harus bersikap kasar ke kamu." Pintanya dengan sangat. Wajahnya sudah tak terbendung.
"Kamu masih cinta dengan aku, makanya kamu masih panggil aku dengan nama itu."
Ben meraup wajahnya frustasi. "Lena, cukup!" Tegasnya.
Elena terdiam. Ia baru saja mendengar Ben memanggil dengan panggilan umumnya. Artinya, dirinya sudah tidak memiliki tempat yang khusus dihati pria itu.
Ben menggeser tubuh Elena ke kiri. Ia membuka pintu itu dan berlari ke arah lift. Elena tidak mengejar Ben.
Alya terus menuruni tangga tanpa henti. Bahkan napasnya yang sudah berat dibiarkannya hingga ia bisa pergi dari tempat itu dengan segera. Tiba-tiba Alya kehilangan keseimbangannya hingga kaki kanannya terkilir dan membuatnya terduduk ditangga itu dengan sangat brutal. Air matanya terus mengalir dan tidak ada hal yang lebih sakit dari pada melihat suaminya berdua didalam kamar dengan seorang wanita yang masih dicintai oleh suaminya.
Alya berjalan pincang menuju parkiran motornya. Dan ia melihat Dewa sudah menunggu disamping motornya dengan helm yang selalu dipakai oleh bocah itu. Dewa melihat langkah Alya yang pincang. Ia sudah tahu kalau wanita itu pasti rapuh hingga terjadi hal seperti ini.
Dewa menadahkan tangannya ke arah Alya untuk meminta kunci motor. Alya memberikan kunci motornya kepada bocah itu. Dewa menaiki motor Alya dan mulai menghidupkannya. Ia masih menggunakan seragam kerjanya dan hanya dilapisi dengan jaketnya. Alya duduk dibelakang dan menutup wajahnya dengan helmnya. Ia membiarkan Dewa membawanya pulang. Air matanya tidak berhenti mengalir.
Dewa memarkirkan motor Alya dibasemen apartemen wanita itu. Alya turun dan membuka helmnya. Ia melihat Dewa masih menggunakan seragam kerjanya.
"Kalau saya tahu kamu kerja disana sejak awal, mungkin ini semua tidak akan terjadi." Kata Alya lirih.
Dewa melepaskan helmnya dan turun dari motor itu. "Kalau ibu tahu dari awal, apa saya bisa jadi penyelamat ibu hari ini. Apa ibu akan jaga saya di rumah sakit kemarin?" Tanyanya balik. Dewa mengambil tangan wali kelasnya lalu mengembalikan kunci itu. "Saya harus kembali ke Hotel dan kerja lagi." Ia berbalik dan berlalu pergi.
Alya melepaskan kepergian muridnya itu dan ia berjalan menuju apartemennya.
***
Ben masuk ke dalam apartemennya dan ia melihat seluruh lampu padam. Hanya ada bias cahaya dari bawah pintu kamarnya. Ben berlari ke arah kamarnya dan berusaha membuka pintu kamar, namun sayangnya Alya sudah menguncinya dari dalam.
"Alya, tolong dengarkan dulu penjelasan aku." Panggil Ben. Ia menggedor pintu kamarnya.
Alya tengah berbaring ditempat tidurnya sambil membelakangi pintu. Ia memejamkan matanya dan berharap malam yang berat ini cepat berlalu. Nyatanya air matanya terus mengalir dari kelopaknya yang tertutup.
"Alya, aku dengan Elena tidak ada hubungan apapun." Ben terus berusaha membuka daun pintu itu. "Al, dengerin dulu penjelasan aku dari awal. Aku gak pernah bermaksud berkhianat dari kamu." Emosinya mulai kesal karena pintu itu tidak bisa dibuka.
Alya masih tidak bergerak dari tempat tidurnya. Jika ia ingin marah dan berteriak maka ia ingin melakukannya. Hanya saja ia tidak ingin melihat wajah suaminya saat ini.
Ben masuk ke dalam ruang kerjanya dan ia membongkar semua laci yang ada disana untuk mencari kunci cadangan. Beruntungnya, pria itu menemukan kumpulan kunci itu.
Ben membuka pintu kamarnya dan langsung berjongkok didepan Alya dan berkata. "Alya, dengarkan aku dulu."
Alya membuka matanya. Ia menatap wajah Ben lirih dan kecewa. Ia duduk ditepi tempat tidurnya lalu menampar Ben dengan kuat menggunakan tangan kanannya hingga terasa begitu pedas disana.
Ben merasakan pipi kirinya kebas karena tamparan istrinya. Ia tidak melawan ataupun berkomentar karena dirinya memang pantas mendapatkannya. Mereka bertatapan. Ben melihat jelas bulir air mata yang mengalir diwajah istrinya.
"Alya..."
Alya menampar wajah Ben lagi sama kerasnya seperti sebelumnya.
"Al..."
Sekali lagi Alya menampar Ben dengan sisa tenaganya yang masih tersedia.
"Kamu har..."
Alya hendak menampar Ben lagi namun pria itu menangkap tangan kanan istrinya.
"Kamu dengerin dulu..."
Alya menampar Ben dengan tangan kirinya dipipi kanan pria itu. Ben mulai kesal karena wanita itu melampiaskan amarahnya dengan cara menamparnya dan diam seribu kata.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA
Ps: Ayo yg baca mana suaranya. Tunjukkan kesukaan kamu sama cerita ini dengan vote dan komentar. Jan lupa masukkan ke library kalian. Tag ya kalo lagi spam.
xoxo!!!